Mohon tunggu...
Sketsanol
Sketsanol Mohon Tunggu... Guru - Meraih kebebasan berkarya dan berekspresi tanpa batas.

Sketsanol tercipta dari sketsa-sketsa kehidupan yang diawali titik nol.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Parno

1 Juni 2020   20:09 Diperbarui: 26 Februari 2021   11:44 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Riska, seorang gadis malang, punya ayah  gemar menguntit perempuan di lingkungan mereka tinggal. Suatu hari ia naik pitam  saat melihat ayahnya membuntuti seorang wanita yang tak lain adalah rekan kerjanya. Sesampai di rumah Riska marah seperti orang kesurupan, sesekali dia menarik rambutnya tanda dirinya frustasi. 

Ayahnya bernama Suparno terdiam membisu dengan aksi brutalnya itu.  Namun sang Ayah dengan wajah tertunduk  pergi tanpa sepatah kata apa pun."Aku malu punya ayah sepertimu!" ucap Riska menahan geram. Suaranya menggelegar di sore hari membuat tetangga, orang lalu lalang bahkan penjual keliling ikut nimrung mendengar. 

Gadis itu tak peduli dirinya menjadi tontonan lingkungan sekitar. Amarahnya tak bisa lagi dibendung. Sejak bercerai dengan  isterinya, Suparno menjadi duda kelayapan  mencari wanita. Ia menghibur dirinya dengan  membuntuti wanita incarannya. 

Entah apa yang membuat dirinya menjadi begitu rendah. Jika sang wanita menolak dirinya, ia akan berteriak memaki wanita itu. Demi meluapkan  rasa kesal, ia menjadi kesetanan. Berbuat apa saja yang penting wanita pujaan hatinya menjadi kesal. 

Parno menyusuri jalan berdebu dengan kereta bututnya. Ia tak ingin berhenti untuk singgah di suatu tempat. Ucapan anak gadisnya masih terngiang di telinga. Riska anak semata wayangnya selalu protes dengan apa yang ia lakukan. Anak durhaka itu telah merusak suasana hatinya. Padahal ia akan kencan  malam  ini dengan janda muda yang baru tadi pagi kenal di warung Jarwo.

"Riska dan  ibunya sama saja perilakunya," rutuk pria berumur 55 tahun itu. Sesaat ia tertegun, ia bingung mau  ke mana. Perutnya mulai ribut tapi ia tak ingin pulang bertemu dengan  Riska. Anak itu pasti  ceramah  panjang  lagi, pikirnya. Ia pun mengurungkan niat pulang ke rumah dan  kereta melaju  ke arah perjalanan cinta. Hatinya telah dipanggil oleh janda muda  untuk datang ke warung Jarwo. 

Dari kejauhan ia melihat siluet janda itu dari remangnya lampu warung Jarwo. Parno tersenyum kegirangan melihat sang kekasih sudah duduk menunggu di warung Jarwo. Lampu kereta sengaja ia padamkan untuk mengejutkan wanita itu. 

Parno menghentikan keretanya, saat perempuan yang duduk di warung itu membalikkan badannya. Itu bukan kekasihnya tapi anak gadisnya yang bawel. Keringat dingin Parno melihatnya, ia langsung memutar keretanya. Balik arah menjauh tempat itu.

Mulut Parno tak berhenti mengucap sumpah serapah sepanjang jalan. Apa yang di lakukan anak itu di sana? Apa dia membuntutiku? Baiklah, aku harus berikan dia pelajaran. Aku bukan anak kecil. Dia sudah  lupa posisinya sebagai apa di keluarga. 

Rasanya tak pantas mencampuri urusan orangtua. Aku muak didikte! Parno semakin  berani mendatangi rumahnya. Parno akan membicarakan haknya untuk menentukan sikap dimana saja ia berada.

Sesampai dirumah, ia langsung membuka tudung saji. Lauk apa yang di masak anak gadisnya. Ia kaget diatas meja tak satu pun lauk terhidang. Perutnya kembali keroncongan, kali ini semakin keras. Parno semakin gusar. Lalu melempar tudung saji kelantai hingga menimbulkan suara ribut. Tiba-tiba Riska muncul, wajahnya kaget melihat sangi ada di lantai. Diliriknya sang ayah yang masih berdiri mematung, akhirnya ia mengerti.

"Ayah, mau  makan?" tanyanya dengan nada lembut. Segera ia mengambil makanan dari lemari makan lalu menghidangkannya di meja makan. 

"Ayo kita makan bersama, yah" ajaknya tanpa ragu. Tampaknya Riska melupakan kemarahannya tadi sore. Kemudian ia menuangkan nasi ke piring ayahnya. Riska menuntun ayahnya hingga duduk. Penyakit yang di derita  Parno membuatnya tak normal berjalan. Hidup Parno memang miris namun ia masih tetap tersenyum bahagia dalam kesederhanaannya.

Tak sepatah kata keluar dari mulut Parno saat makan . Jelas  ia masih jengkel dengan anak gadisnya. Tapi ia penasaran Riska pulang ke rumah ketika tak lama ia sampai di  rumah. Jarak dari rumah ke warung Jarwo kan cukup jauh. Dia tak bisa  mengendarai kereta sedangkan tadi ia tak melihat temanya di warung itu.

"Ris, kamu  tadi ke warung Jarwo?" tanya Parno tanpa  melihat wajah anak gadisnya. 

"Tidak ayah" jawabnya cepat lalu  melanjutkan  mengunyah  makanan di mulutnya.

Ekspresi Parno berubah-ubah tanda tak percaya dengan jawaban anaknya. Ingin marah tapi ia yakin anaknya selalu berkata jujur. Riska melihat ayahnya, sadar ada sesuatu yang sedang dipikirkan sang ayah.

"Aku baru tadi melihatmu di warung Jarwo" ucap Parno heran.

"Hm, berarti yang ayah  lihat itu siluman. Ingat, ayah sendiri bilang kalau kampung ini adalah  kampung siluman" ungkap Riska sambil menyelesaikan makanan di piringnya. Sedangkan Parno terdiam melongo mendengar ucapan anak gadisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun