By Christie Damayanti
Jangankan hubungan antara mitra kerja dan pekerja disabilitas, hubungan pribadi antara penyandang disabilitas dan keluarga yang terdekat pun, harus saling mengerti.
Bicara tentang berinteraksi, penyandang disabilitas itu mempunyai kepekaan yang berbeda dengagn masyarakat pada umumnya. Keperkaan itu merupakan hasil dari keterbatasan fisik bagi disabilitas. Kepekaan itu bisa menjadi pemicu juga, dalam hubungan interaksi, sehingga untuk berinteraksi bagi penyadang disabilitas, memang harus berhati2.
Untukku sendiri sebagai bagian dari kaum disabilitas, selama 7,5 tahun ini aku sudah mampu untuk meredam emosiku yang bisa saja tiba2 meledak, tanpa tahu sebabnya. Ini belajar dari keadaan. Emosiku naik turun dan sering kali tidak terkendali. Sehingga, ketika aku ingin belajar untuk saling mengerti dengagn teman2 atau moitra kerjaku, aku harus belajar mengontrol emosiku.
Begiu juga dengagn kaum disabilitas pada umumnya. Kestabilan emosi kami memang rentan. Ketika tiba2 saja ada 1 kata atau 1 tindakan saja yang mengarah pada kami, bisa saja emosi kami tiba2 meledak. Sehingga, ada beberapa tips dariku untuk mengetahui cara berinteraksi dengagn kaum disabilitas, secara umum.
Pertama,
Kami sebagai kaum disabilitas itu tidak mau dikasihani. Kami hanya ingin dimengerti bahwa cara kami itu berbeda dalam melakukan sesuatu. Dan kami akan terus berusaha untuk melakukan sesuatu itu tanpa bantuan siapapun. Padahal mungkin teman2 disekeliling kami ingin membantu. Tetapiketika kami tidak ingin dibantu, berarti kami bisa melakukan sendiri.
Jadi, kami ingin, jika masyarakat pada umumnya mau membantu kami, TANYAKAN LAH TERLEBIH DAHULU,supaya semuanya menjadi jelas. Karena kami mungkin sebenarnya, mampu, tetapi cara kami berbeda. Mungkin cara kami lebih lama dengan cara yang umum. Atau mungkin kami harus mengumpulkan energy positif kami, sebelum melakukan pekerjaan itu.
Tetapi jika kami benar2 membutuhkan bantuan, kami tidak akan segan2 untuk memintanya, karena memang demikian lah adanya.
Seperti ketika aku harus berjalan terlalu jauh untuk mencapai suatu titik pertemuan. Pertama kali, aku bisa berjalan sendirian walau jalanku perlahan dan mungkin jalanku tidak menyakinkan yang terlihat, karena kaki kananku lumpuh. Tetapi aku merasa bisa sampai di ½ perjalanan.
Dan ½ perjalanan yang kemudian, aku akan meminta tolong orang lain, untuk menggandengku. Itu yang aku lakukan, ketika aku belajar mandiri. Jika aku merasa belum mampu untuk mencapai titik yang kutuju, ku tidak akan segan untuk meminta bantuan …..
Begitu juga dengagn teman2 kaum disabled ……
Kedua,
Jenis disabilitas itu berlainan. Ada yang bisa tanpa alat bantu, tetapi banyak yang memakai alat bantu. Seperti ‘hearing-aid’ untuk disabilitas rungu, kursi roda untuk disabilitas daksa, atau tongkat untuk disabilitas netra, atau alat2 bantu yang lain.
Bagi kami, sebuah alat bantu kami ini merupakan bagian dari ‘privasi’ kami. Seperi misalnya, ‘hearing-aid’ bagi disabilitas rungu itu terpasang di telinga mereka, dimana telinga mereka adalah bagian privasi mereka.
Begitu juga kursi roda, adalah ‘tubuh’ bagi disabilitas daksa. Dimana ketika masyarkat umum mau membantu untuk mendorong kursi roda mereka, anggap saja kursi roda itu adalah bagian dari tubuh mereka, sehingga memegang kursi roda pun harus berhati2 dan mungkin harus meminta maaf kepada disabilitas daksa, karena itu adalah ‘tubuh’ mereka. Apalagi memindahkan kursi roda itu, walau tujuannya untuk kebaikan ……
Ketiga,
Mungkin tidak ada satupun masyarakat umum mengerti tentang jalan pikiran kami. Contohnya, aku adalah bagian dari kaum disabilitas. Ketika aku ingin melakukan sesuatu dan mungiun memang ‘sesuatu’ ini dianggap ekstrim oleh keluargaku, apalagi oleh orang lain, membuat aku dan keluargaku berdebat panjang. Dan walau ku sudah menjelaskan tujuanku melakukan itu, tetapi keluarga kun pun tidak bisa mengerti, apalagi orang lain.
Perbedaan2 pemikiran antara kami kaum disabilitas dan masyarakat pada umumnya, memberikan batasan2 tersendiri. Bukan untuk sebuah diskriminasi, tetapi tentang sebuah pengertian dan saling menghormati.
Bagi kami sebagai kaum disabilitas, kami ingin masyarakat umumjangan pernah berasumsi. Jangan pernah berpikir bahwa ‘kami tidak mampu’, dan jangan pernah melakukan sesuatu tanpa bertanya kepada kami.Lebih baik bertanya daripada kemungkinan terjadinya kesalahpahaman. Karena kami memang berbeda …..
Berasumsi, walaupun masyarakat umum ingin membantu kita, akan menjadikan kami bingung. Berasumsi adalah berandai2. Jika … jika … jika … dan jika … padahal belum tentau semua asumsi itu benar. Padahal pikiran kami sederhana saja …..
Mungkin, kami dianggap sombong oleh masyarakat pada umumnya. “Ah, mau ditolong aja sombong”, itu yang sering kami dengar. Tetapi bukan seperti itu yang kami maksudkan. Yang kami mau adalah, jangan pernah menganggap kami tidak mampu, tetapi memang kami ‘berbeda’ ……
Keempat,
Ketika kami sebagai kaum disabilitas, berusaha untuk melakukan sesuatu padahal lingkungan kami melihat (mungkin) kami tidak mampu, biarkanlah kami. Kami akan terus mencoba sendiri dahulu, dan ketika kami benar2 tidak mampu, kami akan meminta tolong. Karena demikian lah adanya …..
Saling mengerti dan saling menghargai, itu yang membuat kami nyaman di dunia inklusi.Pengertian bagi kami dari masyarakat umum, akan memberikan kepercayaan diri kami semakin bertambah.Dan perlahan, kami ingin masyarakat umum melihat kami, seperti melihat dengan mata yang sama untuk lingkungan kami.
Bawa kami tidak ingin dikasihani, sehingga dalam berinteraksi antara kami dan masyarakat umum merupakan interaksi yang saling mengerti dan saling menghargai …..
Kelima,
Kemandirian merupakan hal yang mutlak bagi kami. Karena sebenarnya kami sangat sadar bahwa ketika orang2 yang mengasihi kami (keluarga, sahabat atau siapapun di lingkungan kami) tidak ada lagi disisi kami, kemandirian kami merupakan titik awal kami menuju masa depan kami.
Ketika kemandirian kami dipertanyakan oleh masyarakat umum, bagaimana kami dapat memulai hidup kami? Hak2 kami sebagai warga negara itu sebenarnya, kami harus mendapat fasilitas2 khusus sebagai penyandang disabilitas. Tetapi jika fasiitas2 khusus untuk kami masih terabaikan, kami hanya ingin masyarakat dan lingkungan kami mengerti tentang kemandirian kami.
Kemandirian yang seperti apa?
Tidak banyak yang kami inginkan. Sekali lagi, kami membutuhkan pengertian yang penuh untuk kami belajar bergerak atau melakukan sesuatu dengan cara2 yang berbeda, tanpa harus dianggap ‘aneh’. Dan kami sangat mengharapkan tidak adanya diskriminasi tentang apapun.
Anggaplah kami adalah teman, tanpa memandang ‘kecacatan’ kami. Tersenyum lah kepada kami, tanpa melihat kami dengan ‘aneh’, dan tertawalah dengan kami, karena kami ini juga seorang manusia yang diciptakan dan dianugerahkan sebuah perbedaan tetapi juga merupakan anugerah Tuhan …..
Sebelumnya :
Pekerja Disabilitas : Hak Mereka Sama, Mimpi Mereka pun Sama …..
‘Analisa Pekerjaan’ bagi Pekerja Disabilitas, Perlukah?
Bagaimana Cara Mempekerjakan Penyandang Disabilitas?
Akses Kaum Disabilitas untuk Bekerja
“Beban Negara”kah, Kaum Disabilitas?
Kisah Seorang Gadis Tuna Rungu
“Zona Nyaman” Bagi Disabilitas di Lingkungan Pribadi
“Dibalik Kelemahan Kami, Adalah Kekuatan Kami” [Dunia Disabilitas]
Penyakit ‘Multiple Sclerosis’ yang Meremukkan Seorang Sahabatku, Semakin Memburuk …..
Keterbatasan Mereka Justru adalah Kekuatan Mereka
Sekali Lagi, “Mereka Ada” : Catatan dari Rawinala
‘Mereka’ adalah Inspirasi yang Terpendam …..
Penyandang ‘Pasca Stroke’ Diminta Pensiun Dini? Sedih …..
Kaum Disabled Jangan Manja, Karena Kepedulian Itu Masih Lama!
Oda itu Adalah Sahabatku
‘Hidup di Jakarta itu Serasa Dalam Hutan, Siapa yang Kuat Dialah yang Menang!’
Terpuruk? Apalagi Sebagai Insan Pasca Stroke, Sangatlah Manusiawi!
Bersaksi untuk Indonesia, dari Aku ‘Ordinary Disabled Woman coz of Stroke’
Untukmu Indonesiaku, dari Aku ‘Ordinary Disabled Woman coz of Stroke’ …..
Cacat? Disabilitas? Mimpi Kita Semua Sama, koq!
Tolong Pedulikan Kami: Adakah yang Tahu dan Peduli dengan ‘Toilet Disabled?’
‘Peduli Disabilitas’ : Dunia Berharga Penuh Makna
Sebuah Catatan dari Kaum Disabled
Di Sebuah Kota yang Ramah bagi Warga 'Disabled', seperti Aku .....
Sudahkah Kita Menjamin Aksesibilitas bagi Warga 'Disabled' di Indonesia ?
Warga 'Disabled' Sebagai Asset dan Masa Depan Bangsa : Sebuah Perenungan Diri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H