Sebuah Torii besar berwarna orange, menjulang tinggi dengan latar belakang langit ceria dan matahari cerah bersinar di Kuil Inage Sengen Jinja Temple, Chiba.
Jepang memang unik dan sangat menarik, bagi yang benar-benar mengerti apa makna dalam travelling. Bukan hanya untuk ke tempat-tempat wisata yang viral, tetapi sekadar berjalan-jalan di seputar Kota Tokyo pun, kita bisa menemukan sesuatu yang "sesuatu banget".
Kali ini, aku memang ingin mengantar Michelle untuk membeli suit mahal. Bukan karena mahalnya, tetapi suit ini dibutuhkan sebagai seragam kuliahnya sebagai calon hospitalitier, melayani di hotel-hotel dunia. Dan suit seragamnya ini, berada di Inage.
Minggu pagi, kami sudah berada di Inage Station. Sengaja pagi ke sana, untuk berjalan-jalan dulu di seputar Inage sebelum ke toko besar "Suit Select". Dan setelah itu, baru kami akan ke Chiba Castle, di sore harinya.
Baru berjalan beberapa puluh meter dari Inage Station, mataku terpana karena ada sebuah Torii besar berwarna orange. Wuuiiihhhh...
Mataku pasti bercahaya jika melihat sesuatu yang unik. Apalagi warna orange dengan latar belakang langit biru, itu benar-benar sangat menarik!
Torii itu apa?
Torii warna merah di Inage Sengen Jinja Temple, ChibaÂ
Torii adalah sebuah pembatas kuil Shinto, antara kawasan tinggal manusia dengan kawasan suci tempat tinggal Kami. Selain itu, sebuah Torii berfungsi untuk pintu gerbang kuil pemujaan. Bentuk Torii berupa 2 batang palang sejajar yang disangga dengan 2 batang tiang vertical atau kolom besar.
Kami adalah roh atau fenomena yang disembah dalam agama Shinto. Adalah unsur alam, hewan, serta roh-roh yang dihormati. Banyak dianggap sebagai nenek moyang.
Kuil Inage Sengen Jinja, merupakan kuil agama Shinto yang didedikasikan untuk dewa-dewa pengiriman. Merupakan kuil kuno berumur lebih dari 1200 tahun. Kuil ini pernah runtuh dan dibangun kembali sekitar tahun 1187 dan dibangun kembali ke arah Gunung Fuji, sampai selama periode Edo.
Kuil yang sudah dipugar beberapa kali, yang terakhir tahun 1984
japan-web-magazine.com
Terakhir, kuil ini direnovasi lagi tahun 1984.
***
Kuil Inage Sengen Jinja ini ternyata sangat besar. Naik turun, berkelok-kelok, dan sampai menyeberang jalan utama Inage. Tetapi, termyata ketika aku googling sangat sedikit ulasan tentang kuil ini. Entah kenapa, tetapi yang aku pikirkan adalah mungkin karena Kuil Inage Sengen Jinja berada bukan di daerah wisata, sehingga ulasan tentang ini pun sangat terbatas.
Pagi itu, suasana di Inage Chiba sangat cerah dan cerita. Inage bukan sebuah kota besar, bahkan sepertinya lebih kecil dari kota Funabashi. Tetapi lebih besar dari kota Funabashi Hoten, tempat apartemen Michelle.
Inage menurutku, termasuk "perkampungan", tetapi mempunyai jalan2 utama yang cukup besar. Sangat nyaman, ketika sekitar jam 9 pagi kami berjalan2 berduaan dengan Michelle dan aku memakai kursi roda ajaibku.Â
Dari Stasiun Inage menuju Suit Sellect, jalan cukup sempit. Bahkan hanya di satu sisi saja yang mempunyai pedestrian, itupun hanya sekitar 120 cm, hanya cukup untuk kursi roda ajaibku.
Jadi, ketika kami berpapasan dengan pejalan kaki lain, mereka harus turun ke permukaan jalan kendaraan bermotor. Suasana Minggu pagi waktu itu, sangat sepi. Bahkan, suara burung-burung dara pun bersenandung di telingaku. Tenang dan damai.
Sekali-sekali mobil menderu. Dan angin dingin juga terus mendesau. Latar belakang langit biru pun bukan berarti suasana hangat atau panas. Pagi itu, pertengahan bulan Maret 2019 lalu, masih berada dalam awal musim semi. Di mana, di musim semi suhu udara masih belasan derajat, bahkan beberapa hari masih di bawah 10 derajat.Â
Jika tidak ada angin, masih lumayan. Kita bisa merapatkan tubuh dengan 2 atau 3 lapis pakaian. Dan ras dinginnya hanya sekedar dingin-dingin yang bisa terusir jika kita terus bergerak.
Tetapi jika angin berhembus, apalagi semakin besar, suhu udara berubah dan menurun sampai beberapa derajat. Dan akhirnya, kita pun tidak bisa berbuat apa-apa ketika tubuh kita semakin membeku, walau kita semakin banyak berberak. Pasrah.
Pagi itu, langit biru cerah ceria. Suhu udara pun belasan derajat. Angin sekali-sekali berhembus. Kadang besar, kadang kecil. Membuat tubuh kami pun sering menggigil.
Tetapi ketika mataku terpana dengan Torii orange itu, seketika itu pun tubuhku semakin menghangat. Bayangkan saja. Torii besar berwarna orange dengan latar belakang langit biru cerah ceria, itu terlihat mencerahkan hati dan mataku.
Dan warna orange itu memberikan efek hangat walau udara cukup dingin.
Dari jalan utama, awalnya kuil ini kupikir tidak besar. Tetapi ketika kita memasukinya, jalannya menanjak, dan diujungnya tidak berupa amp, melainkan tangga berundak tinggi. Lngkungannya pun luas, tanpa seorang pun. Sepi. Sendiri. Hanya burung2 berkicu dan angun mendesau.
Jika kita merasa takut, mungkin. Karena tempat pemujaan identik dengan roh Kami, seperti yang kutuliskan di atas. Roh-roh leluhur, boleh jadi sedang menikmati alam Jepang yang cantik. Dan untuk aku dan anakku yang juga menyukai ketenangan dan kedamaian, luas kuil ini memberikan kenyamanan yang luar biasa!
Tanpa suara, tanpa deru mobil, dan tanpa hal-hal yang membuat pikiran kita bingung. Baru sekali ini, aku merasakan kedamaian di sebuah kuil di Jepang yang sangat sepi. Karena di Tokyo, kuil-kuil sudah menjadi ranah publik dan wisata. Bukan tempat persembayangan yang seharusnya untuk mendamaikan diri dari segala macam hingar bingar dunia.
Aku dan Michelle ku di Torii Inage Sengen Jinja Temple, Chiba. Dokumentasi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H