Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

"Danau Purba" Ochino Hakkai di Narusawa Village, sebagai Situs Warisan Budaya UNESCO

5 Februari 2020   10:34 Diperbarui: 5 Februari 2020   10:39 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Michelle, anaku dengan latar belakang kolam terbesar di Ochino Hakkai, Narusawa Village | Dokumentasi pribadi

Setelah selesai makan siang yang "kekenyangan banget", Mr. Sugiyama mengajak kami ke 1 temoat wisata yang berbeda, agak jauh dari lereng Gunung Fuji saat itu, tetapi sedikit memutar ke lereng Gunung Fuji diseberangnya.

Namanya Narusawa Village adalah sebuah desa yang terletak di Prefektur Yamanashi, Jepang. Ini sebuah desa seluas sekitar 90 km2.  Narusawa Village mempunya berbagai titik wisata, salah satunya yang kami datangi adalah bernama Oshino Hakkai.

Narusawa terletak di selatan Prefektur Yamanashi, di kaki Gunung Fuji. Seluruh desa terletak di perbatasan Taman Nasional Fuji-Hakone-Izu. Dan, terletak sekitar 93 km dari Tokyo, ibukota Jepang.

Nama tempat "Narusawa" disebutkan dalam kronik periode Kamakura Azuma Kagami sebagai desa di jalan yang menghubungkan Provinsi Kai dengan Provinsi Suruga. Selama periode Edo, semua Provinsi Kai adalah wilayah tenryo di bawah kendali langsung keshogunan Tokugawa.

Dengan pembentukan sistem kotamadya modern pada periode Meiji awal pada 1 Juli 1889, desa Narusawa dibuat di dalam Distrik Minamitsuru, Prefektur Yamanashi.Wikipedia.

Narusawa di Minamitsuru-gun (Yamanashi) adalah sebuah kota yang terletak di Jepang sekitar 57 mil (atau 93 km) barat Tokyo, ibu kota negara itu.

Salah satu titik wisata yang kami datangi adalah sebuah sub-desa Narusawa yang djadikan situs warisan budaya UNESCO. Yaitu, adanya 8 kolam kuno, jika tidak mau dikatakan "kolam purba"

Oshino Hakkai adalah serangkaian delapan kolam yang diberikan oleh reservoir bawah tanah Gunung Fuji. Kolam yang bersih dan kaya mineral, terletak di desa Oshino yang indah dan dihubungkan oleh jalan setapak yang kuno dan jembatan kayu, adalah bagian dari situs warisan budaya UNESCO.

Walau daerah itu sedikit terpencil, waktu itu aku agak ragu dengan tempatnya. Kupikir, M. Sugiyama kesasar, karena mbil masuk ke gang kecil hanya bisa dilewat oleh 1 mobil. Jika ada orang berjalan, dia harus menyingkir dahulu untuk mobil, karena gang itu benar2 sempit.

Dari jalan utama, berbelok ke jalan lingkungan, dan berbelok lagi ke jalan pedesaan Narusawa Village | Dokumentasi pribadi
Dari jalan utama, berbelok ke jalan lingkungan, dan berbelok lagi ke jalan pedesaan Narusawa Village | Dokumentasi pribadi
Dari jalan utama, berbelok ke jalan lingkungan, dan berbelok lagi ke jalan pedesaan Narusawa Village | Dokumentasi pribadi
Dari jalan utama, berbelok ke jalan lingkungan, dan berbelok lagi ke jalan pedesaan Narusawa Village | Dokumentasi pribadi
Tetapi ternyata, diujung jalan itu pemerintah daeah setempat sudah mempersiapkan sejak dini tentang situs warisan budaya ini. Dengan membangun tempat2 infomasi untuk wisatawan, dan kita harus memarkir mobil kita, untuk bisa masuk kesana.

Di ujung jalan, semakin nyaman karena memang digarap sebagai salah satu titik wisata, apalagi menjadi situs warisan budata UNESCO. Dengan "tourist information" yang betebaran. | Dokumetasi pribadi
Di ujung jalan, semakin nyaman karena memang digarap sebagai salah satu titik wisata, apalagi menjadi situs warisan budata UNESCO. Dengan "tourist information" yang betebaran. | Dokumetasi pribadi
Di ujung jalan, semakin nyaman karena memang digarap sebagai salah satu titik wisata, apalagi menjadi situs warisan budata UNESCO. Dengan "tourist information" yang betebaran. | Dokumetasi pribadi
Di ujung jalan, semakin nyaman karena memang digarap sebagai salah satu titik wisata, apalagi menjadi situs warisan budata UNESCO. Dengan "tourist information" yang betebaran. | Dokumetasi pribadi
Dengan di dorong kursi roda oleh Mr. Sugiyama sendiri, aku melihat banyak wisatawan asing masuk dan keluar dari 1 gang yang lebih kecil, dan tidak bisa dimasuki oleh mobil. Ternyata, itu adalah pintu masuk kesebuah tempat wisata warisan budaya tersebut.

Sepanjang jalan di gang kecil tersebut, sudah banyak toko2 yang menjual berbagai pernak pernik dan panganan2 lokal. Dengan teriakan2 penjual yang menjajakannya. Menarik sekali untukku. Tetapi kami dikejar waktu, jika tidak mau kemalaman sampai di Tokyo.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Mulai memasuki titik wisata dan hanya untuk pejaklan kaki.Sudah banyak toko2 yang menjual panganan local serta pernak pernik souvenir
Mulai memasuki titik wisata dan hanya untuk pejaklan kaki.Sudah banyak toko2 yang menjual panganan local serta pernak pernik souvenir
Suasana wisata semakin terasa dengan banyaknya pengunjung di sana. | Dokumentasi pribadi
Suasana wisata semakin terasa dengan banyaknya pengunjung di sana. | Dokumentasi pribadi
Kami hanya bisa keliling tempat itu selama 1 jam saja, dan kami pun dikejar mendung. Forecast di Jepang, sangatlah tepat, bahkan sampai ke "jam2 nya". Jadi saat itu sekitar jam 3.00 sore, dan menurut forecast jam 4.00 sore, akan turun gerimis perlahan an terus hujan sampai malam.

Hmmmm ......

Aku hanya bisa menikmati pandangan yang unik khas local Jepang. Banyak terlihat wisatawan2 lokal dan manca Negara. Bahkan, banyak wisatawan2 dari Negara2 barat, dengan bahasa non-Inggris, seperti beberapa bahasa dari Eropa.

Mereka menikmati suasana sore yang cerah, walau sebentar lagi akan turun hujan.

Ada 8 kolam disana, merupakan kolam yang mendapat air dari salju yang mencari dari Gunung Fuji, dan menyaring lava berpori beribu tahun lalu dan menghasilkan mata air yang sangat jernih yang dihormati oeh penduduk setempat.

Kami berjalan keliling desa ini, sebuah desa yang sunyi dengan rumah2 kecil, layaknya desa. Ada 8 kolam2 bear yang memang menjadi titik tujuan wisata disana. Tetapi, banyak 1 kolam besar yang memang di garap untuk tempat wisata.

Kolam besar itu dihuni oleh ikan2 Koi besar2, yang dilegendakan sbagai ikan suci. Ikan2 Koi itu terlihat jinak. Jika kita mendekat, mereka bergerak kea rah kita dan memamerkan moncong2nya yang terus bergerak, seraya kelaparan.

Dokumntasi pribadi
Dokumntasi pribadi
Kolam utama yang terbesar, di huni oleh ikan2 Koi besar, dengan air kolam yang sangat jernih. Kita bisa melihat rumput2 didalam kolam, karena bersihnya ait disana.
Kolam utama yang terbesar, di huni oleh ikan2 Koi besar, dengan air kolam yang sangat jernih. Kita bisa melihat rumput2 didalam kolam, karena bersihnya ait disana.
Aku dan Mr. Sugiyama dan istrinya, dengan katar belakang kolam terbesar disana. Cantik, kan (suasana nya)? | Dokumentasi pribadi
Aku dan Mr. Sugiyama dan istrinya, dengan katar belakang kolam terbesar disana. Cantik, kan (suasana nya)? | Dokumentasi pribadi
Kami tidak diperkenankan untuk memberikan makanan2 ikan2 Koi itu. Jadi, kami hanya memandang mereka dengan senyuman, seraya meminta maaf karena tidak bisa memberikan makanan .....

Kolam2 yang lain, sepertinya tidak digarap sebagai titik wisata, dan dibiarkan seadanya. Tujuannya, bukan karena tidak mau menggarap, tetapi untuk menciptakan suasana di masa2 jayanya, sebagai "kolam purba".

Kolam2 itu dibiarkan rerumputan menyemak, dan bahkan di beberapa kolam tidak terlihat sebagai sebuah kolam, karena hampir semua bagian tertutup semak.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kolam kedua, yang bersisian dengagn kolam terbesar, masih di datangi oleh wisatawan2 disana. Mereka hanya memandanginya, sambil bercengkerama saja.
Kolam kedua, yang bersisian dengagn kolam terbesar, masih di datangi oleh wisatawan2 disana. Mereka hanya memandanginya, sambil bercengkerama saja.
Kolam ketiga, agak jauh dibelakang sana, dan tidak banyak yang mendatanginya, karena memang lebih terpencil dan jalannya pun sepi.Terlihat dibelakangku, wisatawan asing bule2, yang lebih berminat kesini, dibandingkan keramaian di depan. | Dokumentasi pribadi
Kolam ketiga, agak jauh dibelakang sana, dan tidak banyak yang mendatanginya, karena memang lebih terpencil dan jalannya pun sepi.Terlihat dibelakangku, wisatawan asing bule2, yang lebih berminat kesini, dibandingkan keramaian di depan. | Dokumentasi pribadi
Suasana yang diciptakan menurutku memang berhasil. Ketika aku berjalan kaki lepas dari kurso roda karena tidak ada jalan msuk kesana dengan kursi roda, bulu kudukku sedikit merinding.

Dengan digandeng oleh Michelle, aku menapaki jalan setapan seadanya dari permukaan batu2 alam, sehingga aku kesusahan untuk kesan. Tetapi, aku memang penasaran, apa yang ada di lingkungan sebuah kolam yang aku datangi, sebagai "kolam purba".

Kami harus berhati2 untuk mendekat kolam tersebut. Tidak banyak wisatawan yang tertarik untuk mendekat, karena memang disana tidak seperti sebuah titik wisata. Walau justru inilah titik wisata itu, kolam2 purba yang dipelihara sesuai dengan keadan aslinya, sejak kolam2 tersebut ditemukan .....

Lingkungan sekitar memang sengaja tidak digarap semuanya, seperti untuk menerima pengunjung. Karena ini memang benar2 desa, dan dengan beberpa rumah kecil milik penduduk local, pemerintah disana pun membangun jalan setapan yang nyaman dan cantik, guna untuk mereka lewat.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Jalan setapak yang semakin kecil, diarea desa ini, tetapi terus "ramah disabilitas", lho!
Jalan setapak yang semakin kecil, diarea desa ini, tetapi terus "ramah disabilitas", lho!
Kolam2 keenam dan ketujuh, semakin masuk kepelosok, dan tidak ada akses untuk kursi roda. Bahkan, untuk berjalanpun, harus berhati2 dengan bebatuan yang terjal. | Dokumentasi pribadi
Kolam2 keenam dan ketujuh, semakin masuk kepelosok, dan tidak ada akses untuk kursi roda. Bahkan, untuk berjalanpun, harus berhati2 dengan bebatuan yang terjal. | Dokumentasi pribadi
Kolam ke empat dan kelima, kami memotong jalan, karena hanya 1 jam kami harus kembali, jika tidak mau kehujanan. | Dokumentasi pribadi
Kolam ke empat dan kelima, kami memotong jalan, karena hanya 1 jam kami harus kembali, jika tidak mau kehujanan. | Dokumentasi pribadi
Kolam kedelapan, atau yang terakhir, suasananya cukup mencekam. Dengan air yang tidak terlalu penuh, serta bibir kolam dari bebatuan dan rumpu2 liar, serta suara angin semilir mendayu, membuat suasana agak "menakutkan". Seperti bayanganku, "kolam purba" itu memang menghanyutkan. | Dokumentasi pribadi
Kolam kedelapan, atau yang terakhir, suasananya cukup mencekam. Dengan air yang tidak terlalu penuh, serta bibir kolam dari bebatuan dan rumpu2 liar, serta suara angin semilir mendayu, membuat suasana agak "menakutkan". Seperti bayanganku, "kolam purba" itu memang menghanyutkan. | Dokumentasi pribadi
Tidak terlihat wisatawan disana, hanya kami saja yang bela2in turun, karena kola mini terletak di bawah. Ada beberapa anak tangga kayu, yang sengaja dibuat sebagai fasilitas wisata.

***

Pepohonan disana pun hijau royo2, karena memang tidak menjadi kan tempat ini dibabat untuk area lokasi wisata saja, tetapi tetap sangat melihat lingkungan sekitar.

Tidak jalan wisatawan yang berkeliling disekitarnya, karena fokusnya adalah kolam terbesar, yang memang digarap terbaik. Mereka banyak duduk disana sambil menikmati alam dan pemandangan, serta makan cemilan2 yang banyak di jual disana.

Atau sekedar berjalan2 diarea itu saja, tanpa mau berjalan lebih jauh lagi, seperti yang kami lakukan. Walau aku di atas kursi roda, dan Mr. Sugiyama dan istri jusa adalah bagian dari lansia, kami tetap semangat berjalan2, menikmati lingkungan serta menghabiskan waktu yang hanya 1 jam saja.

Dan, dari situlah aku semakin tahu, bahwa Jepang benar2 sangat memanjakan warganya, dan sangat peduli dengan negaranya. Walau ini wisata "tidak terlihat", dan aku belum perah melihat brosur2 tentang desa ini di Tokyo, tetapi pemerintah pun membangun wisata yang layak untuk menyambut dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun