Christina Liapradipta + http://www.kompasiana.com/adikara45ID . No 37
Adalah hal terindah melihatmu menikmatisisa pagi dengan bau asam basa di rongga mulutmu. Gurat cantikmu masih terlalu kuat untuk menanggalkan kebiasaan mengeratkangigimu-bunyian yang mengganggu sekaligus candu penenangku. Secangkir kopi pahit dan roti bermentega selalu tersaji rapi di meja kecil disamping tempat kita biasa terlelap. Pemandangan yang sangat jarang dan hanya terjadi jika kamu terbangun lebih dulu. Bukan di pagi itu.
Ketidakteraturan selalu menjadi musuhmu. Aku. Dan segala hal lainnya yang terburu-buru mengusikmu. Dari dulupun aku sudah tau. Seperti musuh dalam selimut. Selimut yang membuatku tenggelam teramat nyaman-penyebab keenggananku menemanimu jogging karena tidak suka sendirian. Kamu cemburu pada benda mati, selimut yang dengannya aku memilih berlama-lama menghabiskan akhir pekan.
Kutatap bayangan yang menghilang ditelan gemercik air di bawah pancuran. Kamu dan waktu adalah dimensi yang berkebalikan. Diburu waktu tidak lantas membuat kecepatanmu kau lipatgandakan. Siulan kecil di sela lagu yang kau dendangkan justru membuat waktumu makin menguap tak karuan.
“Sayang, sudah jam setengah delapan kurang.” teriakku memecah keheningan. “Nanti aku bisa terlambat.”
“Belum juga jam delapan.” Kamu keluar dengan rambut basah acak-acakan. Kamu nyengir dan berjingkat-jingkat mengambil pakaian yang baru kering di jemuran.
Memasak, membersihkan pakaian kotormu, mencuci tumpukan piring dan gelas kotor di wastafel adalah hal yang sering terlewatkan. Semuanya tidak pernah aku bereskan sendirian. Selalu kamu yang akhirnya turun tangan. Belum lagi berkas-berkas yang tumpang tindih di meja kerjaku yang makin tak beraturan. Sudah berulang kali kamu susun berarsip rapi dan kau namai, tapi aku tidak melihatnya sebagai solusi. Selalu gerutuku yang sampai ditelingamu. Keluhanku karena berkas pentingku tidak ketemu.
Ingin kukatakan bahwa aku sudah tidak tahan. Aku merindukan kebersamaan dan hari bersamanya seperti menjalani dua peran dalam waktu bersamaan, berulang-ulang. Bertahun-tahun aku bersabar. Salahkah jika benci bisa dilimpahkan pada istri sendiri, pada seseorang yang dimata Tuhan aku pernah berjanji akan mencintainya sampai mati? Beberapa hari ini kamu kudiamkan. Kubereskan pekerjaan rumah dan mejamu dengan bermacam-macam kertas bertebaran. Tanpa sepatah katapun aku katakan.
“Ada lemburan. Aku malas mengerjakan di kantor, jadi aku bawa saja ke rumah sebagian.” Aku menjawab dengan anggukan. Dan terlelap lebih dulu dalam diam. Diam yang sementara membuatku nyaman.
Mataku belum juga mau terpejam. Lelaki yang telah aku nikahi berubah sikap beberapa hari belakangan. Aku tau Ia mulai tak tahan. Aku adalah kesalahan. Kamu anak orang kaya yang segalanya selalu tersedia. Memilih dibenci karena kawin lari dan hidup pas-pasan bersamaku seperti ini bukan hal gampang. Aku satu-satunya alasan ia bertahan dalam serba keterbatasan.
Akhir pekan aku terbangun dengan aroma kopi. Kamu meminta maaf karena roti dan mentega sudah kamu catat di list belanjaan tapi hanya berakhir jadi pajangan sebulan belakangan. Kamu sudah mandi dan mengenakan setelan yang kekecilan.
“Sudah hampir tidak muat.” Kamu membelakangi aku. Masih dengan mata yang belum sepenuhnya sadar aku melihat punggungmu terbuka lebar. Kutarik retsleting bajumu, kuhirup aroma tubuhmu sebelum aku tutup dalam satu tarikan.
“Mau sampai kapan kamu diam sayang?” dia membalikkan tubuhnya, tersenyum dan mencium keningku. “Joggingnya mau ditemani atau mau sendirian?” Sebanyak apapun aku membenci, semuak apa aku ingin pergi, senyum itulah alasan aku untuk tetap kembali.
Bergabunglah bersama kami di :
https://www.facebook.com/groups/175201439229892/
https://twitter.com/fiksiana1,
http://www.kompasiana.com/androgini
Kunjungi karya peserta Event Fiksi Valentine lainnya:
http://www.kompasiana.com/androgini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H