Untuk penyandang cacat fisik, hambatan dapat berkisar dari jalur kursi roda yang diblokir, bangunan tanpa lift, hingga toilet yang tidak dapat diakses, atau toko tanpa akses..
Sementara itu, bagi penyandang disabilitas anak2 atau mereka yang memiliki spektrum autis, lingkungan metropolitan yang berantakan dan sibuk dapat menjadi ladang ranjau sensorik.
Meskipun Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dan semua peraturan2 di seluruh dunia bertujuan untuk meningkatkan hak dan akses, kenyataan di lapangan bisa sangat berbeda.
Namun, kota mendapat manfaat dari aksesibilitas, bagaimana penyandang disabilitas cenderung tidak bersosialisasi atau bekerja tanpa aksesibilitas.
Banyak perkotaan I seluruh dunia, berbukit2, yang membuat kota2 tersebut mempnyai pedestrian yang naik dan turun, bisa terjal atau landai.
Mungkin, kemiringan bukit2 perkotaan tersebut, bukan hanya 10% atau 15% saja, tetapi bisa lebih dari 30% bahkan sampai 45%, seperti di San Francisco, Seeol Korea, bahkan di Bandung pun cukup terjal!
Berarti, kota2 tersebut jika mau dibangun sebagai kota "ramah disabilitas", harus konsep "cut and fill", terjaga, untuk kebutuhan disabilitas kursi roda atau prioritas tongkat lansia.
Jika memang kota2 berbukit2 itu tetap ingin membangun kota "ramah disabilitas", baruslah peta kota diberikan informasi (misalnya) kemiringan 2% atau 5% .....
Dan, untuk kemitingan2 tersebut, dilengkapi dengan lebar pedestrian dan lapisan material permukaan jalan jangan yang licin, serta dibangun railing atau pegangan tangan.