By Christie Damayanti
Sudah 2 tahun aku tidak terbang ke Jepang, untuk menjenguk anakku yang kuliah dan tinggal di Jepang, sejak tahun 2017 lalu.
Biasanya, minimal 2x seahun aku mengunjungi Jepang. Malah sampai 3x setahun, untuk memeluk anakku disana. Tetapi, sejak pandemic tahun 2020 sampai sekarang, kangenku dengan anakku dan Jepang harus ditunda dahulu.
Bahkan, tahun 2020 lalu, aku sudah beli tiket murah untuk akhir Maret sampai pertengahan April 2020 untuk menikmati Sakura, laluAgustus 2020 untuk menyaksikan beberapa pertandingan Olimpiade dan Oktober 2020 untuk menghadiri undangan launching Gundam raksasa di Yokohama.
Tiket2 itu sudah kubeli dan di refund oleh JAL, karena memang tidak bisa terbang kesana, dimana tahun 2020, covid sedang menggila!
Tetapi, selama tahun 2020 itu, aku berhasil menerbitkan 10 judul buku. Dan, 5 judul buku diantaranya adalah buku "Musim Panas di Jepang", dimana tahun 2019 di bulan Agustus 2019, aku ad disana di musim panas yang sangat panas dan berada di tengah2 Badai Krosa, yang saat itu melanda Jepang ......
Ok lah ....
Tulisan2 aku beberapa ini, hanya sekedang cerita ringan dan iseng, tetapi sangat sayang jika "dibuang". Apa yang bisa aku ceritakan, akan aku tuliskan walau mungkin hanya sekedar keinginan dan kangenku tentang anakku disana dan tentang Jepang.
Awalnya, anakku Michelle, tinggal di apartemen di Nishi Funabashi.
Apartemen pertama, dia dengan room-mate nya, Cyntia. Dan, masih sangat tergantung kepada agennya dari Jakarta.
Dibulan ke-6, Micelle pindah apartemen sendiri, dan lepasw dengan agennya. Apartemennya, berada 1 stasiun dengan Nishi Funabashi, di sebuah kota kecil bernama Funabashi Hoten.
Apartemennya, kecil, mungki hanya sekitar 3 meter x 5 meter, termask dapir dan kamar mandi. Agak jauh dari stasiun Funabashi Hoten, sekitar 25 menit berjalan kaki standard.
Lalu, 1 tahun kemudian dia berhasil menyewa apartemen baru hanya 4 menit berjalan kaki dari Stasiun Funabashi Hoten, dengan dimensi apartemen yang sngat luas untuk tinggal sendirian. Terdapat 3 ruangan, ditambah daour, toilet dan kamar mandi.
Luas unit apartemennya sekitar 12 meter x 5 meter, disekat menjadi 3 ruangan dengan tatami. Sekatnya, berupa pintu geser kaca, seperti rumah2 Jepang pada umumnya, yang kita bisa lihat di film2 Jepang.
Nah .....
Disinilah aku mulai belajar untuk traveling keliling Tokyo awalnya, dan keliling Jepang ketika aku mulai berani jauh dari anakku. Karena, jepang adalah Negara yang "tidak mau berbahasa Inggris", atau sebagaian besar penduduknya memang tidak bisa berbahasa Inggris.
Jadi, aku harus memberanikan diriku untuk mampu berkomunikasi dengan warga Jepang jika aku memang harus berkomunikasi, sampai aku benar2 berani dan percaya diri. Nekad, lah ......
Michelle mengajarkan aku, jika mau naik kereta, aku harus minta petugas stasiun untuk membawakan ramp mobile untuk naik turun dari peron ke kereta atau sebaliknya, untuk kursi rda ajaibku.
Dan, aku harus menginformasikan petugas stasiun, tujuanku kemana. Itu pun tidak gampang, dan memang harus belajar berani dan percaya diri untuk melafalkan nama2 tempat tujuanku, yang membuat lidahku sering keseleo, hihihi ......
Karena Stasiun Funabashi Hoten adalah kota kecil, stasiunnya juga kecil. Petugasnya juga bisa aku kenali, 1 hari 2 petugas yang memberi bantuan untuk masyarakat dan beberapa orang di kantor. Jadi, aku sudah hafal petugas2 Stasiun Funabashi Hoten.
Ada yang jutek, tetapi tetap melayaniku dengan baik. Juteknya itu, Cuma cemberut saja, tapi mungkin karena pembawaannya seperti itu, hihihi .....
Ada yang tua, ada yang muda atau setengah tua, aku benar2 hafal, dan mereka pun hafal denganku. Yah ..... siapa orang asing yang memakai kursi roda ajaibku di kta kecil seperti Funabashi Hoten?
Jika di Shibuya, distrik besar di Tokyo, pasti tidak ada yang mengenali aku. Bahkan, pasti banyak orang asing berkursi rda ajaib seperti aku atau sejenisnya, kan?
Jadi, jika pagi2 sekitar jam 10.00 aku datang ke stadium Funabashi Hoten, si petugas stasiun  akan tersenyum dan mendahului bertanya,
"Funabashi?"
Hahaha ..... karena Funabashi adalah tempat favoriteku jika hanya sekedar bersantai saja. Dan, mereka dengan sigap melayaniku untuk naik ke kereta dengan ramp mobile yang mereka bawa untuk kursi roda ajaibku .....
Wajahnya tenang, keren, tinggi dan pendiam. Selalu memakai baju seragam lengkap dan langkahnya tegap. Smua petuas stasiun sih, selalu sama. Tegap, sopan dan melayani. Tetapi 1 orang petugas itu di Stasiun Funabashi Hoten.
Entah mengapa, dia sering bertugas untuk melayaniku. Membawakan ramp mobile untuk kursi rda ajaibku. Apakah di sengaja atau kebetulan saja? Hahahaha ..... masa bodohlah .....
Suatu saat, aku memberanikan diriku untuk minta berfoto bersama dia. Wajahnya bersinar ketika aku bawa hp ku untuk kita selfie bersama.
Foto pertama!
Tetapi, karena aku susah berbicara, bahkan kadang2 bahasa Indonesia saja agak belepotan karena pengaruh serangan stroke sejak Januari 2010 lalu, maka seringkali translater di hp ku, pun ikut belepotan! Hahahaha .....
Sehingga, dia semakin bingung .....
Aku menanyakan namanya lewat translater hpku, dan dia menjawab,
"Nama saya Takeaki Suzuki"
Waaaaaaa ...... dia menjawan salamku dan sedikit bercerita tentang dirinya. Umurnya 34 tahun, saat itu, dn belum menikah.
Hahahahaha ......
Sejak itu, kam sering berbalas sapa lewat trnslater2 kami. Bercsrita tentang aku di Jepang dengan anakku, tetapi dia tidak bercerita tentang hidupnya, kecuali yang aku tuliskan diatas. Biarlah. Yang jelas, aku senang mendapatkan teman sebagai petugas stassiun di Stasiun Funabashi Hoten......
Setiap aku terbang ke Jepang per-3 atau 4 bulan dalam 1 tahun, dan aku tinggal di apartemen Michelle di Funabashi Hoten, Takeaki Suzuki selalu banyak melayani aku, sampai akhirnya di kunjunganku terakhir di bulan Agustur 2019 lalu, sebelum pandemic melanda dunia, di awal tahun 2020 ......
Hari pertama saat itu, aku sedang menunggu salah seorang petugas stasiun Funabashi Hoten untuk membawakan ramp mobil untuk kursi roda ajaibku naik ke kereta, tiba2 .....
"Good morning ...."
Aku sedang bermain FB di hpku, dan aku mendongak keatas. Agak heran karena di Funabashi Hoten aku tidak pernah mendenar kata2 bahasa Inggris.
Dan ketika aku menoleh ke seseorang itu, astagaaaaaaaa ......
"Suzuki!", aku berteriak kepadanya dengan ceria ....
Dia tertawa sambil meletakkan telunjuknya untuk tidak berisik sambil tersenyum. Dia berkata2 belepotan dengan bahasa Inggris, dan aku sangat takjub melihatnya!
Dia belajar bahasa Inggris untuk bisa berkomunikasi denganku lebih baik .....
Hahahaha ..... dia tidak mengaku, ketika aku bertanya, "Mengapa belajar bahasa Inggris?"
Dia Cuma menjawab, "Supaya bisa berkomunikasi dengan baik untuk orang asing".
Bukan untukku, padahal di Funabashi Hoten aku yakin, tidak ada orang asing kecuali aku, hahahah ......
Terserahlah, tetapi aku senang ada seseorang warga Jepang yang mau berteman denganku, turis asing dengan kursi roda ajaib dan narsisnya tidak terhingga, hahahaha ......
Dan, ternyata beberapa kali Michelle info aku bahwa Suzuki berkali2 bertanya kepada Michelle, aku kapan ke Funabashi Hoten lagi? Karena dia tahu, bahwa Michelle adalah anakku yang tinggal 4 menit berjalan kaki dari Stasiun Funabashi Hoten.
Hahahaha ......
Saat2 terakhir sebelum aku pulang ke Indonesia dan aku sempat bertemu dengannya dadn dia melayaniku di stasiun, aku minta nomor telpnya untk bisa saling bertegur sapa jika aku di Jakarta.
Ternyata dia tidak mau memberi tahu, karena dilarang keras dalam peraturan. Ya sudah, aku tahu betapa disiplinnya Jepang dalam menataati aturan2nya.
Tetapi, tidak aku pikirkan, mengapa aku tidak memberikan nomor telpku saja kepada dia, ya? Aku menyesal.
Hahahaha ....
Ketika dia kalang kabut membantuku ketika kereta shinkansenku harus berangkat jam 7.00 pagi ke Osaka. Tetapi, Stasiun Funabashi Hoten, baru bukan jam 6.30 pagi, padahal naik kereta dari Funabashi Hoten ke Stasiun Tokyo tempat pemberangkatan shinkansen ke Osaka sekitar 1 jam.
Berarti, aku harus berangkat dari Stasiun Funabashi Hoten jam 5.30 paling lambat!
Suzuki kalang kabut menghubungi semuanya, agak aku tidak ditinggal shinkansen. Dia berlari2 jam 5.20 sampai stasiun Funabashi Hoten, dan sambil masih ngos2an, dia harus banyak telp untuk membantuku segera jam 7.00 aku sampai ke Stasiun Tokyo .....
Luar biasa perjuangannya, membantuku terakhir saat itu. Beberapa hari sebelum aku harus pulang ke Jakarta.
Sekarang, aku kangen ngobrol denannya dengagn bahasa Inggrisnya yang belepotan.
Nanti, klo aku sudah bisa terbang lagi ke Jepang, dan tinggal di Funabashi Hoten, aku berharap dia tetap masih bekerja di stasiun.
Aku akan membawakan oleh2 dari Jakarta untuknya, dan aku pun akan memberikan nomor telp ku kepadanya. Lumayan kan, mempunyai teman Jepang asli, menjadin slahturahmi antar 2 negara, menyaksikan hubungan saling menghormati dan saling menghargai......
Takeaki Suzuki, apa kabarmu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI