Mohon tunggu...
Christina Budi Probowati
Christina Budi Probowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Hidup adalah kesempurnaan rasa syukur pada hari ini, karena esok akan menjadi hari ini....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Embun dan Peristiwa Pahit Masa Silamnya

25 September 2024   17:44 Diperbarui: 25 September 2024   20:42 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration by @art.cahayu

Akhirnya Embun bergegas menaiki sepeda penjelajah waktu di alam pikirannya, sebelum ia menguap diterpa hangatnya sang fajar. Ia bergerak melalui dimensi waktu untuk melakukan perjalanan mundur ke masa lalu dengan kecepatan negatif. Sebenarnya, ia berencana pergi ke masa lalu untuk menemui dan berinteraksi secara langsung dengan peristiwa pahit yang pernah dialaminya. 

Namun, rasanya itu mustahil dilakukan, karena masa lalu adalah negeri yang teramat jauh, meskipun kita dapat melihat gambar, film dan kenangannya. Maka, Embun bisa menemui masa lalunya hanya di alam pikirannya saja, dengan membuka kembali potret dan rekaman video peristiwa tersebut di otaknya.

Dan inilah kisah peristiwa pahit yang pernah dialami Embun di masa silamnya, yang terjadi pada tahun 1980-an. Seperti anak perempuan kecil lainnya, bukanlah hal yang aneh bila membantu ibunya berhutang ke warung langganan keluarganya, untuk mendapatkan beras, gula, minyak goreng, ikan asin, dan lain sebagainya. 

Gali lubang tutup lubang untuk urusan makan bagi keluarga besar yang menyekolahkan anak-anaknya dengan keadaan ekonomi terbatas memang sudah menjadi hal yang biasa. Memang demikianlah irama hidup di kampung halaman Embun ketika itu, yang tak bisa dibantah oleh angin jalanan.

Embun berjalan dengan kaki telanjang di bawah payung hitam. Kaki kecilnya memainkan air hujan yang telah berubah menjadi warna cokelat tua karena tercemar oleh debu tanah jalanan, saat ia menuju warung langganan ibunya. Di mata Embun, itu adalah pemandangan yang selalu menawan hatinya. 

Ups. Ia pun tersenyum terkulum, saat mulai tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu membuat keropeng di kakinya kembali basah. Keropeng dari bekas luka akibat garukan kulitnya yang gatal karena digigit tungau kasur kapuk di rumahnya. Ya, luka itu pernah menjadi borok parah, dan Embun bersyukur  akhirnya bisa mengering juga.

Baiklah, kita lupakan sejenak tentang keropeng yang mulai basah itu. Kita kembali pada Embun yang merasa menjadi pahlawan keluarga saat berjalan menuju warung langganan ibunya hari itu.

Seperti biasa Ibu memang berencana membuat nasi liwet untuk makan malam sekeluarga dengan beras yang akan dibawa pulang oleh Embun. Di jalan yang masih basah oleh hujan, Embun sudah membayangkan nasi hangat dengan ikan asin yang digoreng kering itu akan masuk ke perutnya yang sudah mulai lapar. 

Ia pun kemudian menyempurnakan fantasinya dengan hati berbunga-bunga, membayangkan ia bermain film dan mendapatkan peran sebagai pejuang kemerdekaan yang sedang mencari perbekalan untuk rekan-rekan seperjuangannya. Dan terbukti, fantasinya itu memang benar-benar efektif menyulut semangatnya saat menerobos hujan. Begitulah cara Embun mengais kembali semangat dari dalam jiwanya, jika mulai redup diempas oleh angin jalanan.

Hari telah sore dan perjalanan itu memang cukup jauh bagi Embun. Agar tampak manis saat berhadapan dengan ibu pemilik warung, Embun yang mulai menggigil kedinginan pun merapikan rambutnya yang acak-acakan dengan satu tangannya kirinya yang tidak memegang payung, kemudian melanjutkan perjalanannya dengan senyum terindahnya, senyum yang menunjukkan lesung pipit di pipinya. Dan Embun masih saja menghentakkan kakinya tiap kali melewati genangan air hujan yang mengeluarkan pretikor, bau tanah yang begitu khas saat hujan, yang suka sekali ia endus diam-diam.

Akhirnya Embun sampai juga di warung yang dituju dengan hati riang. Sepanjang perjalanan menuju warung itu adalah catatan kebahagiaan baginya, yang akan tersimpan indah di dalam memorinya. Perlahan-lahan Embun pun mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, yang di sana tertulis daftar belanjaan sangat panjang dari ibunya. Tetapi, ia benar-benar tak menyangka mendapatkan tanggapan yang tidak seperti biasanya dari pemilik warung. Hari itu, pemilik warung menolak memberikan hutang karena menyangsikan ibunya tidak akan mampu membayar semua hutang yang sudah menumpuk.

"Apakah untuk membayarnya nanti ibumu akan menjual organ tubuhnya?"

Hati Embun yang sebelumnya bahagia itu tersentak seketika. Ia tak mau percaya tetapi kalimat itu jelas terdengar. Organ vital jalan di mana Embun dilahirkan benar-benar diucapkan dengan begitu lantang, oleh sang pemilik warung dengan mengembalikan catatan belanjaan itu ke tangan Embun yang gemetar, entah karena kedinginan atau alasan lainnya. Atau karena perutnya Embun yang sudah mulai kelaparan.

Embun akhirnya pulang dengan tangan hampa. Matanya memerah dan suhu tubuhnya menghangat seketika. Gerakan bibir sang pemilik warung saat mengatakan kalimat demi kalimat, terus membayangi perjalanan pulangnya yang menjadi terasa sangat panjang. Hati Embun terasa nyeri dan jantungnya berdetak dengan sangat cepat. 

Darahnya seperti mendidih di angka 100 derajat, tetapi ia segera menyadari sesuatu, bukankah hak dari pemilik warung untuk menolak memberikan hutang? Embun pun segera menghela napas panjang untuk memberikan maklum pada apa yang telah terjadi, dan dengan sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh di pipi, sesaat setelah ia menggenggam satu keputusan untuk memaafkan lalu melupakan.

Sore itu, hujan masih deras mengguyur jalanan. Yang biasanya begitu menawan di mata Embun menjadi tampak pekat dan seketika menggelap ke dalam warna cokelatnya. Air mata Embun yang menggantung itu akhirnya menguap perlahan-lahan seiring dengan ketenangan hatinya yang datang menyeruak. 

Bagi Embun, itu adalah berkat dari Sang Ilahi untuknya yang disangka-sangka. Ia pun segera  berpikir keras dengan menggoyangkan kepalanya, mencari kalimat yang tepat untuk menyampaikannya penolakan pemilik warung agar tidak sampai menyakiti hati ibunya. Ya, bocah perempuan kecil itu akhirnya berhasil menguasai emosinya. Ia pun kemudian tersenyum dan menunjukkan ketegaran hatinya pada dunia.

Benarkah semudah itu memaafkan lalu melupakannya? Embun memang tak akan berlarut-larut dengan beban di hatinya. Ia telah membuat keputusan penting dalam hidupnya, tepat saat angin jalanan juga mulai tenang dari kegelisahan yang mencekam. Ia benar-benar akan melangkah menatap masa depannya dengan mantap, seiring dengan keadaan ekonomi keluarganya yang juga mulai meningkat. Dan kesibukan akhirnya benar-benar menghilangkan perasaan-perasaan yang telah mengganggunya. Embun pun kemudian indekos saat masuk SMP dan meninggalkan kampung halamannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun