Penyandang disabilitas perlu menjadi bagian dari diskusi sepanjang tahun, tidak hanya selama dua minggu setiap empat tahun hanya untuk Paralimpiade saja, tetapi harus diaktifkan untuk diskusi2 lebih lanjut untuk peranan mereka bagi dunia inklusi yang lebih baik.
***
Saat Paralimpiade dimulai, upaya Jepang untuk meningkatkan aksesibilitas dan inklusi menjadi sorotan, dengan banyak pihak berpendapat masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Sekitar 4.403 atlet penyandang disabilitas akan bertanding di Tokyo padapertandingan2 stlet2 disabilitas terbesar di dunia itu. Dan, ini adalah tempat untuk sejarah olahraga, tetapi juga penyelenggara acara mengatakan dapat mengubah sikap terhadap penyandang cacat.
Mereka melakukan hal2 hebat tetapi mereka bukan manusia super. Mereka juga bukan manusia hebat, seperti yang aku katakana diatas. Mereka tetap manusia biasa, tetapi mereka mampu melakukannya dengan cara mereka sendiri, yang berbeda.
Semain banyak kemajuan dalam infrastruktur bebas hambatan di Jepang, dengan menyebut aksesibilitas penting baik bagi penyandang disabilitas tetapi juga populasi lansia yang besar di negara itu.
Selama 4 tahun terakhir ketika Jepang terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade dan Paralimpiade tahun 2020 ini, Jepang benar2 berbenah.
Penambahan2 asesibilitas dimana2, termasuk banyak hotel baru dengan lebih dari 50 kamar juga diharuskan membuat setidaknya satu dari setiap 100 kamar berakses tanpa hambatan. Dan, Jepang benar2 siap untuk menjadi tuan rumah Paralimpiade.
Tetapi pada kenyataannya bahwa aksesibilitas itu tidak sama dengan inklusi.
Bukan hanya di Jepang saja sebenarnya, bahwa inklusi itu benar2 terlihat "baru" di dunia.
Banyak neara memang "ramah disabilitas", tetapi justru negara2 tersebut memperlakuka disabilitas itu sebagai "orang yang membutuhkan bantuan", BUKAN ORANG YANG DISETARAKAN SAMA DENGAN YANG LAIN.