By Christie Damayanti
Bus kami melaju lagi...
Selama perjalanan, banyak sekali titik-titik wisata yang kami lewati, tetapi tidak mungkin kami menelusuri semuanya. Waktunya hanya 3 hari full di Roma dengan 1 hari kedatangan (datang jam 2 siang, hanya berjalan-jalan sekitar Sistine Rue) dan 1 hari persiapan pulang (pesawat jam 1 siang menuju Indonesia, dan tidak mungkin berjalan-jalan lagi). Dengan puluhan titik wisata, memang mungkin  2 atau 3 minggu di Roma, jika ingin menelusuri semua titik wisatanya...
Tetapi di sela-sela kemacetan, biasanya kami bisa turun di beberapa titik wisata, tapi memang tidak bisa sesuai yang kami mau. Karena di titik wisata yang top, pasti terlalu penuh, akibatnya sama saja bohong, jika kita hanya melihat kerumunan wisatawan, bukan obyek wisata nya sendiri.
Dikemacetan siang itu di Roma, ku melihat sebuah amphiteater, seperti miniatur Colosseum. Aku mencari tahu amphiteater ini lewat headphone yang terus berputar sesuai dengan titik-titik wisatanya. Namanya Theatre Marcello. Amphiteater Marcellus atau Teatro di Marcello.
Cantik juga, seperti ½ Colosseum, dan benar-benar seperti Colosseum jika melihat dari depan, tetapi ternyata amphiteater ini hanya seperberapanya Colosseum, dan waktu zaman itu pun hanya untuk menonton pertunjukan drama dan musik, pun ternyata sampai sekarang Teatro di Marcello masih dipakai oleh pertunjukan drama dan musik.
Dimensi Teatro di Marcello seitar 111 meter diameter, ternyata waktu zaman itu merupakan teater terbesar di Roma kuno, mampu menampung antara 11.000 sampai 20.000 penonton. Arsitekturnya hampir sama dengan arsitektur Colosseum dan struktur dan konstruksinya dari batu-batu, dengan pola yang disebut opus reticulatum. Dilapisi oleh batuan travertine berwarna putih. Travertine adalah batuan yang lebih muda dari marmer, dan yang paling murah. Tingkatan yang tertinggi adalah granit, lalu marmer dan terakhir travertine.
Tiang-tiangnya sangat simple, kolom Doric di lantai dasar dan kolom Ionic di lantai atasnya. Seharusnya di lantai atasnya menggunakan kolom Corinthian, tetapi ketika bangunan ini dipugar pada zaman Abad Pertengahan, lantai teratas dihapus, untuk tempat duduk, termasuk tiang-tiangnya, entah karena apa.
***
Kami berjalan keliling teater ini. Cantik. Menurutku justru lebih cantik dibanding dengan Colosseum, yang membayangkannya saja aku sudah bergidik, karena banyak darah yang mengalir disana. Teatre di Marcello lebih semarak dengan suasana syahdu dan samar-samar terdengar musik klasik disana.