Mohon tunggu...
Christina Budi Probowati
Christina Budi Probowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Hidup adalah kesempurnaan rasa syukur pada hari ini, karena esok akan menjadi hari ini....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sepenggal Cerita tentang Mbah Guru

25 November 2020   12:38 Diperbarui: 25 November 2020   12:45 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
@rosanne.croucher.art

Saya sudah duduk menikmati secangkir kopi ketika matahari masih enggan bangkit dari tidurnya, dan masih diselimuti dengan pekatnya kabut gunung dalam keheningan yang begitu menenangkan. Namun, tiba-tiba keheningan itu pecah oleh suara dari irama musik SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) 1988 yang diputar anak-anak saya. Irama musik yang membangkitkan gairah itu pun akhirnya menembus pekatnya kabut, dan menghipnotis saya untuk bangkit melakukan senam kesegaran jasmani bersama keluarga saya pagi ini, sambil menikmati indahnya cahaya fajar jingga yang mulai menggeliat menyapa hari.

Tiap kali musik SKJ zaman dulu itu terdengar di telinga saya, sosok almarhum Mbah Guru memang selalu saja membangkitkan kenangan indah yang tak dapat saya lupakan. Kenangan di suatu pagi saat Mbah Guru mengajak kami, anak-anak dan remaja di kampung kami melakukan senam kesegaran jasmani di rumah masing-masing dan beliau yang mengomando kapan irama musiknya diputar dengan volume yang keras agar bisa didengar oleh orang sekampung.

Di desa saya, tahun 1988, memang tidak semua rumah sudah dialiri listrik. Tetapi, ternyata itu malah membuat kami kompak dalam beraktivitas, seperti senam pagi bersama di rumah masing-masing, dengan mendengarkan iringan musiknya dari rumah yang sudah ada aliran listriknya. Dan tentu saja, itu atas inisiatif dari Mbah Guru, sosok guru yang menjadi panutan bagi warga di kampung kami.

Waktu itu saya masih anak-anak dan itu terjadi di tahun delapan puluhan. Namun sepenggal kenangan tentang Mbah Guru ternyata masih terpatri manis dalam ingatan saya dan tak bisa lepas begitu saja. Sampai sekarang, setiap ada musik SKJ zaman dulu terdengar, saya selalu ingat pada almarhum Mbah Guru.

Andai sekarang saya pulang kampung di hari libur, berpura-pura tidak semua rumah dialiri listrik, kemudian saya putar lagu SKJ zaman dulu itu dengan volume yang keras dan melakukan senam pagi di halaman rumah masing-masing, dengan menghirup udara segar bersama orang-orang di kampung halaman saya, pasti ini hal yang sangat tepat dilakukan di masa pandemi, yakni menjaga kesehatan dalam kebersamaan, namun dengan tetap menjaga jarak, dan tentu saja itu dapat menghamparkan pemandangan indah yang harmoni dengan alam. Tapi, tentu kini semua telah berbeda, rumah telah rapat, halaman rumah mungkin sudah terbatas dan sosok Mbah Guru sudah tidak ada.

Saya memanggilnya Mbah Guru, itu karena Ibu saya memanggilnya dengan sebutan Pak Guru. Dan karena masih kerabat, otomatis Nenek saya memanggilnya "kakak" meski usianya lebih muda dari Nenek saya. Di luar dugaan saya, sebagai orang Jawa Nenek saya lebih memilih sebutan "Kang" daripada "Mas". Jadi, sudah bisa ditebak bagaimana Nenek saya memanggil Mbah Guru. Tentu saja, Nenek saya memanggilnya dengan sebutan Kang Guru.

Sebagai anak-anak, bagaimana mungkin saya merasa hal itu tidak lucu tiap kali mendengar Nenek saya menyapa Mbah Guru, "Sugeng enjang, Kang Guru...". Saya merasa itu sangat lucu sekali karena mengingatkan saya dengan binatang mirip kelinci tetapi besar, jalannya meloncat-loncat dan kaki belakangnya tentu saja lebih besar, yang saya kenal dengan nama kanguru.

Mbah Guru sangat dihormati. Beliau telah memberikan atmosfer tersendiri bagi kampung kami. Guru memang merupakan pribadi dan profesi yang dihormati. Mbah Guru pun menjadi panutan bagi kami karena sikapnya yang halus dalam bertutur kata, bersahaja dalam berperilaku, cerdas dan berkelakuan baik, serta tanpa pamrih dalam pengabdiannya sebagai guru.

Kalau kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Namun, menurut pandangan orang Jawa, selain pekerjaannya sebagai pendidik (pengajar), dalam kerata basa guru terdiri dari kata digugu lan ditiru (dianut dan dicontoh). Maka, menganut kata guru dalam pandangan orang Jawa, kriteria seorang guru itu, menurut saya, ya, seperti Mbah Guru itu. Tak hanya memiliki keahlian dan kemampuan di bidang akademis, tapi juga sepatutnya memiliki perilaku yang pantas untuk dijadikan teladan. Kerata basa atau Jarwo Dhosok dalam bahasa Jawa adalah penjabaran dari satu kata yang menjadikannya memiliki makna yang lebih filosofis.

Guru memang sosok yang mengagumkan. Demikian juga dengan Pak Sartono, sebagai guru musik yang mempelajari musik secara otodidak, beliau pun mengungkapkan kekaguman dan pujiannya kepada sosok guru ke dalam lagunya, "Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", yang kemudian menjadikannya pemenang dalam ajang lomba cipta lagu tentang pendidikan pada tahun 1980-an.

Kekagumannya pada sosok guru sebagai pendidik yang tanpa pamrih dalam pengabdiannya, menjadi pelita dalam kegelapan, juga laksana embun penyejuk dalam kehausan benar-benar tertuang indah pada bait-bait lirik lagunya.

Sejatinya, siapa saja yang memiliki kriteria di atas bisa juga disebut guru, menurut perspektif subyektif saya. Kalau kita menyadari, orang tua kita tentu telah memiliki kriteria di atas secara alamiah bagi anak-anaknya. Apalagi di masa pandemi sekarang ini, sosok orang tua sebagai guru tentu sangat dibutuhkan dalam mendampingi proses belajar mereka.

Bahkan dalam konsep pembelajaran yang saling melengkapi, guru adalah murid dan murid adalah guru, anak-anak pun adalah guru bagi orang dewasa di sekitarnya, karena kemurnian hati mereka dapat menyentuh rasa yang dalam, dengan hal-hal sederhana yang dilakukan.

Hari Guru Nasional diperingati setiap tahun pada tanggal 25 November. Dalam sejarahnya, sebagai bentuk penghormatan kepada sosok guru, pemerintah Republik Indonesia menetapkan hari lahir PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang jatuh pada 25 November tahun 1945,  sebagai Hari Guru Nasional.

Mengingat sosok Mbah Guru tentu tidak lepas dengan profesi seorang guru/pendidik. Maka, dari lubuk hati yang terdalam, hari ini saya mengucapkan "Selamat Hari Guru Nasional" kepada semua Bapak dan Ibu Guru di sekolah. Damai sejahtera bagi Bapak dan Ibu guru, semoga senantiasa sehat dan bahagia dalam pengabdiannya sebagai pendidik. Juga kepada Orang Tua yang merupakan guru/pendidik yang utama bagi anak-anak.

Tak lupa kepada anak-anak, kalian juga guru bagi siapa pun yang dapat menangkap rasa dari kemurnian hati kalian, karena di sana banyak sekali hal yang bisa dipelajari. Kepada Mbah Guruku yang telah berpulang kepadaNYA, terima kasih atas teladan dalam pengabdiannya sebagai seorang guru/pendidik.

Pepatah mengatakan, pengalaman adalah guru yang terbaik. Dan pengalaman belajar bersama Bapak/Ibu guru di sekolah atau Bapak/Ibu di rumah adalah bagian dari pendidikan alamiah yang diberikan Alam. Maka terima kasih pula kepada Alam sebagai guru/pendidik yang sempurna dalam kehidupan manusia.

Dan irama musik dari SKJ 1988 yang membangkitkan gairah itu pun akhirnya dapat menembus pekatnya kabut, menghipnotis saya untuk bangkit melakukan senam kesegaran jasmani bersama keluarga saya pagi ini, sambil menikmati sepenggal cerita tentang Mbah Guru, dan indahnya cahaya fajar jingga yang mulai menggeliat menyapa hari yang spesial ini. Selamat Hari Guru Nasional 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun