Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Panen Air"

2 Maret 2016   15:05 Diperbarui: 2 Maret 2016   15:13 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

By Christie Damayanti
www.thnklink.com

Sebelumnya :

‘Saluran Air Kota’ : Antara Fungsi dan Estetika

Drainase diartikan secara umum adalah tempat pembuangan air permukaan. Jika terjadi genangan air, seharusnya tidak perlu terjadi, karena mendesain drainase berarti mencakup desain komprehensif perkotaan.

Bahwa kemiringan lahan sekian derajad harus menuju lubang pembuangan (got, gorong2, drainage). Karena jika kemiringan lahan justru terbalik, alhasil fungsi drainase gagal. Sehingga konsep urban dan city planning, termasuk detail seperti itu.

Drainase perkotaan berfungsi untuk mengendalikan kelebihan air permukaan, sehingga tidak menggenang dan justru member manfaat bagi warga kota. Kelebihan air permukaan jika di perkotaan adalah air hujan, apalagi resapan perkotaan (Jakarta) sangat sedikit karena ruang terbuka hijau (RTH) sangat sedikit. Tetapi air permukaan bisa juga dari limbah domestic (rumah tangga) dan limbah industry (yang biasanya langsung disalurkan ke sungai2). Sehingga, drainase perkotaan harus terpadu dengan sanitasi sampah dan pengendali banjir.

Tetapi kita tahu bahwa Jakarta sedang giat2nya membangun. Justru pembangunan besar2an inilah yang semakin mengurangi daerah resapan air. Ruang terbuka hijau ditutup oleh beton dan perkerasan, sehingga air permukaan semakin ‘bingung’, akan kemanakah mereka?

Banyak sekali kawasan2 di Jakarta beralih fungsi sebagai pemukiman liar, tempat parkir bahkan ada yang sampai membangun gedung besar, diatas tanah negara yang sedianya untuk lahan peresapan! Dan itulah yang harus di tengerai jika kita mau Jakarta menjadi tempat hidup dan berlindung yang nyaman bagi warga kota.

Kondisi inilah yang akhirnya meningkatkan air perkotaan (karena air tidak bisa mengalir dengan baik dalam saluran2 drainage), sehingga semakin tinggi genangan2 air, apalagi hujan tuun terus menerus. Sehingga untuk mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan drainase berwawasan lingkungan.

Sebenarya prinsip dasarnya adalah sama, yaitu untuk mengendalikan kelebihan air permukaan, untuk mengalirkan air yang terkendali dan memiliki kesempatan lebih untuk meresap kedalam tanah. Dimana sebenarnya, air hujan seharusnya bisa langsug meresap ke dalam tanah, sehingga perhitungan drainase pun tidak sebesar itu, untuk air limbah. Dan lebih efisien lah costnya!

Drainase berwawsan lingkungan memang harus terpadu yang merupakan system rangkaian dari hulu sampai hilir, dimana secara maksimal menyalurkan air permukaan kearah sungai, danau ataupun laut, selain diserap oleh tanah. Tidak dialirkn secepat2nya, justru ditahan dahulu untuk air permukaan itu meresap ke dalam tanah, melalui tandon2 resapan. Kolam tendon, biopori atau bangunan2 resapan lainnya.

Mengapa harus berlambat2 untuk mengalirkan air?

Ya ….. karena untuk Jakarta, bahkan untuk sebagian besar kota2 di Indonesia yang padat dalam membangun, semakin minimnya persediaan air tanah, sehingga kita peril ‘memasukkan’ air permukaan ke dalam tanah. Dan ini termasuk untuk perbaikan lingkungan.

Cara efektif untuk pembangunan drainage berwawasan lingkungan adalah biarlah warga kota merasakan semakin berkurangnya air tanah, dan semakin mahalnya air berbayar (PAM). Tetapi bukan itu yang kita inginkan, bukan? Karena ketika air tanah sekamin sedikit dan mahalnya air berbayar, tentu bukan solusi yang baik. Dan warga kota menengah ke bawah lah yang paling merasakan dampaknya.

Warga kota, mulai ‘menabung’ aktif di kolam2 tandon milik sendiri. Menampung air hujan, mengalirkan air hujan di lingkungan sendiri, membuat tanah2 resapan di lingkungan sendiri. Dan sumur resapan adalah solusi termurah! Dengan hanya menggali sumur resapan berdiamerter sekitar 1 meter, dan bisa sampai kedalaman 5 meter.

Itu bagi warga kota yang masih mempunyai lahan yang bisa untuk menggali sumur. Lalu bagaimana jika di perkotaan pada dimana untuk perkir kendaraan pun tidak bisa bahkan di lingkungan padat penduduk?

Untuk pemukiman2 seperti ini, justru pemda hanrus meremajakan daerah ini, seperti Kalijodo, dimana justru pemukiman padat itu tibongkr untuk dibangun ruang terbuka hijau dan paru2 kota, serta dibangun segala fasilitas untuk perbaikan lingkungan.

 

www.sumurresapan.wordpress.com

Gambar diatas, jika tanah cukup luas sehingga bisa tidak hanya 1 sumur resapan, tetapi bisa banyak sumur resapan, supaya memanen airnya semakin banyak.

 

www.urbanaillinois.us

Jika pekarangan tidak terlalu luar, untuk sumur resapan modern. Tidak menggali dan dijual sudah berupa tabung dengan ukuran2 tertentu.

Untuk perumahan kelas mangneah ke atas, tidak bermasalah, apalagi mereka biasanya memakai jasa arsitek yang bisa mendesain lingkungan yang nyaman, termasuk untuk perbaikan lingkungan. Arsitek berwawsan lingkungan itu, termasuk dalam arsitek ekologis.

 

www.umarcivilengineering.blogspot.com

Gambar diatas jika perumahan menengah atas, koordinasi dengan manajemen membangun kolam tendon, ditambh lagi di tiap2 rumah membangun sumur resapan.

Lihat tulisanku ‘Arsitektur Ekologis’, Mendukung Perbaikan Jakarta

Mereka juga bisa mengkombinasikan penggunaan sumur resapan dengan bangunan2 drainase yang lain, seperti kolam2 resapan. Tentu mereka mempunyai lahan yang cukup untuk membangun kolam resapan. Dan yang terpenting adalah, warga kota benar2 ingin memperbaiki lingkungannya, agar semain banyak air terserap ke dalam tanah.

Sebagai arsitek, aku banyak mengalami permasalahan2 yang berhubungan dengan keinginan pemilik rumah. Mereka mempunyai dana untuk mendesain apapun yang merea inginkan. Dan banyak dari mereka ternyata sangat egois dengan keinginan mereka.

Mereka hanya ingin kebutuhan mereka tercukupi tanpa mau ikut memperbaiki lingkungan. Desain yang aku buat adalah sebagai arsitek humanis dan sesuai (minimal) dengan peraturan. Tetapi pada kenyataannya mereka ‘bablas’, tanpa ada peresapa kecuali taman kecil di depan rumah. Semua diminta di beton, untuk kebutuhan kegiatan mereka.

Jika aku tau arsitek yang lain, tetap menginkan proyek itu, alhasil, ‘proyek perbaikan lingkungan’ itu tidak terlaksana. Yang ada, justru menambah permasalahan lingkungan. Dan aku sebagai arsitek sudah menyalahi ‘kode etik’ arsitek berwawasan lingkungan!

***

Peran sumur resapan, atau kolamresapan atau bengunan2 resapan yang lain, diharapkan semua bangunan itu melaksanakannya. Jika semua warga kota ikut serta untuk perbaikan lingkungan, pemerintah tinggal membangun drainase-drainase berwawasan lingkungan dari hulu ke hilir, membantu air permukaan yang belum terserap. Dan membantu mengurangi masalah kekeringan jika musim kemarau.

Tidakkah itu indah?

Warga kota menabung air di musim hujan, dan memakai air di musim kemarau.. dan ujungnya kita mampu bergerak bersama untuk kesejahteraan bersama ……

Mari MEMANEN AIR ……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun