Nah ..... Dari yang aku jabarkan di atas, bagaimana aku tidak tertegun ketika di jurusan Arsitektur Untar sudah diajarkan dan dididik untuk mulai menanamkan kepedulian, dengan merancang bangun untuk segala lapisan masyarakat, termasuk kaum disabilitas?
Tahun 2019 ini,
Aku sudah diminta berbicara dua kali tentang kepedulian disabilitas. Karena aku adalah almamater FT Arsitekrur Untar tahun 1988 sampai 1992, dan aku juga bagian dari kaum disabilitas sebagai pemakai kursi roda (elektrik), aku memang ingin masuk lagi di dunia akademika.
Bukan seedar mnjadi dosen saja tetapi lebih kepada memberikan arahan-arahan khusus untuk rancang bangun untuk disabilitas. Karena, pada kenyataannya banyak instansi dan pemilik bangunan "mempatenkan" bangunan mreka sebagai "bangunan yang ramah disabilitas".
Tetapi, kenyataannya TIDAK!
Karena sebagai end-user disabilitas, aku tidak bisa memanfaatkannya. Ya, bisa dipakai jika aku non-disabilitas! Lalu, apa gunanya?
Dengan ruang besar untuk toilet disabilitas dan cukup untuk kursi roda, misalnya, tetapi pintunya membuka didalam, bagaimana kita bisa memakai toilet itu, karena kursi roda bisa masuk tetapi pintu tidak bisa ditutup?
Lalu yang lain,
Bagaimana kursi roda bisa masuk ke sebuah mall besar dan mewah, sementara mereka mendesain di semua pintu masuk ke mall, selalu ada tangganya, dan tidak disediakan ramp atau lift?
Padahal, dalam mall besar dan mewah tersebut interiornya dikatakan "ramah disabilitas", sementara kaum disabilitas itu sendiri tidak bisa masuk ke dalam mall?