Dan cascara yang identik dengan limbah pertanian itu pun tak diduga-duga juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sama seperti filosofi dari kopi luwak bahwa yang tampak tidak berguna (limbah), apabila diolah dan diperhatikan dengan sedemikian rupa ternyata dapat bertransformasi menjadi sesuatu indah dan memiliki nilai yang sangat tinggi.
Siapa sangka teh kulit kopi (cascara) olahan Pak Slamet itu, pada akhirnya memiliki nilai ekonomis tinggi dibandingkan kopinya sendiri ketika diekspor ke Swiss, bahkan dengan harga hampir tiga kali lipat dari harga kopi terbaiknya sendiri (honey process), selain kopi luwak.
Pak Slamet dan Cascara: Rezeki pada saat pandemi dari kopi dan cascara
Ketika sebagian perusahaan gulung tikar saat pandemi, Pak Slamet malah mendirikan Commanditaire Vennootschap (CV) dengan pamong tari dari sanggar tari di atas.Â
Demikian pula ketika pemasukan keuangan sebagian orang menurun, Pak Slamet malah dapat berbagi rezeki dengan para petani kopi dan sesamanya. Begitulah rezeki, bisa kapan saja datang dan melalui cara yang kadang tidak disangka-sangka.
Ya, tatkala pandemi menyapa dan kegiatan rutin sanggar tari terhenti, sang pamong tari memang memutuskan untuk bekerja sama dengan sanggar kopinya Pak Slamet yang selama 8 tahun telah memberikan  dukungan besar atas keberlangsungan sanggar tari tersebut.
Dan siapa sangka cascara yang dikirim untuk salah seorang murid tamu asing yang berada di Swiss berujung jatuh ke tangan yang tepat. Dan permintaan contoh kopi serta cascara yang dikirim kemudian, pada akhirnya dapat diterima oleh salah satu perusahaan teh dan rempah-rempah di Swiss.
Karena ada permintaan dari luar negeri itulah Pak Slamet dan pamong tari dari sanggar tersebut akhirnya harus mendirikan Persekutuan Komanditer (CV) untuk kepentingan ekspor.
Proses memang tak mengingkari hasil, kesabaran dan ketelatenan Pak Slamet dalam merawat kebun kopi di kawasan Candi Gedong Songo secara organik dengan konsep konservasi alam melalui sistem shade grown coffee dan keikhlasannya dalam mendukung kegiatan sanggar tari non profit tersebut, pada akhirnya membuka jalan bagi Pak Slamet untuk melangkah lebih jauh, berbagi dengan sesama di dalam kehidupan melalui kopi dan teh cascara olahannya.
Bukan hanya cara pengolahannya, ternyata faktor alam seperti ketinggian di mana kopi itu tumbuh dan juga adanya kawah aktif yang masih menyemburkan asap belerang, dengan aliran air panas maupun dingin, yang mengairi perkebunan kopi di area hutan lindung kawasan Candi Gedong Songo, bisa jadi itu yang memberikan kenikmatan rasa yang berbeda, hingga pembeli dari Swiss tersebut mengalihkan pandangannya ke teh kulit kopi (cascara) olahan Pak Slamet.