By Christie Damayanti
Pedestrian ini hanya sekitar 60 cm dan sangat mepet dengan lantai toko, sehingga ketika calon pembeli melihat2 barang yang dijual, mereka akan memenuhi pedestrian itu.
Pedestrian dengan lebar hanya sekitar 60 cm, tidak bisa didatangi oleh kursi roda standard yang learnya sekitar 80 cm. Pedestrian yang diluar kearah jalan, itu bukan pedestrian, tetapi akan menjadi parkir motor atau PKL2 musiman.
Jadi, sebenarnya bagaimana konsep tata ruang kota perkotaan Bali itu sendiri? Bahkan, untuk titik2 area wisata saja tidak disediakan untuk pejlan2 kaki, yang semuanya memang untuk berjalan kaki!
***
Bicara tentang disabilitas di Bali, seperti yang aku sudah tuliskan di artikel sebelumnya, merupakan hal yang sangat crusial. Karena, hal ini menyangkut tatanan dan budaa Bali itu sendiri. Bahwa disabilitas tetap menjadi asset Negara, tetapi dengan adanya perbedaan tatanan dan budaya di Bali, akan menjadikan disabilitas mempunyai hak2 dan kewajiban yang berbeda.
Dari referensi JurnalCivics MediaKajian Kewarganegaraan bulan Maret 2019 lalu tentang "Pemberdayaan Penyandang Disabilitas pada Obyek Wisata Kta Bali", pada abstrraksinya bahwa,
Point ketiga pada abstraksi itu mengatakan bahwa penyandang disabilitas kurang diberdayakan pada obyek wisata Kuta Bali dan mereka menjadi kelompok yang termarginalkan dan terhegemoni ditengah geliat industry pariwisata Bali.
Ini hanya berbicara tentang bagaimana masyarakat memberdayakan kaum disabilitas, bukan bagaimana masyarakat dan pemerintah berpikir untuk memberikan fasilitas2 khusus untuk disabilitas dalam lingkungannya, khususnya di titik2 wisata Bali, termasuk Kuta!
Bicara tentang disabilitas, pada dasarnya Indonesia masih menganut azas mengasihani dan charity atau sumbangan. Belum banyak masyarakat mencoba dan meman g harus dilakukan adalah pemberdayaan kaum disabilitas! Empowerment itu yang akan membebeskan pemerintah dari keharusan membiayai kaum disabilitas.