By Christie Damayanti
Sebenarnya, bagaimana kita bisa menganalisa untuk mendesain kota yang "ramah disabilitas?"
Lalu, sebenarnya juga kota "ramah disabilitas" itu, yang seperti apa?
Kota yang dapat dilalui dengan berjalan kaki sangat bagus untuk keluarga dan warga lanjut usia, tetapi kota ramah disabilitas sangat bagus untuk semua orang.
Area yang memiliki trotoar yang baik dengan akses kursi roda adalah kualitas penting. Namun, ada beberapa kualitas lagi yang membuat kota baik untuk penyandang cacat.
Cuaca perlu diwaspadai karena suhu ekstrim atau banyak hujan dan untuk Negara bersalju, dapat menjadi kendala utama bagi mereka yang mencoba berkeliling dengan kursi roda. Penting juga untuk mempertimbangkan kualitas udara,
Kota juga harus mempunyai semua fasilitas2 publik, dan aksesibilitas nya harus nyaman dengan berjalan kaki atau kursi roda, serta aksesibilitas dengan angkutan umumnya pun harus sesuai dengan standard2 disabilitas.
Ini juga merupakan nilai tambah, jika disabilitas di kota dengan cepat dapat menemukan pekerjaan dan mempertahankan pekerjaan itu juga.
Perkotaan yang memiliki bangunan modern juga lebih baik karena lebih mudah untuk meningkatkan bangunan baru untuk menyediakan akses bagi penyandang disabilitas.
***
Untuk penyandang cacat fisik, hambatan dapat berkisar dari jalur kursi roda yang diblokir, bangunan tanpa lift, hingga toilet yang tidak dapat diakses, atau toko tanpa akses..
Sementara itu, bagi penyandang disabilitas anak2 atau mereka yang memiliki spektrum autis, lingkungan metropolitan yang berantakan dan sibuk dapat menjadi ladang ranjau sensorik.
Meskipun Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dan semua peraturan2 di seluruh dunia bertujuan untuk meningkatkan hak dan akses, kenyataan di lapangan bisa sangat berbeda.
Namun, kota mendapat manfaat dari aksesibilitas, bagaimana penyandang disabilitas cenderung tidak bersosialisasi atau bekerja tanpa aksesibilitas.
Banyak perkotaan I seluruh dunia, berbukit2, yang membuat kota2 tersebut mempnyai pedestrian yang naik dan turun, bisa terjal atau landai.
Mungkin, kemiringan bukit2 perkotaan tersebut, bukan hanya 10% atau 15% saja, tetapi bisa lebih dari 30% bahkan sampai 45%, seperti di San Francisco, Seeol Korea, bahkan di Bandung pun cukup terjal!
Berarti, kota2 tersebut jika mau dibangun sebagai kota "ramah disabilitas", harus konsep "cut and fill", terjaga, untuk kebutuhan disabilitas kursi roda atau prioritas tongkat lansia.
Jika memang kota2 berbukit2 itu tetap ingin membangun kota "ramah disabilitas", baruslah peta kota diberikan informasi (misalnya) kemiringan 2% atau 5% .....
Dan, untuk kemitingan2 tersebut, dilengkapi dengan lebar pedestrian dan lapisan material permukaan jalan jangan yang licin, serta dibangun railing atau pegangan tangan.
Prinsip-prinsip Desain Universal, harus sudah dimulai dari sekarang di seluruh dunia. Ketika 20 tahun atau lebih lagi kita semakin tua, maka kepedulian kita memang harus mulai dari sekarang.
Pintu lift tetap terbuka lebih lama, pegangan tangan mengapit kedua sisi tangga, dan kursi memiliki pegangan pegangan.
Lingkaran induksi pendengaran memungkinkan komunikasi yang lebih jelas bagi mereka yang menggunakan alat bantu dengar, sementara petunjuk arah Braille, panduan taktil, dan piktograf yang mudah dibaca membantu tunanetra.
Rute ke kantor dari jalur pejalan kaki bawah tanah dan dua stasiun Mass Rapid Transit (MRT) bebas hambatan. MRT juga telah bekerja untuk meningkatkan aksesibilitas.
Orang dengan autisme dapat menjadi hipersensitif terhadap suara, cahaya dan gerakan, dan menjadi kewalahan oleh ruang yang bising, berantakan atau ramai. Dan, mereka akan dropt dan tantrum (kejang2 dan berteriak2).
Perlengkapan dan dekorasi mengurangi rangsangan sensorik dan kekacauan, dengan warna yang diredam, nada netral, dan cahaya alami atau tersembunyi.
 "Aksesibilitas harus dirasakan tetapi kadangkala tidak terlihat".Â
Kurangnya aksesibilitas, itu seperti  kurangnya kepercayaan diri di antara para penyandang disabilitas dan menjadi hambatan terbesar bagi keragaman.
Pengguna menerima isyarat audio (tuna rungu) melalui ponsel cerdas mereka, memberikan petunjuk arah atau informasi waktu nyata tentang masalah seperti pemadaman escalator, misalnya..
Di luar bangunan, aplikasi menyediakan informasi arah waktu nyata; dan di dalam bangunan, di mana GPS pun, harus tetap ada.
***
Ini hanya sebagian saja, bagaimana sebuah kota bisa menjadi kota "ramah disabilitas". Mulai dari seluruh perkotaan, desain urban, dengan fasilitas2nya, bangunan2 umum sampai perumahan2 atau apartemen pribadi,
Harus sesuai denagn peraturan2 yang berlaku, atau Universal Desain, yang bisa digunakan bersama, semua orang tanpa diskriminasi ......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H