By Christie Damayanti
Jalan-jalan ke tempat baru itu sangat menyenangkan. Walau bingung tanpa ada yang memandu, linglung dengan tulisan-tulisan kanjinya serta internet yang kadang kala lelet sewaktu baca Google Map, tapi itu tidak mengurangi kegembiraanku.
Pertama ke Ryogoku pada Juli 2017 lalu, aku dengan Dennis menjemput Michelle ke Meisei School, tempat dia belajar bahasa Jepang. Ketika tiba di sana konsentrasiku terpaku pada lingkungan sekeliling, sementara Dennis yang mencari jalan dan memanduku. Karena pergi dengan anak-anak, aku jadi bisa leluasa memerhatikan detil arsitektur, streetscape, tata kita serta masyarakat Ryogoku. Hal tersebut berbeda ketika aku travelling sendirian. Fokus pengamatanku terpecah untuk memandu diri sendiri agar tidak terlalu jauh kesasar, hihihi.
Baiklah, lanjut...
Dari stasiun Ryogoku untuk sampai ke Meisei School membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 20 menit dengan berjalan kaki atau diatas kursi roda. Beda jika Michelle atau teman-temannya yang kadang harus berjuang dengan berlari karena kereta terlambat atau mereka bangunnya kesiangan. Mungkin cuma 5 menit saja mereka sampai, dan masih ngos-ngosn mereka bisa masuk kelas mereka.
Keluar dari stasiun Ryogoku, disambut dengan berbagai tawaran yang berhubungan dengan sumo. Karena memang Ryogoku memang terkenal sebagai pusat sumo di Tokyo. (Lihat tulisanku : "Ryogoku", Dunia Pesumo Sejati Jepang). Setelah sumo, tawaran baru adalah Museum Edo, yang juga aku datangi. Bangunan arsitektural cantik ini akan kubahas setelah artikel ini.Â
Walau aku juga cukup terbatas (aku adalah seorang 'single parents' dengan 2 anak kuliah) untuk dana dan materi, tetapi aku berusaha untuk menabung atau melakukan apa saja untuk mencari tambahan dana. Dan mencari "bahagia"ku sendiri untuk isa semangat. Dan ini pun aku lakukan, travelling keliling Tokyo hanya sendirian.
Bangunan-bangunan modern khas Jepang yang minimalis dengan material cantik dan elegan banyak terdapat disana. Tidak ada yang cukup membuat mataku tertarik tentang bangunan-bangunan modern Jepang, tidak seperti bangunan-bangunan lama Eropa. Tetapi yang membuat aku terkesima adalah fasilitas-fasilitas yang sangat baik bagi warganya.
Kebersihannya sangat terjaga. Jalan besar ataupun jalan lingkungannya, tetap mempunyai fasilitas-fasilitas yang ciamik bagi warganya. Jalur pedestriannya besar dan sangat nyaman bagi warga, karena Jepang  memang terkenal sebagai negara yang mengusung konsep ramah terhadap pejalan kaki, sehingga kebutuhan pejalan kaki sangat dihormati, lebih dari pembawa kendaraan  termasuk bagi kaum disabilitas.Â
Dimensi jalur pedestrian yang besar, dengan permukaan yang sangat 'smooth' dan disertai rambu-rambu yang jelas (walau memakai tulisan kanji) sangat membantu pejalan kaki. Tokyo sebagai kota padat membuat pemerintah Jepang "mengharuskan" warganya untuk berjalan kaki. Lewat pembangunan insfrastruktur transportasi umum yang sangat mumpuni, sehinggamemang lebih nyaman dengan berjalan kaki, dan biayanya pun jauh lebih murah dibanding dengan membeli bensin, ditambah lagi karena Tokyo memang sangat aman.
Warganya pun sangat ramah dan menerima wisatawan dengan baik, apalagi kaum disabilitas. Selama aku di sana beberapa kali, mereka sangat 'merangkul' aku. Dengan selalu memberikan tempat dan menjagaku. Bahkan selalu siap menolongku jika aku berada dalam kesulitan.
Jarak tempuh sekitar 20 menit pun tidak terasa. Dengan membaca Google Map di ponselku, aku sering berbelok bukan yang harusnya aku lalui untuk mencari jalanan yang lain. Tujuannya memang hanya ingin survei dan  memotret banyak detail yang aku butuhkan, sampai akhirnya aku bingung sendiri karena terlalu banyak yang harus aku rekam dalam kameraku atau dalam otakku, hihihi.
Bangunan-bangunan di Ryogoku, mungkin hanya belasan lantai. Sebagian besar merupakan daerah pemukiman berbentuk apartemen. Sebagian lagi merupakan bangunan umum, perkantoran, tourisme centre, museum, sekolah dan fasilitas untuk warga.
Bangunan apartemen di sana sangat kecil dan mungil. Desainnya benar-benar modern Jepang. Banyak bangunan menggunakan material arsitektural yang presisi dan cantik. Sangat minimalis dengan warna-warna natural. Pokoknya benar-benar sesuai dengagn bayanganku, ketika aku masih kuliah dan belajar tentang bangunan di Jepang melalui buku.
Sudah mulai capek, aku berbelok kearah sekolah Michelle, Meisei School. Berada di jalan kecil, sekolah ini merupakan cabang dari pusatnya yang berada di Distrik Chiba. Tetapi justru dengan posisinya di jalan kecil inilah yang nyaman untuk belajar. Dikelilingi apartemen membuat daerah itu nyaman untuk belajar. Dan Michelle sudah menjadikan Meisei School sebagai awal dari hidupnya di Jepang, untuk rencannya kuliah dan bertempat tinggal disana.
Sebelumnya :
"Ryogoku", Dunia Pesumo Sejati Jepang
Travelling di Jepang adalah 70% Kereta
Dari Kinshicho ke Funahabashi Hoten
Mencoba Berbagai Moda Transportasi Keliling Tokyo
Sendirian, Keliling Tokyo Hanya dengan Kursi Roda 'Ajaibku'
Funabashi, "Kota Belanja" untuk Turis yang Tidak Siap dengan Harga Mahal Jepang
Bukan Sekedar Berkuda di Funabashi Hoten
"Aku Ingin Tinggal di Rumah Nobita, yang Ada Doraemon", dan [Hampir] Menjadi Kenyataan
"Negeri Impian" Funabashi HotenÂ
Sekali Lagi, Mengapa Funabashi Hoten?
'Funabashi-Hoten', Kota Kecil Awal Sebuah Kemandirian
Denyut Kehidupan di Nishi Funabashi sebagai "Kota Transit"
Awal Perjuangan untuk Menaklukan Jepang di Nishi Funabashi
'Nishi Funabashi', Sebuah Kota Kecil Tempat Hatiku Berlabuh
Sebuah Negara dari 'Antah Berantah' dengan Bahasa dan Tulisan Cacingnya, Duniaku yang Baru .....