Ini adalah kisah seorang gadis kecil dari kaki Gunung Kawi bernama Minuk yang mendapatkan begitu banyak dampak positif dari kegiatan Pramuka yang pernah ia ikuti. Catatan waktu memperlihatkan bahwa itu terjadi pada tahun 1980-an.
Seperti berjalan di dalam kabut, itulah yang dirasakan gadis kecil itu saat pertama kali mengikuti perkemahan. Kaki kecilnya tampak melangkah dengan begitu hati-hati, karena selubung kabut selalu saja menyelimutinya.
Di dalam kabut, Minuk benar-benar tak bisa membedakan bayang-bayang dari dirinya dan pohon-pohon di sekitarnya. Maka, ketika ada cahaya berwarna kuning keemasan yang timbul dari spirit ketika ia mengikuti kegiatan Pramuka, Minuk pun mulai menemukan titik awal dari arah langkahnya. Dan ia yakin, itu adalah fondasi yang benar bagi dirinya untuk memasuki pintu gerbang pendidikan di sekolah.
Minuk akhirnya berani berlari-lari kecil dengan mata terpejam, mencoba menikmati hawa dingin yang menyejukkan di pagi hari itu menyentuh kulitnya. Ya, itu adalah suasana desa yang sungguh indah. Desa itu bernama Desa Peniwen tempat di mana Minuk berkemah untuk yang pertama kali. Dan untuk pertama kalinya pula Minuk mandi dengan air dingin di pagi hari.
Minuk pun baru tersadar betapa indahnya langit pagi yang menghangat secara perlahan dan menyentuh embun di ujung rumput hingga menguap, begitu sempurna dengan iringan suara air sungai yang terdengar merdu di telinganya.
Meskipun selalu cemas dan takut dengan apa yang akan dialaminya saat berkemah, Minuk yang minim pengetahuan dan keterampilan Pramuka itu pun akhirnya mencoba berdiri tegap menjadi komandan peleton upacara pembukaan perkemahan HARDIKA saat itu.
"Siap, gerak. Lencang depan, gerak!" suara lantang Minuk yang telah dilatihnya berhari-hari sebelum berangkat berkemah akhirnya membahana. Bagi Minuk, itu adalah sebuah pengalaman yang sungguh menakjubkan. Dan pengalaman pertama itu telah membuka berbagai kemungkinan.
Minuk duduk di kelas 4 SD dengan usia belum genap 10 tahun (Siaga) ketika terpilih mewakili gudepnya bersama kakak kelas 5 dan kelas 6 (Penggalang) untuk berkemah di desa tetangga. Â Hanya 2 siaga putri dan 2 siaga putra yang dipilih oleh Pembina untuk ikut berkemah. Salah satunya adalah Minuk.
Minuk bangga mendapatkan kepercayaan itu, karena dimulai dari sanalah langkah kaki kecil Minuk memasuki dunia Pramuka. Yang perlahan-lahan, membantu mengubah perangai Minuk sebagai anak dengan label pemalas dan seenaknya sendiri.
Minuk terlahir sebagai anak bungsu dari enam bersaudara yang selalu mendapatkan kemanjaan dari keluarganya. Ia begitu bebas melakukan apa yang ia suka. Masa kecilnya memang benar-benar menyenangkan dan itu yang  membuatnya menjadi begitu percaya diri ketika berada di rumah.
Percaya diri dan keberanian Minuk di rumah memang tak perlu diragukan. Tetapi ketika ia mulai melangkahkan kaki menuju sekolah, kecemasan dan ketakutan pun langsung menyergapnya tanpa permisi.
Meskipun label pemalas dan anak manja melekat padanya, tak sedikit pun Minuk membela diri. Apa saja yang dikerjakan memang selalu lamban atau lebih tepatnya tidak cekatan. Ia benar-benar tidak terampil dalam berbagai hal seperti teman-teman seusianya di kampung, kecuali bila ada sesuatu yang sangat ingin sekali ia kerjakan, tetiba dunianya menjadi terbalik dan ia pun dengan mudah menjadi sosok anak dengan label yang sebaliknya.
Setelah itu, ia tetap saja akan kembali menjadi Minuk dengan label yang telah melekat padanya "pemalas". Ya, Minuk memang pemalas. Namun, di dalam kemalasannya itu ternyata ia gemar sekali mengamati apa saja yang ada di sekitarnya dengan begitu detail.
Ibu menggandeng tangan Minuk menuju gerbang sekolah TK. Ini sudah kesekian kalinya Minuk bangun kesiangan dan terlambat ke sekolah. Ibu memang berbaik hati mengantar Minuk ke sekolah hari itu, setelah melihat kecemasan dan ketakutan di wajah Minuk yang begitu menyedihkan.
Minuk memang enggan bangun pagi. Ia begitu kecewa karena setiap membuka mata selalu disambut oleh udara yang begitu dingin dan menembus selimut loreknya. Kekecewaan Minuk pun semakin sempurna melihat kakaknya sudah mandi dan bersiap pergi ke sekolah. "Pasti ini sudah siang", batin Minuk menggerutu sambil menarik selimut loreknya dan bergulung-gulung di dalamnya.Â
Dengan memicingkan mata dari tempat tidur karena silau oleh cahaya matahari yang mulai menerobos memasuki celah jendela kamar, Minuk pun menghela napas panjang dan segera bangkit, bersiap mandi dengan air hangat untuk berangkat ke sekolah.
Minuk memang tidak suka bangun pagi karena kedinginan dan ia juga tidak suka jam istirahat sekolah karena selalu mendapatkan penindasan dari teman-teman kecilnya. Ia selalu dikejar-kejar oleh beberapa teman laki-lakinya entah untuk apa. Dan Minuk sering kali bersembunyi di bawah meja penjual opak pecel di sekolahnya.
Meskipun Minuk masih menjadi anak yang pemalas, setidaknya Minuk sudah mulai memerangi kemalasannya ketika duduk ke kelas 2 SD, pada momen saat  ia mendapatkan figur yang menarik dari Bu Wondo, kepala sekolah baru Minuk yang cantik seperti ibunya, tegas dan juga disiplin.
Walaupun begitu, tidaklah mudah bagi Minuk membalikkan telapak tangannya. Ia masih begitu dekil karena belum bisa menjaga kebersihan diri dan tak pandai membersit hidung saat pilek. Dan Ibu selalu menggantungkan sapu tangan di baju seragamnya dengan peniti bila hidungnya sedang meler, agar tidak diusap dengan dasinya.
Sakit perut, sakit gigi dan pilek menjadi langganan Minuk. Sampai suatu hari Bu Wondo datang menjenguk ke rumah dan berbincang dengan Minuk secara pribadi. Bu Wondo yang selalu datang paling pagi di sekolah meskipun rumahnya paling jauh, telah membuka pikiran Minuk untuk bangkit dari kemalasan, apalagi ketika Bu Wondo menceritakan bagaimana mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah.
Tetapi, tetap saja rambut Minuk masih berkutu dan ia terus menggaruk-garuk kepala di depan Bu Wondo. Meskipun Bu Wondo sepertinya mengetahuinya, beliau tampak tetap begitu sabar mengajar Minuk. Dan ada saja cara Bu Wondo membuat Minuk kembali fokus ketika mulai menggaruk-garuk kepalanya.
Kemalasan Minuk memang sudah mulai berkurang, tetapi ketika sudah duduk di kelas 3 SD tetap saja Minuk mengalami yang namanya bangun kesiangan dan tidak sempat mandi saat berangkat ke sekolah.
"Ah..... , benar-benar sudah siang..." Sambil berteriak-teriak, Minuk segera mengambil air satu gayung untuk mencuci mukanya dan satu gayung lagi untuk mencuci tangan juga kakinya. Ups, satu gayung lagi untuk membersihkan bekas buang air kecilnya di lantai kamar mandi.
Minuk pun segera mengenakan seragam merah putihnya dan berangkat dengan terburu. Sekolah Minuk ketika itu sedang dalam perbaikan dan hari itu Minuk harus menempuh jalan yang teramat jauh bagi kaki kecilnya. Karena ia harus menuju rumah Pak Tamar yang memiliki ruangan besar untuk kelas sementara Minuk.
Sesampai di di rumah Pak Tamar, badan Minuk terasa begitu gerah akibat berjalan jauh dan tidak mandi saat berangkat sekolah.
"Lho, tak kiro awakmu gak mlebu sekolah..."Â begitu teman Minuk menyapa dengan berbisik karena pelajaran akan segera dimulai. Minuk hanya tersenyum menanggapi temannya karena ia terus saja merasa gerah sepanjang pelajaran dan itu membuatnya kapok bermalas-malasan. Benarkah? Bukankah kebiasaan yang sudah mendarah daging itu tidak mudah untuk diperangi? Dan benar saja, Minuk masih terus bergumul dengan kemalasan, sampai Pramuka memanggil jiwanya.
Salam Pramuka!
Salam...!
"Pramuka itu sepertinya keren", itu yang dipikirkan Minuk ketika melihat latihan Pramuka untuk kali pertama di Gudepnya. Meskipun takut karena bentakan dan hukuman seperti yang sering ia dengar, akhirnya Minuk mencoba melangkah dan menikmati seluruh kegiatan pramuka yang ada di Gudepnya.Â
Percaya tidak percaya, spirit yang datang setelah mengikuti kegiatan pramuka itu telah mengubah perangai Minuk. Akhirnya, ia seperti Bu Wondo yang berangkat ke sekolah lebih pagi dari yang lainnya, bahkan ia terus begitu setelah Bu Wondo pindah ke sekolah lain.
Sejak saat itu, Minuk menjadi sosok yang pemberani dan tidak putus asa dalam berupaya untuk berdamai dengan kemalasannya. Ssst... Jika tidak melihatnya sendiri, bayang-bayang pohon di antara pekatnya kabut pun tak akan percaya bila Minuk telah menjadi sosok yang nasionalis, setelah ia ikut pramuka.
Minuk akhirnya dapat bangun pagi dengan bugar dan penuh semangat. Hari-harinya semakin berwarna. Ia tak lagi berkutu, tak lagi sakit perut dan sakit gigi. Bahkan, ia tak pernah minum obat flu sampai ia besar dan tak ada lagi yang berani menindas Minuk di sekolah. Ibu juga tak perlu lagi menggantungkan saputangan di seragamnya dengan peniti. Minuk tak pernah lagi pilek meski telah pintar membersit hidung untuk membersihkan ingusnya.
Meskipun tidak hafal dengan dua kode kehormatan pramuka siaga bila tidak membuka buku saku Pramuka, Minuk tahu janji setia pramuka siaga kepada Tuhan dan Negara dalam Dwi Satya itu adalah sesuatu yang keren dan istimewa. Demikian pula dengan Dwi Dharma yang dibaktikan oleh pramuka siaga.
Dwi Satya...
Demi kehormatanku, aku berjanji akan bersungguh-sungguh:
- Menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menurut aturan keluarga
- Setiap hari berbuat kebaikan
Dwi Dharma...
- Siaga berbakti kepada ayah dan ibundanya
- Siaga berani dan tidak putus asa
Setelah dewasa, Minuk pun akhirnya mengerti, mengamalkan Dwi Satya dan Dwi Dharma di dalam keseharian sejatinya dapat menumbuhkan jiwa nasionalis dan jiwa sosial yang tinggi bagi anak-anak bangsa ini, yang tentu dapat menjadi fondasi yang kuat bagi sebuah lembaga pendidikan.
Jika Pramuka Tidak Wajib dalam ekstrakurikuler di sekolah, mungkinkan khusus Siaga tetap bisa dipertahankan? Agar anak-anak negeri ini tetap mengalami paling tidak satu kali Pesta Siaga di dalam kehidupannya? Bersama Yanda dan Bunda, juga Pakcik dan Bucik?
Bukankah dampak positif dari kegiatan pramuka di tingkat dasar bisa turut membantu memudahkan arah langkah dari pendidikan dengan kurikulum merdeka bagi negeri ini? Bukankah kemerdekaan juga memerlukan fondasi yang kuat? Tentu saja dengan mencurahkan seluruh potensi yang ada untuk perbaikan kualitas para pembina pramuka di tingkat Siaga, dan memberantas kelemahan-kelemahan yang ada.
Lihatlah, Minuk kecil masih selalu merasa berselimut kabut tiap kali ia ikut kegiatan pramuka. Dan itu selalu ia rasakan hingga ia menjadi Penegak. Kecemasan dan ketakutan selalu membayangi langkahnya. Butuh waktu yang panjang untuk mengalahkan ketakutannya dan itu ia dapatkan di Pramuka. Adakah yang juga merasakan seperti yang dialami Minuk?Â
Di dalam kabut, Minuk benar-benar tak bisa membedakan bayang-bayang dari dirinya dan pohon-pohon di sekitarnya. Maka, ketika ada cahaya berwarna kuning keemasan yang timbul dari spirit ketika ia mengikuti kegiatan Pramuka, Minuk pun mulai menemukan titik awal dari arah langkahnya. Dan ia yakin, itu adalah fondasi yang benar bagi dirinya untuk memasuki pintu gerbang pendidikan di sekolah.
Bandungan, 14 April 2024
Catatan:
"Lho, tak kiro awakmu gak mlebu sekolah..." ("Lho,saya kira kamu tidak masuk sekolah...") *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H