Dalam rangka menyambut Hari Disabilitas Internasional setiap tanggal 3 Desember, Universitas Tarumanagara menyelenggarakan Pameran khusus dari mahasiswa Fakultas Teknik Arsitektur -- itu almamaterku -- tenang sebuah desain bagi masyarakat disabilitas.
Jumat tanggal 29 Noverr 2019 lalu, aku diminta untuk berbicara bersama pak Iwan dari Prempov DKI Jakarta, tentang "Diffability IN The City", sebagai arsitek-arsitek almamater Untar.
Selama dari tanggal 27 Novermber sampai 3 Desember 2019 ini, mahasiswa-mahasiswa semester 3 ini, berusaha untuk memberikan banyak informasi yang terbaik bagi masyarakat, tentang fasilitas disabilitas.
Pada kesempatan itu aku menegaskan kepada para mahasiswa, jika mereka sudah lulus dan bekerja sebagai konsultan untuk rancang bangun, setidaknya di semua kantor mereka, disediakan kursi roda sebagai alat bantu terbesar untuk disabiitas sebagi alat untuk simulasi dalam mendesain.
Mereka juga harus belajar mendesain dengan duduk di kursi roda, untuk merasakan serta mengamati bagaimana manuver-manuvernya, atau bagaimana dengan leveling permukaan lantainya.
Atau juga, bagaimana mereka membuka pintu swing. Karena pada dasarnya, disabilitas di atas kursi roda sangat sulit membuka dan menutup pintu swing. Lebih baik dengan pintu dorong .....
Tugas ini di kerjakan oleh mahasiswa-mahasiswa semester 3 di Mata Kuliah Studio Perancangan (Stupa) III. Ada yang berkelompok, tetapi ada juga yang sendiri atau pribadi. Bagiku, ini adalah tugas yang keren! Mengapa keren?
Karena pada keyataannya, sejak dulu orang berpikir bahwa seorang arsitek lebih menekankan merancang bangunan yang kerena, cantik atau mewah. Pada kenyataannya juga, justru mereka ingin  menjadi arsitek adalah secara bisnis untuk merancang bangunan mewah, unik dan mahal, untuk mendapatkan uang yang besar.
"Bangunan yang mewah dan mahal serta unik", bisa diartikan dengan bentuk bangunan yang unik atau material-material yang mahal. Sehingga, dalam kaitannya dengan kaum disabilitas, itu justru membuat mereka semakin terkucil.
Terkucil di sini artinya bahwa dengan bentuk bangunan yang unik dan material yang mahal, BIASANYA, menjadikan si arsitek lupa dan tidak berpikir jauh tentang kebutuhan-kebutuhan warga yang berbeda. Si arsietk lebih berpikir, bagaimana bangunan yang dia rancang bisa membuat yang datang takjub dan terkagum.
Contohnya nih,
Seorang arsitek merancang bangunan caf atau kedai kopi yang sebenarnya tidak terlalu besar dan cukup sederhana. Teatpi, karena si arsitek itu punya konsep berbeda dengan konsep cafe-cafe yang lain, maka dia merancang caf nya dengan tangga seperti jalan setapak dan dibawhnya adalah kolam ikan koi sera bunga-bunga teratai.
Akibatnya, yang datang adalah kaum muda yang 'instagramable', dan sering kesana untuk berfoto. Belum lagi, didalam caf itu, permukaan lantainya banyak berbeda level, sehingga benar-benar caf ini tidak bisa didatangi oleh sebagian masyarakat.
Jangankan kaum disabilitas, bahkan mungkin orang tuan atau eksekutif senior akan malas mendatanginya karena mereka arus berhati-hati untuk ke sana. Salah-salah, mereka jatuh kekolam koi atau tersandung di dalam caf karena perbedaan kevel yang tidak beraturan.
Jika ada yang bertanya, "Lah, ya sudah. Kan untuk kaum seniot atau disabilitas bukan dilarang, tetapi diperingatkan, toh masih banyak cafe-cafe yang di desain lebih ramah untuk mereka!"
Elts!
Jangan salah!
Kaum disabiltas serta warga senior atau siapapun itu, mempunyai hak dan kewajiban yang sama lho! Bahwa, kita semua berhak untuk datang ke ruang public yang sama. Perkantoran yang sama. Mall yang sama. Bahkan cafe-cafe yang sama.
Sehingga, sudah sejak lama pemerintah menerapkan aturan-aturan baku tentang rancang bangun dan kebutuhan fasilitas untuk kaum disabilitas. Setiap bangunan yang ada, HARUS SUDAH MEMATUHI ATURAN-ATURAN, TERMASUK UNTUK FASILITAS DISABILITAS ......
Tetapi, ketika si arsitek sibuk dengan bisnisnya serta hanya mau meranang bangunan-bangunan sesuai dengan si pemilik bangunan, seringkali membuat si arsitek terlalu "lupa diri". Si arsitek hanya memikirkan kebutuhan si pemilik bangunan dan lupa dengan masyarakat yang memakainya. Si end-user.
Dan, ketika si arsitek tidak dibekali dengan sebuah kepedulian dan kehidupan social di masyarakat, berbagai aturanpun dilanggar ......
Nah ..... Dari yang aku jabarkan di atas, bagaimana aku tidak tertegun ketika di jurusan Arsitektur Untar sudah diajarkan dan dididik untuk mulai menanamkan kepedulian, dengan merancang bangun untuk segala lapisan masyarakat, termasuk kaum disabilitas?
Tahun 2019 ini,
Aku sudah diminta berbicara dua kali tentang kepedulian disabilitas. Karena aku adalah almamater FT Arsitekrur Untar tahun 1988 sampai 1992, dan aku juga bagian dari kaum disabilitas sebagai pemakai kursi roda (elektrik), aku memang ingin masuk lagi di dunia akademika.
Bukan seedar mnjadi dosen saja tetapi lebih kepada memberikan arahan-arahan khusus untuk rancang bangun untuk disabilitas. Karena, pada kenyataannya banyak instansi dan pemilik bangunan "mempatenkan" bangunan mreka sebagai "bangunan yang ramah disabilitas".
Tetapi, kenyataannya TIDAK!
Karena sebagai end-user disabilitas, aku tidak bisa memanfaatkannya. Ya, bisa dipakai jika aku non-disabilitas! Lalu, apa gunanya?
Dengan ruang besar untuk toilet disabilitas dan cukup untuk kursi roda, misalnya, tetapi pintunya membuka didalam, bagaimana kita bisa memakai toilet itu, karena kursi roda bisa masuk tetapi pintu tidak bisa ditutup?
Lalu yang lain,
Bagaimana kursi roda bisa masuk ke sebuah mall besar dan mewah, sementara mereka mendesain di semua pintu masuk ke mall, selalu ada tangganya, dan tidak disediakan ramp atau lift?
Padahal, dalam mall besar dan mewah tersebut interiornya dikatakan "ramah disabilitas", sementara kaum disabilitas itu sendiri tidak bisa masuk ke dalam mall?
Mahasiswa semester 3 di jurusan arsitektur Untar, ternyat udah diberikan konsep dan metode khusus untuk merancang bangun termasuk untuk fasilitas disabilitas. Tugasnya memang masih cukup sederhana, dan dala 1 tugas belum untuk semua jenis disabilitas.
Misalnya,
Tugas 1, fasilitas-fasilitas untuk disabilitas netra. Tugas 2, untuk disabiiltas rungu, begitu seterusnya.
Untukku, justru mereka memulai dengan 1 jenis disabilitas saja dahulu, dan mereka pasti harus men-survey dan sedikit risat dari 1 jenis disabilitas saja. Justru, mereka focus dengan 1 jenis disabilitas saja dulu, membuat konsep dan harus diterapkan dalam desain tugas mereka.
Mungkin, di semester-semester berikurnya mereka bergantian untuk mendesain bangunan yang berbeda dengan fungsi dan fasilitas untuk kaum disabilitas.
Itu pengajaran yang sangat representative, ketimbang jika mereka harus membuat tugas langsung dengan berbagai jenis disabilitas ......
Mahasiswa berhak mempelajari dengan proses. Bertahap, mereka akan mampu menyerap banyak, dibandingkan tanpa proses dan hanya sekedar "memaksa" mereka, padahal mereka sendiri pun benar-benar baru belajar!
Dalam semester ke-3, mereka baru mempelajari desain untuk uang public, dan itupun baru bangunan kecil saja. Jika mereka harus mempelajari fasilitas disbilitas dalam ruang public yang kecil, pemikiran mereka akan terpecah. Belajar desain atau belajar fasiiltas disabilitas seua jenis disabilitas?
Jenis-jenis disabilitas pun cukup banyak. Aku saja yang sudah sekitar 100 tahun sebagai bagian dari disabilitas dunia, aku belum mampu menguasai semua jenis disabilitas.
Dan, karena aku disabilitas daksa pemakai kursi roda, aku bisa menguasai "apa yang dibutuhkan sebagai end-user disabilitas daksa". Sedangkan, jenis disabilitas yang lain, aku tetap harus mengamati, melihat dam meriset, untuk kebutuhan mereka jika aku diminta mendesain ruang public dengan semua jenis disabilitas .....
Tanggal 3 Desember tahun 2019 ini, adalah tahun ke-9 aku sebagai bagian dari disabilitas dunia.
Aku merasa belum banyak kiprahku untuk disabilitas. Perjuanganku masih sangat jauh. Walau prosesnya cukup lambat karena aku pun sangat terbatas dengan tibih lumpun separuh sebelah kanan, aku tetap akan terus berjuang.
Perjuanganku bukan hanya untukku saja sebagai disabilitas, tetapi aku memperjuangkan hak-hak diabilitas, untuk tetap mempunyai hak dan kwajiban yang sama sebagai warga Negara.
Karena, ketika Tuhan masih memberikan kesempatan hudup di dunia ini, walau kita tidak mempunyai apar-apar dan cacat berat, berarti Tuhan masih mempunyai rencana untuk kita. Jika tidak, Tuhan pasti sudah memanggil kita pulang, karena tugas kita sudah seesai di dunia ini .....
Selamat Hari Disabilitas Internasional -- 3 Desember 2019
Tuhan memberkati kita semua .....
Mari, bersama kita berjuang untuk hidup yang lebih nyaman ......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H