By Christie Damayanti
Sebelumnya :
Hari Disabilitas Internasional 2019 dengan "Archifable", Rancang Bangun untuk Kaum Disabilitas
Tahun 2019 ini, aku sudah di dapuk untuk bicara tentang disabilitas yang berhubunggan engan desain dan rancang bangun kepada masyarakat dan mahasiswa di FT Arsitektur Untar. Pertama, sebagai dosen tamu di semester 7 mahasiswa arsitektur Untar beberapa bulan lalu.
Dan kedua, taggal 29 November 2019 sebagai nara sumber talkshow dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional di Untar.
Beberapa kali aku juga ke kampus 1 Untar untuk berdiskusi dengan teman2 dosen yang juga dulu adalah dosen serta teman2 kuliahku. Ternyata, kampus 1 Untar sudah menerapkan kampus "ramah disabilitas" dari pintu masuk sampai ke masing bangunan, walau masih banyak yang luput, dari pengamatanku sebagai bagian dari kaum disabilitas.
Sebelum talkshow kemarin jam 13.00, aku sengaja datang lebih cepat untuk mencoba ramp2 yang dibangun di sepanjang jalur pedestrian kampus 1 Untar. Mulai dari pintu gerbang.
Ramp nya memang agak tinggi, lebih dari standard kelandaian untuk ramp, apalagi untuk disabilitas pemakai kursi roda.
Jika aku memakai kursi roda elktrik untuk mempercepat mobilitasku, karena juga tangan kananku benar2 tidak bisa digunakan, aku Cuma membayangkan bagaimana teman2 pengguna kursi roda yang standard dengan mengayuhkan kedua tangannya memutar roda2 yang besar dan berat, ya?
Mungkin, mereka harus dibantu di dorongkan oleh seseorang, karena jika terlalu berat akan membuat di disabilitas semakin capek dan akhirnya stress.
Sudut ketinggian sebuah ramp, apalagi untuk penyandang disabilitas, minimal adalah 1 : 12, sehingga nyaman untuk mengayuhnya. Memang, ramp tersebut akan panjang, dan membuat ruang public yang lain akan terganggu.
Tetapi, ini memang adalah sebuah fasilitas ruang public bagi penyandang kursi roda, dimana memang harus di desain sedemikian untuk ramp pengguna kursi roda. Semuanya bisa di desain, koq. Jika memang ramp terlalu panjang, si desainer bisa mendesain agak berputar sehingga kepanjangan ramp tersebut bisa di anulisir dengan "memotong" ramp lewat putaran2 tertentu sesuai ruang yang ada.
Karena aku memakai kursi roda elektrik, tentu saja beban berat kursi roda elektrik mampun untuk kuat dan kokoh, walau beberapa kemiring bisa membuat aku  tidak konsentrasi.
Kampus FT arsitektur, terletak di Gedung L, yang lokasinya paling belakang. Ketika aku menuju kesana melewati beberapa bangunan baru yang  waktu aku kuliah, gedung itu belum ada, aku merasakan kenyamanan dengan kursi roda ekeltrikku.
Mahasiswa2 yang berseliweran mondar mandir di sekitarku berkursi roda pun, tidak ada yang melihatku dengan heran atau melotot kepadaku. Rena pada kenyataaannya, hampir dimanapun di ruang public, termaduk di beberapa kampus yang aku sudah datangi dengan kursi roda elektrikku, mereka sebagian besar memandangku dengan tatapan "khusus", sampai biasanya aku tersenyum2 sendiri.
Mahasiswa2 Untar berbeda, entah karena apa. Dan itu yang membuat aku benar2 nyaman. Sebenarnya, jika demikianpun mereka melihatku dengan tatapan khusus, aku sih tidak pernah terganggu.
'EGP' lah, konsep di otakku. Toh, aku tidak mengganggu mereka, kan?
Tetapi, mungkin tidak demikian bagi sebagian besar penyandang disabilitas pemakai kursi roda. Banyak dari mereka merasa malu dan minder, jika orang melihat mereka, walau juga "melihat" itu bukan terus berarti melecehkan atau meremehkan.
Mungkin, orang2 di sekitar kita Cuma ingin tahu, mengapa berkursi roda atau mereka ingin tahu bagaimana disabilitas itu bergerak. Tetapi kesalah-pahaman itu yang membuat si penyandang disabilitas menjadi dropt dan akhirnya mereka malas keluar, karena menjadi magnet bagi setiap orang yang memandangnya .......
Masuk ke lingkungan bangunan2 lama, antara bangunan Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi dan Falkutas Teknik, aku tersenyum karena antara bangunan2 itu tetap dibangun ramp. Bahkan pusat dari ketiga bangunan itu, permukaan lantainya ditinggikan, sehingga semuanya datar, semuanya rata!
Dengan ketinggi yang sama antar ketiga bangunan itu, kepastian kenyamanan bagiku sebagai pemakai kursi roda, jelas sekali. Hanya saja keran ketiga bangunan itu dulunya di desain dan dibangun belum diperkirakan lebih jauh, sehingga masuk ke masing2 lobby memang harus tetap dibangun ramp2 kecil .....
Conblock2 yang ada di pedestrian kampus ini pun, cukup rama yang membuat kursi roda elektriku benar2 nyaman. Tidak miring2 dan tidak membuat pergerakannya dan tubuhku menjadi tidak nyaman. Karena, dengan permukaan lantai yang tidak rata, walau berada di kursi rida elektrik, untuk penyandang disabilitas pun tidak bisa membuat mereka akhirnya mau keluar dari kepompongnya ......
***
Memang, baru hanya pembangunan ramp untuk kursi roda sebagai bagian dari fasilitas penyandang disabilitas. Belum masuk lebih dalam lagi.
Misalnya, bagaimana dengan keberadaan lift yang terlalu kecil dan tombol2 yang terlalu tinggi?
Bagaimana tentang keberadaan toilet disabilitas?
Atau, bagaimana dengan kesiapan petugas2 kampus untuk membantu penyandang disabilitas?
Kesemuanya memang membutuhkan waktu dan proses. Tetapi, dengan bertambahnya kepedulian dari mereka, rasaya kampus ini mampu menjadi salah satu kampun yang bisa mulai sadar untuk membuka diri bagi calon2 mahasiswa disabilitas.
Walau ini juga terlihat hanya untuk penyandang disabilitas daksa pemakai kursi roda, Kampus 1 Untar mungkin bisa segers membangun "jalur kuning" untuk jalur disabilitas netra, karena persiapan dan prosesnya tidak serumit membangun ramp atau fasilitas2 fisik lainnya.
"Jalur kuning", bisa ditempel tanpa harus membongkar permukaan lantai, sehingga persiapannya mungkin hanya di workshop dan di lapangan tinggal memasangnya saja.
Jadi,
Dalam rangka Hari Disabilitas Internasional 3 Desembet 2019, Kampus Untar sdah mempelopori tentang kepedulian social, terutama tentang kaum disabilitas.
Kampus2 mana lagi yang akan menyusul?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H