Mohon tunggu...
Christina Budi Probowati
Christina Budi Probowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Hidup adalah kesempurnaan rasa syukur pada hari ini, karena esok akan menjadi hari ini....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kahyangan Itu Ada di Desa Wisata Kenteng

11 November 2022   23:46 Diperbarui: 11 November 2022   23:48 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
I'AMpelgading Homeland (dokpri)

Tak bisa dipungkiri, sektor pariwisata sebagai kontributor terhadap pertumbuhan perekonomian memang patut diapresiasi karena ia dapat menciptakan banyak lapangan kerja yang dapat membantu kita semua keluar dari krisis ekonomi setelah pandemi. Ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya desa wisata yang bermunculan, yang secara tidak langsung semakin meningkatkan pamor sektor pariwisata yang memiliki peran penting sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian bangsa.

Wisata alam I'AMpelgading Homeland yang berada di ketinggian 1367-1800 mdpl diambil dari nama sebuah dusun di wilayah Desa Wisata Kenteng, yakni Ampelgading. Gazebo-gazebo yang senada dengan warna alam pun tertata apik di sana dan tampak harmoni dengan lanskap pegunungan. Hawa dingin dan hamparan pemandangan alam yang indah pun semakin menyempurnakannya.

Momen menyaksikan matahari terbit maupun terbenam juga tak kalah menarik, karena pemandangan alam yang terhampar di sana memang benar-benar menakjubkan. Menghadap ke arah mana pun mata memandang, yang tampak adalah hamparan alam yang indah, maka laik bila nama Kahyangan juga melekat pada I'AMpelgading Homeland, karena keindahan alamnya dapat dinikmati dari berbagai penjuru, bagaikan melihat bidadari-bidadari dengan kecantikannya yang menawan.

Enam tahun yang lalu mungkin tak ada yang menyangka ada sebuah tempat indah di lereng Sakya yang memiliki potensi besar yang bisa digali dan dibawa ke permukaan untuk bisa dinikmati oleh khalayak, sebelum tujuh pemuda dari dusun tersebut menyibak tirai yang menutupi keindahannya. Bersama masyarakat setempat, akhirnya tujuh pemuda tersebut bergotong-royong melakukan kerja bakti membersihkan dan juga menatanya menjadi sebuah tempat wisata yang memikat hati.

Pada awalnya infrastruktur untuk mencapai tempat tersebut belum, bahkan bisa dikatakan tidak memadai sama sekali. Dengan kegigihan dan kekompakan warga dusun, akses menuju ke sana pun akhirnya dapat dengan mudah dicapai selain dengan berjalan kaki, sehingga dapat menopang desanya menuju desa  wisata ramah berkendara. Kini, kendaraan roda dua maupun roda empat telah dapat mencapai I'AMpelgading Homeland dengan mudah.

Hampir semua dusun di wilayah desa ini memiliki vila dan juga penginapan yang pada hari libur selalu dipadati oleh pengunjung. Tak hanya vila-vila, beberapa tempat retret pun juga ada di desa ini. Maka, kehadiran I'AMpelgading Homeland tentu semakin memberikan warna pada Kenteng sebagai desa wisata.

Sampah dan wisata 

Waktu itu malam telah larut ketika saya menginjakkan kaki pertama kali di Bandungan setelah menempuh perjalanan dari Malang dengan diiringi gerimis dan sebuah lirik puisi sederhana yang mengintai di sudut pikiran selama perjalanan. Ya, akhirnya sampailah saya dan keluarga di tempat yang kami tuju yakni "Bandungan".

Hawa dingin langsung menyapa sesaat setelah keluar dari mobil travel yang kami sewa. Banyak pilihan vila yang bisa kami sewa sebagai tempat tinggal sementara. Akhirnya, kami pun tinggal di salah satu vila di Dusun Ampelgading di wilayah Desa Wisata Kenteng yang memiliki banyak kuliner lesehan dengan menu khasnya yakni Tahu Serasi, Susu Kedelai dan Torakur (Tomat Rasa Kurma).

Indahnya ladang sayur dan bunga di antara kabut tipis yang turun dari gunung Sakya selalu dapat kami nikmati setiap kali saya dan anak-anak berjalan-jalan pagi di sekitar vila. I'AMpelgading Homeland belum ada ketika itu.

Tanggal 11 November 2011 akhirnya kami menemukan sebuah tanah yang cocok untuk kami tinggali tidak jauh dari vila yang pernah kami sewa. Di antara ladang bunga dan sayur, sebuah rumah kayu dari Boyolali kami pindahkan ke tanah itu. Kami pun kemudian menempati sebuah rumah kayu dan hidup berdampingan dengan dua tetangga kami yang jaraknya cukup berjauhan karena dipisahkan oleh beberapa ladang sayur dan bunga.

Beberapa bulan kemudian, sebuah sanggar tari yang bertujuan untuk melestarikan akar budaya Jawa ikhlas tanpa pamrih dengan mengedepankan pendidikan karakter pada anak kami dirikan dengan berbekal pengalaman pernah mengelola sebuah rumah budaya di kota Surabaya pada tahun 1998-2002.

Tidak sampai setahun, seni pertunjukan telah beberapa kali digelar untuk menyambut tamu asing. Bahkan, murid tamu asing pun juga sempat berlatih menari dengan intens dan mendalami filosofi dari tarian tersebut di sanggar ini.

Menerima grup wisatawan asing (dokpri)
Menerima grup wisatawan asing (dokpri)

Karena sanggar tari ini berorientasi pada pendidikan karakter anak, maka masalah sampah pun akhirnya turut menjadi perhatian.

Sampah dan wisata memang memiliki keterkaitan yang tidak mudah diurai. Dengan berbekal pengalaman saat menerima wisatawan baik asing maupun lokal serta mengamati anak-anak dalam memperlakukan sampah, maka pemahaman akan kepedulian terhadap lingkungan dan alam pun turut masuk menjadi bagian pengarahan oleh pamong sanggar sebelum latihan menari dimulai dengan bahasa komunikasi yang mudah diterima oleh anak-anak didik sanggar.

Tak hanya mengingatkan untuk membuang sampah pada tempatnya, tetapi anak-anak didik di sanggar ini juga diajak untuk mengubah pola pikir yang berbeda tentang sampah. Bila sampah identik selalu dibuang dan tidak berguna, di sanggar ini sampah dianggap sebagai teman.

Anak-anak didik di sanggar ini pun juga diajak untuk membiasakan diri tidak lekas membuang sampah sebelum memikirkan terlebih dahulu apakah sampah tersebut termasuk yang mudah terurai atau tidak, apakah masih bisa didaur ulang atau tidak.

Maka, di sela-sela latihan menari, membedakan sampah anorganik dan organik juga dilakukan dengan cara bermain yang menyenangkan agar memori jangka panjang anak didik sanggar dapat merekam dengan baik ketika memiliki/menjumpai sampah, sehingga mereka akan dapat menempatkannya sesuai dengan tempatnya, karena ia (sampah) adalah teman.

Tradisi leluhur yang membuang sampah dengan penuh kesadaran memang harus kembali diangkat ke permukaan. Meskipun waktu itu belum ada yang namannya sampah plastik, membuang sampah bungkus makanan dari daun pisang pun tidak serta-merta langsung dibuang dengan sembarangan. Bungkus dari daun pisang itu harus dibuka dengan benar secara keseluruhan sampai tidak ada bagian yang masih terlipat, sebelum kemudian diletakkan di tempat pembuangan sampah.

Perilaku menghormati alam yang dilakukan nenek moyang kita di atas memang sepatutnya diteladani oleh generasi masa kini agar dapat lebih fokus, tidak terburu-buru, dan senantiasa di dalam kesadaran penuh ketika melakukan setiap aktivitasnya termasuk dalam hal membuang sampah.

Pada momen tertentu, anak-anak didik di sanggar ini diminta untuk membawa botol bekas minuman plastik dari rumah untuk dipoles menjadi sesuatu yang berbeda dan memikat. Sumbangan cat akrilik dari orangtua salah satu anak didik sanggar  sangat membantu kegiatan ini waktu itu.

Mewarnai botol plastik dengan cat akrilik (dokpri)
Mewarnai botol plastik dengan cat akrilik (dokpri)

Botol-botol itu akhirnya diwarnai sesuka hati oleh anak-anak didik sanggar yang nantinya akan dijadikan pot bunga dan dibawa pulang kembali setelah diisi bibit bunga yang ada di sanggar.

Tak hanya di sanggar tari ini, di sekolah (TK) di dusun Ampelgading pun kini juga memanfaatkan sampah botol minuman dari plasik sebagai alat permainan edukatif, seperti mobil-mobilan dan lain sebagainya.

Bisakah sampah menjadi bagian dari wisata itu sendiri?

Peningkatan kualitas manajemen di tempat wisata memang perlu memerhatikan masalah pengelolaan sampah. Adira Finance tentu memahami kondisi ini, pengelola tempat wisata sebaiknya memang tak hanya menyediakan tempat sampah dengan jenis/fungsi yang berbeda, kebijakan untuk membuat iklim agar sampah menjadi sesuatu yang memikat dan menjadi bagian dari wisata itu sendiri tentu sangat diperlukan dan bisa menjadi program ke depan yang patut dipikirkan bersama, bahkan mungkin bisa menjadi bagian dari program Desa Wisata Kreatif dalam Festival Kreatif Lokal yang dapat diakses di adira.id/e/fkl2022-blogger.

Beberapa tempat wisata mungkin sudah memiliki Bank Sampah. Meskipun tidak memilikinya, pengelola tempat wisata kini perlu memikirkan alternatif lain yang sejenis, seperti menyediakan sudut ruangan yang menarik untuk membuat sampah menjadi teman, yang tak bisa ditinggalkan begitu saja.

Tidak semua insan (wisatawan) mengerti dan sadar mengenai pemilahan sampah, kita memang perlu memikirkan bagaimana cara yang memikat agar wisatawan tidak tergesa-gesa membuang sampah dari plastik yang bisa didaur ulang seperti botol minuman.

Cat akrilik dan peralatan sederhana seperti kuas, spidol permanen dan gunting, tentu bisa disediakan oleh pengelola tempat wisata di sudut ruangan atau sebuah tempat, yang ditata dengan apik dan semenarik mungkin.

Botol minuman yang telah berubah penampilan tentu sayang untuk dibuang, bahkan bisa dibawa pulang dan dijadikan kenangan akan tempat wisata itu, apalagi bila di situ juga tertera kapan ia berkunjung ke tempat wisata tersebut. Mungkinkah itu dapat dilakukan?

Tradisi tanam pohon di Kahyangan

I'Ampelgading Homeland berdiri ketika sanggar tari ini berusia 5 tahun, dan beberapa murid tamu asing yang pernah belajar menari di sanggar ini pun juga sudah berkunjung ke I"AMpelgading Homeland untuk menanam pohon di sana.

Menanam pohon di Kahyangan (dokpri)
Menanam pohon di Kahyangan (dokpri)

Waktu itu, pengelola I'AMpelgading Homeland menyediakan lahan dan seorang penjual bibit tanaman menyumbang bibit untuk ditanam seperti mangga dan lemon, sehingga kegiatan (tanam pohon) ini dapat terjadi tiap kali ada murid tamu asing datang ke sanggar ini, seperti Hitomi dari Jepang, Nikola dari Republik Ceko dan juga Estelle dari Perancis.

Meskipun kegiatan rutin latihan menari di sanggar ini telah ditiadakan sejak pandemi melanda hingga kini, secara berkala diskusi tentang seni dan budaya masih berlangsung di sanggar ini dan tetap memikat mahasiswa asing untuk bergabung seraya menikmati sajian kopi dengan asap tipis yang membubung di atasnya.

Program tanam pohon di Kahyangan, tentu akan terus menjadi tradisi yang tak akan ditinggalkan tiap kali ada warga asing yang berkunjung ke sanggar ini untuk diajak menanam pohon di sana. Hutan memang karunia Tuhan yang patut kita syukuri dengan tetap menjaga keindahannya tatkala kita menikmatinya. Dan Kahyangan itu ada di desa wisata Kenteng.

Bertepatan dengan Hari Jadi I'AMpelgading Homeland, 11-11-2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun