By Christie Damayanti
Selama kami berwusata di 7 negara Erop Barat selama 1 bulan tahun 2014 lalu, motivasi kami memang berbeda. Kedua anak2ku memang belum pernah ke Eropa, sehingga sejak beberapa tahun lalu mereka mengajak aku kesana, dimana aku harus menabung selama hampir 4 tahun.
Motivasiku sendiri sangat jauh berbeda dengan mereka. Aku sudah 3 kali keliling Eropa Barat, dan ini yang ke-4 kalinya, dimana yang terakhir tahun 2005 lalu aku berada selama beberapa bulan, mengerjakan beberapa pekerjaan disana. Jika ke Eropa memang aku semakin focus untuk mengamati ‘kota tua’ disana, untuk belajar banyak hal, termasuk social budaya nya, yang mungkin bisa beberapa sudut diterapkan di Jakarta.
Perbedaan motivasi inilah yang memberikan ‘warna’ bagi wisata kami. Apalagi anak2ku sudah dewasa, yang aku tidak harus bercerita detail tentang Eropa, dan mereka sudah bisa mencari tahu sendiri dan juga mampu ‘menangkap’ situasi dan aura semangat, untuk mereka bisa membuka pikiran dan dirinya, lebih bisa mempelajari hal2 baru untuk masa depan mereka.
Untukku sendiri, dimulai dengan Negeri Belanda dan Belgia, suasana dan aura sangat berbeda dengan Swiss, Perancis bahkan Italy.
Pertama, karena di Belanda kami benar2 menemukan ‘keluarga baru’ kami, yaitu keluarga Arie Zonjee, dimana keluarga itu benar2 menerima kami sebagai keluarga sendiri.
Kami berada di lingkungan keluarga mereka, di sebuah pulau kecil milik keluarga mereka dengan rumah cantik dan semua cara mereka untuk menjamu kami. Aku merasakan bahwa Negeri Belanda sangat ramah serta suasananya membahagiakan.
Kedua, Negeri Belanda memang adalah negara pertama kami berapa di Eropa, sehingga semangat kami sangat menggebu2. Tubuh kami masih fit, dan uang saku kami pun masih lengkap. Kami masih semangat membara mencoba apa yang kami ingin tahu, terutama dengan anak2ku. Dan Negeri Belanda, kami tinggalkan dalam suasana yang bersahabat.
Lalu negara kedua adalah Belgia. Kami hanya 1 hari disana, dan tidak terlalu merasakan yang mendetail, dibandingkan dengagn Negeri Belanda. Tetapi di Brussels lah, aku baru sadar tentang “salah perhitungan” dengan uang cash Euro ku. Dan dari Brussels lah, aku benar2 mulai kawatir tentang uang saku dan kemungkinan2 yang terjelek dalam wisata ini. Kami meninggalkan Belgia, memang masih bersemangat (terutama anak2ku), tetepi tidak untukku. Mereka belum tahu tentang “salah perhitungan” ku.
Catatan :
Cerita tentang wisata kami di Negeri Belanda dan Belgia, sudah aku buku kan dengan judul “Lima Hari Bahagia di Belanda dan Belgia”, dan sudah aku launching tanggal 20 Desember 2015 di Kalibata City Square, Jakarta.
Di Swiss, kami sempat ke beberapa kota terkenal. Dari Zurich, Luzern, Gunung Pilatus, Gunung Titlis, Engelberg dan Rappenswil. Dan dari Rappenswil, kami mampir ke negara ke-4, yaitu Liechtenstein,dengan 1 kota yaitu ibukta Vaduz.
Kota Vaduz, membuat kami sedikit ‘terheran2’, dengan salah satu negara terkecil di dunia, dan berada di tengah2 negara Swiss yang cantik. Dan anak2ku belajar banyak tentang ini, bahkan juga aku, yang memang belum pernah ke Liectenstein. Untukku sendiri, negara ini merupakan mimpiku, karena aku sampat mendapatkan beberapa surat balasan dari King Franz Joseph II, tahun 1982. Dan negara ini mempunyai komunitas filateli dunia, dengan koleksi2nya yang cantik!
Catatan :
Aku menulis tentang keindahan alam Swiss, juga sudah aku buku kan dengan judul “Cinta yang Tertinggal di Swiss dan Liechtenstein”, dan juga sudah aku launching bersama dengan buku tentang Belanda dan Belgia, tanggal 20 Desember 2015 di Kalibata City Square, Jakarta.
Di Paris, kami merasakan banyak kekecewaan. Selain hujan deras sampai kami kehujanan dan tidak bisa ke tempat2 wisata yang terkenal (kami hanya sempat berfoto di kejauhan dengan hujan lebat di Musee Louvre), juga banyak warga kota Paris yang tidak menghargai kami sebagai wisatawan asing, dan aku sebagai disabled diatas kursi roda.
Begitu juga pengemudi2 taxi yang seenaknya saja tidak memberikan alternatf membayar dengan kartu kredit, sementara karena “salah perhitungan” ku ini, membuat uang cash Euro kami hanya tinggal 30 Euro saja, sementara setiap naik taxi kami harus membayar antara Euro 25 – Euro 35.
Walau kami bisa sempat berada di lantai ke-2 Eiffel Tower, tetapi kami tidak bisa melupakan kenangan cukup buruk di kota Paris. Bahkan ketika Michelle anakku yang kecil ku tanya, apakah jika kita ada kesempatan lagi berwisata ke Eropa, kota pa yang ingin kamu datangi, dan ddia menjawab,
“Asal buka Paris, aja mama …”
Tetapi Paris sempat meninggalkan kenangan membahagiakan ketika kami berkunjung ke Euro Disney Paris, dimana anak2ku benar2 berbahagia dengan permainan2 yang mereka suka, sementara aku hanya duduk di beberapa café, sambil menunggu mereka bermain. Sepuasnya!
Bagaimana dengan negara ke-6 dan ke-7, yaitu Italia dan Vatican?
Karena 2 negara ini bisa dibilang ada dalam 1 negara, membuat anak2ku tidak terlalu mengerti, mengapa Vatican City bisa hanya terdapat Basilica St Pieter, dimana bahkan pembantu para Paus tinggal di beberapa apartemen di Roma, bahkan untuk belanja pun di kota Roma?
Vatican City membuat aku “haru biru” dengan ke-luar biasa-nya Basilia St Pieter, dimana aku meamg sangat mengaguminya, sejak pertama kami aku kesana tahun 1991. Sehingga Vatican City, kutinggalkan dengan kekagumanku yang tidak pernah ada habisnya. Bahkan jika kesana lagi, pasti aku tetap punya rasa “haru biru” ….
Tetapi kota Roma sendiri, untukku merupakan sebuah kota yang sangat magis san “mengerikan”. Berarapa kali kesana, tetapi suasana magis itu terus terasa bahkan beberapa bangunan kuno yang sering dihantui oleh roh2 halus karena kekejaman warga kota Romawi kuno pada jamannya, membuat bulu kuduk ku terus merinding, bahkan hanya membaca cerita yang diulang2 pun, aku tetap akan membayangkan kekejaman kota itu di jaman keemasannya.
Tetapi berbeda dengan anak2ku. Dennis yang masih dengan semangat untuk mengabadikan nya lewat foto, dan hasilnya bagus (aku abadikan foto2nya dengan desain kartupos untuk ditukar, dijual bahkan untuk koleksi2ku), tetapi berbeda dengan Michelle.
Michelle sudah cukup cape, sehingga kota Roma hanya ‘lewat’ saja dimatanya, tanpa banyak bertanya2, sementara selama wisata ini, dia sangat banyak bertanya dan sering aku tidak mampu untuk menjawabnya.
Dan untuk ceritaku tentang Perancis, Italia dan Vatican, akan ku buku kan juga dalam 2 buku, yang akan ku launching di pertengahan tahun 2017 yang akan datang.
***
Berwisata itu bukan hanya sekedar berjalan2 dan bersenang2. Tetapi dalam berwisata ada banyak sisi yang bisa membuat kita belajar tentang sesuatu. Pembelajaran dalam berwisata bersama keluarga, bukan hanya tentang “quality time” dengan keluarga saja, tetapi memupuk kebersamaan serta kepedulian satu sama lain, terutama ketika aku, sebagai mama Dennis dan Michelle berwisata di atas kursi roda.
Dan ketika motivasi2 kami berbeda dalam berwisata pun, mampu memupuk kepedulian dalam berkeluarga. Dan kepefulian2 ini pun bisa membawa pikiran2 kami lebih terbuka, bahwa ada dan banyak sekali orang2 yang (ternyata) tidak peduli sesame, atau (ternyata) sangat peduli, sehingga anak2ku mampu memilah2 mana yang baik dan mana yang buruk, lewat pengalaman nyata.
Hari terakhir di kota Roma ini, malam mari setelah semua barang2 kami beres untuk besok siang kami berangkat pulang ke Indonesia, aku mencoba merenung, betapa luar biasanya Tuhan, yang membawa kami berwisata kali ini, dalam keadaanku yang terbatas diatas kursi roda, serta keterbatasan kami dalam dana, tetapi Tuhan terus dan selalu menyertai kami.
Dan ke-4 buku ku ( 2 buku sudah terbit tahun 2015 dan 2 buku lagi, akan terbit tahun 2017), merupakan kesaksianku, juga tentang keluarbiasaan nya Tuhan, lewat pengalaman yang juga luar biasa, yang mungkin tidak semua orang mengalaminya.
Sebelumnya :
Ritual Kehidupan Perkotaan lewat ‘Foro Romano’, Ternyata Sudah Ada Sejak Abad Sebelum Masehi
Wisata Belanja Kota Roma, ‘Shopping Street’ Tetap Juara!
Trinita dei Monti, Gereja akhir Renaissace yang “Tidak Ramah” bagi Umat Berkebutuhan Khusus
Antara ‘Kota Tua’ Eropa dan Kaum Disabilitas
Benteng Pertahanan ‘Porta San Paolo’, Penjaga Romawi Kuno bagian Salatan
“Piramide di Caio Cestio”, Fungsi Makam Nubia Jaman Romawi Kuno
Hari Minggu, Ibadah dan Wisatawan di Eropa
Arti Para Martir “Tanpa Wajah”, Jam Pasir dan Basilica St Maria dei Angeli di Roma
Basilica St Maria dei Angeli di Roma, Sebuah Gereja “Tanpa Wajah”
Oculus, Sebuah “Mata” Menuju Angkasa bagi Pantheon
Romantisme ‘Trevi Fountain’, Menghasilkan 3000 Euro atau 49 Juta Rupiah Setiap Hari!
“Kamp Penyiksaan” di Sebuah Makam Kaisar Romawi Kuno
Keunikan Nama dan ‘Bangunan Bulat’ Castel Saint’Angelo
Dan ‘Circus Maximus’ pun Tetap Diam Seribu Bahasa …..
Suasana Magis dan Erotis “Circus Maximus” di Kota Roma
Dentang Lonceng di ‘Basilica Santa Maria Maggiore’
“L’Arco di Constantino”, Sebuah Gerbang Saksi Sejarah Besar
Romantisme ‘Teatro di Marcello’
‘Tampio di Vesta’ : Kuil Pemujaan di Roma Modern
Sejarah Terkelam bagi Arsitektur Dunia lewat ‘Colosseum’
“Setan” itu Berjubah Rakyat Romawi di abad Sebelum Masehi
‘Catacombe’ Jaman Kekaisaran Roma : Lorong Bawah Tanah Tempat Jenazah yang ( Katanya ) Teraniaya
Ketika Singa-Singa itu Mencabik-cabik Mereka, dan Gladiator itu ‘Menghabisi’ Lawannya …..
Cerita Roh-Roh Bergentayangan di Seputar Colosseum
Konsep Tata Kota Roma, ‘The Ancient City’, dalam Arstektur Klasik dengan Special Lightingnya
“Basilica St.Pieters” : Gereja Terbesar dalam Sebuah Negara Terkecil di Dunia
Selamat Datang di ‘Vatican City’
Fontana del Tritone : Dewa Luat ‘Menguasai’ Kota Roma
Piazza Barberini, Hotel Bernini, dengan Segala Fasilitas Arsitekturnya
“La Botte Rome”, Italiano Restorante
Mengeksplore Roma, Mulai dari ‘Sistina Rue’
Bandara Dunia, ‘Leonardo da Vinci’, Aku dan Kaum Disabilitas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H