By Christie Damayanti
Makan di Jepang, bukan berarti makan masakan Jepang. Jika kita sebagai wisatawan asing, pastilh kita akan berusaha makan masakan local, sebagai salah satu wisata kuliner nya, di negaa yang kita kunjungi. Itu sah2 saja, dan sangat wajar.
Tetapi, ketika aku yang memang juga tergolong sebagai wisatawan asing tetapi aku ke Jepang maksimal per-3 bulan aku terbang kesana, guna menjenguk Michelle, anakku yang tinggal disana, sepertinya aku sering merasa bosan untuk makan terus makanan local Jepang, walau aku memang suka kulinernya.
Sehingga, ketika aku terbang ke jepang untuk menjenguk anakku, 1 atau 2 hari pertama aku pasti makanmasakan Jepang, seperti ramen, soba atau beffbowl. Selebihnya, aku pasti mencoba2 makanan2 apa yang menarik hatiku, jika aku berjalan2 seputaran Tokyo.
Salah satunya adalah makanan dan masakan Italia, dimana makanan Italia sepertinya sudah menjadi favorite bagi warga local Jepang. Sayang sekali, masakan Indonesia bukan favorite mereka. Hanya ada 1 atau 2 restoran Indonesia saja, di beberapa distrik besar Jepang...
Begitu juga dengan Michelle. Jika aku datang menjenguknya, pasti dia akan mengajak aku makan makanan yang mungkin tidak akan dia beli, karena dianggap mahal!
Hihihi, maklum... dia memang mahasiswa perantauan.
Walau penghasilannya setara dengan manager madya di Jakarta, tetap saja dia tidak mau "membuang2 uangnya" untuk makanan mahal, menurutnya, hahahaha .....
"Ok, sayang.... kamu mau makan apak, hari ini?", itu yang selalu aku tanyakan jika kami berjalan2.
"Aku mau makanan Italia, ya ma", jawabnya.
Jadilah, kami menuju Restauran Italia Banchina di Asakusa, dekat dengan Sensoji Temple, yang katanya kentang panggang dan lasagna nya enak disana.
Suatu hari Minggu, di musim pnas tahun 2017, kami santai sepulang Ibadah di Gereja dari Nishi Funabashi Chiba ke Asakusa di Tokyo. Kereta dengan belasan stasiun Kenzei dan berakhir di Stasiun Metro Tokyo Asakusa.
Tidak jauh berjalan kaki sekitar 5 menit saja, kami sampai ke Restoran Italia Banchina. Restorannya tidak besar, dan berdempetan dengan restoran2 Ramen disekitarnya. Kami masuk, duduk dan memesan beberapa makanan, sesuai dengan keinginan Michelle dan sahabatnya, Chintya, juga dari Jakarta.
Makaroni schotel nya pun lembut sekali. Makaroni dibumbi khas Italia, dengan cacahan wortel dan daging serta topping telur dan keju. Ketika dimakan, keju nya lumer dimulut, aahhhhh...Â
Hari itu, adalah Hari Minggu, dimana Asakusa adalah salah satu titik wisata terkenal dan terbanyak di Tokyo. Asakusa berdempetan dengan Sumida River, dan dengan berjalan kaki sekitar 20 menit atau naik kereta selama 1 stasiun, sampailah kita ke Tokyo SkyTower.
Sehingga, bisa dibayangkan betapa ramainya Asakusa di Hari Minggu. Restoran2 disana antri dengan ratusan bahkan ribuan wisatawan dunia yang "tumlek blek" disana. Demikian juga, Restauran Bachina yang kami tuju.
Kami menunggu antria sekitar 20 menit, baru kami mendapat tempat duduk. Pemesan nya pun memakan waktu lama. Maklum, pelayanannya Cuma 1 atau 2 orang saja. Karena tenaga kerja manusia di Jepang dan di banyak Negara di dunia, itu mahal.
Aku teringat, Michelle pun bekerja sebagai tenaga pramusaji di Ramen Ichiran, beberapa blok bedanya dari Restoran Banchina ini. Dan Michelle cerita berapa gajinya. Untuk ukuran mahasiswa perantauan dari Indonesia yang harga pekerja di Negara tercinta itu cukup murah.
Michelle digaji sebagai pramusaji di Ramen Ichiran sekitar hampir 2000 Yen per-jam. Cukup mahal, bukan? Sehingga, tidak heran jika beerapa pemilik restoran tidak banyak mempekerjakan pegawai untuk melayani pengunjung.
Akibatnya?
Ya seperti kami ini, waktu itu. Menunggu dengan waktu yang lumayan lama, bahkan hanya sekedar memesan makanannya. Belum lagi mengantar makanannya. Alhasil, hanya makan siang saja, kami harus mengurangi waktu kami sekitar 3 jam lebih, astagaaaaaa .....
Ya sudah lah....
Yang jelas, makanannya memang enak. Jika melihat foto2 diatas, mungkin tidak terlalu memberikan "rasa" yang enak, karena penyajiannya memang sederhana. Tetapi, percaya deh! Makanan nya sungguh enak! Dan kami puas!
Harganya?
Cukup mahal. 1 porsi masing2 sekitar 1200 Yen sampai 1800 Yen! Dengan restoran yang memang berada di aera Asakusa, aku tahu daerah itu memang mahal, sehingga sangat wajar jika mereka mematok harga yang cukup mahal.
Ya tidak apa2 deh. Yang jelas, Michelle bahagia makan disana dn wajahnya pun berseri2. Aku tersenyum mengingat itu. Pantesan saja, mereka harus menunggu aku datang untuk ditraktir makan dengan harga seperti ini, hahahaha.
Mahalllll....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI