[caption caption="Sumber Gambar: Dokumentasi pribadi"][/caption]Hari itu cukup membuat kami lelah. Berkeliling kompleks Notre Dame Cathedral, walau tidak bisa mengikuti misa karena tidak dapat tempat duduk dan di Trocadero, tempat trategis untuk berfoto dengan latar belakang Eiffel Tower. Menghapus kenangan cukup jelek tentang Paris, di hari pertama. Dan ini adalah hari ketiga .....
Sekitar jam 8 malam walau masih sangat terang dan matahari cukup hangat menusuk kulitku setelah gerimis dan mendung berat mengiringi langkah kami dari Trocadero. Kami mempelajari peta untuk pulang ke hotel setelah mampir makan mala di area sekitar hotel.
Kami ingin mencoba mengendarai bus, sehingga kami mempelajari peta Paris. Ditambah Lucy sahabatku, mau mengantar kami sekalian makan siang. Ditambah lagi, kami memang meminjam uang cash selama di Paris dan berjanji mengembalikannya dan dikonversikan dalam Rupiah.
Bus itu memang nyaman termasuk untuk disabled berkursi roda seperti aku. Konsepnya sama dengan ketika kami di Amsterdam. Supir bus di Paris dengan sigap membuka lempeng besi untuk ramp kursi rodaku naik ke dalam bus, dan dengan sigap juga menutup lempengan besi ramp itu dan memasukkan lagi ke dalam bus untuk digunakan lagi jika aku atau siapapun butuh bantuan, untuk turun dari bus.
Hujan gerimis turun lagi. Langit yang sebelumnya terang benterang, seketika berubah menjadi kelabu lagi. Dari Notre Dame Cathedral untuk ke hotelku melewati area China Town, memang cukup jauh. Paris sama saja dengan Jakarta, macet dimana2. Paris pun sama dengan Jakarta, dengan mobil2 yang sering menyerobot kesana kemari. Sehingga jika ditanya jarak dari A ke B, bukan jauhnya, tetapi lebih kepada macetnya. Jadi dari Notre Dame ke hotelku, melewati area China Town, memakan waktu sekitar 45 – 60 menit.
Sampai China Town, kami turun dan sedikit berjalan 2 blok, dan kami masuk ke sebuh restoran Laos.
Jika ke luar negeri, kami memang lebih memilih restaurant Vietnam dibandingkan dengan retauran China. Mengapa? Karena, pertama kami memang lebih menyukai rasa makanan Asia selain dari pada China, karena bumbu2nya lebih lembut dan terasa lebih segar. Apalagi makanan2 yang berkuah dengan taoge2 besar yang mentah dengan daun mint nya. Serta bumbu khusus dari selain China, yang tidak ada duanya.
Kedua, karena makanan China di Indonesia sudah cukup banyak, maka jia di luar negeri aku lebih memilih makanan Asia yang lain. Yang kami suka adalah Vietnam, walau kadang2 aku memilih makanan kari Laos, Kamboja, India atau Malaysia.Dan restaurant Laos yang kami masuki adalah rekomendasi dari Lucy, yang juga mengantarkan kami dan ingin makan bersama kami juga.
Restauran2 disana cukup penuh. Karena memang jam makan. Sekitar jam 8.30 malam dengagn langit kelabu semu terang, dan gerimis tetap rintik2, kami berjalan (aku di dorong di kursi roda) menyusuri pedestrian.
Bangunan2 tua khas Paris pun sangat spesifik. Tidak ada kanopinya dan tampak depan sangat datar dan rata. Sehingga kami menyusuri pedestrian dengan tertatih2 bersama hujan rintik2. Kami pun menutup kepala kami masing2 dengan sapu tangan, atau syal atau jakit, supaya kami tidak pusing. Dan ketika kami masuk ke restaurant Vietnam yang kami incar, ternyata restaurant tersebut penuh. Sehingga kami harus keluar dulu karena ruangannya terlalu sempit.
Untung rintik hujan semakin menurun, sehingga kami bisa duduk dengan tenang di teras restaurant, menunggu ada meja untuk makan …..
Di depan restoran itu, ada seorang Perancis tua dan membawa seekor anjing Pug putih. Mataku langsung tertuju padanya dan mengelus2 anjing itu. Anjing itu diam saja dan manja, apalagi ketika Michelle mengelusnya juga. Kutersenyum kepada si pemiliknya, tetapi dia tidak mengerti Bahasa Inggris, sehingga kami hanya ‘berbicara’ dalam bahasa isyarat. Tetapi yang aku tahu, bahwa kami sama2 mencintai anjing …..
***
Mungkin sekitar 30 menit kami baru dipanggil masuk ke dalam. Suasana hiruk pikuk. Restauran Laos itu sangat kecil dan sempit. Khas resto2 di luar negeri, yang tidak dikatagorikan sebagai resto mahal. Tetapi tetap saja, 4 orang makan malam disana , kami harus membayar sekitar Euro 65. Ruangannya sangat sederhana dengan furniture yang fungsional. Tidak ada hiasan2nya, kecuali beberapa poster2 tentang makanan dan berbahasa Laos.
Deretan meja dan kursi pun sembarangan. Tidak diatur dengan baik, bahwa sangat sembarangan tanpa mengindahkan konsep berjalan atau dimensi manusia. Bahkan aku sangat kesulitan, ketika aku harus melangkah diantara kursi2 yng sangat sempit.
Tubuhku sih tidak besar, bahkan cenderung kurus. Tetapi karena aku lumpuh ½ tubuh, aku tidak bisa mengontrol tubuh kananku yang lumpuh, sehingga ketika tubuhku mamu ‘masuk’ diantara space yang kecil, tetapi tubuh kananku tidak bisa dikontrol, sehingga tubuh kananku harus ‘dilenturkan’ oleh orang lain (dalam hal ini adalah anakku), untuk bisa masuk ke space itu. Sehingga, untuk aku sampai ke pojok ruangan tersebut, aku harus mengeluarkan tenaga dan energy yang cukup lumayan …..
Kami memesan daging panggang garing dan merah. Dengan nasih dan mie. Tetapi kami juga memesan makanan pembuka yang luar biasa lezatnya!
Makanan pembuka itu adalah lumpia khas Laos dengan saos cabe asam. Lumpia itu berisi daging giling dan udang. Digoreng dengan bumbu2 khas Laos, dan dibaluri tepung roti. Tidak termali lama yang mengakibatkan gosong, dan ketika lumpia itu masuk ke dalam mulut kita, …… hmmmmmm, yummyyy …… rasanya lezaaaattt sekali, kulit lumpia nya ‘krius krius’ gurih dicocol saos sambal yang asam …… nikmat sekali!
Daging panggang nya pun sungguh lezat. Bumbunya tidak sama dengan daging panggang di Jakarta. Sepertinya baru dipanggang, karena ketika masuk mulut kami, dagingnya seperti ‘meleleh’ dari panas ….. waaaaaa …… enaknya ……
Kami pun memesan minuman2 Asia. Ada es cendol, es kelapa dan es campur, khas Laos. Rasanya tidak terlalu beda dengan es cendol dan es kelapa di Indonesia, tetapi es campurnya hanya beberapa buah putih saja.
Yang jelas, cukup mengobati kerinduan makanan dan minuman yang sering kami konsumsi di Jakarta. Dimana ketika kami berada di Paris, yang notebene menurut kami sangat tidak bersahabat untuk kami, kami ingin dimanjakan oleh Indonesia. Untung ada Lucy, sahabat Indonesia ku yang tinggal di Paris. Dan Lucy membawa kami ke makanan2 dan minuman2 yang memanjakan kami dengan selera Indonesia. Dan kami cukup terhibur, dimana selama 3 hari di Paris hanya makan makanan2 Eropa …..
Hari itu adalah hari ketiga di Paris dari tanggal 26 Juni dan hari itu aadalah tanggal 29 Juni. Besoknya adalah tanggal 30 Juni,hari terakhir di Paris, dan langsung menuju Roma di Italia. Tetapi hari terakir besoknya adalah mungkin akan hari yang paling membahagiakan bagi kami. Mengapa?
Karena besoknya, kami akan ke Disneyland ….. Euro Disney Paris, sebuah tempat yang sangat membahagiakan bagi semua orang ……
Tunggu ceritaku di Euro Disney Paris, ya …..
***
Sebelumnya :
Romantisme ‘Palais Garnier’, Tetap Menunggu …..
‘Dingin’ dan Syahdu lewat Sapaan Tuhan di Notre Dame Cathedral
Cerita “Pengadilan Terakhir”, Terekam Kuat pada Pintu Masuk Notre Dame Cathedral
Dari Trocadero dengan Taxi, Menyusuri Seine River, Menuju Notre Dame Cathedral
Romantisme Paris Justru dari Kacamata yang Berbeda
Cantiknya Place du Trocadero, “Terjajah” karena Eiffel Tower
‘Arc de Triomphe’ : Kisah Romantisme dan Kepahlawanan
Eiffel Tower ‘ala’ Disney di Champs Elysees
‘Artère commerçante’ [Shopping street] des Champs Elysées
Menunggu Teman vs ‘Menunggu’ Jawaban Tuhan …..
‘Bon Appétit’ : Pizza Mix Mozzarela ala Vesuvio Café di Champs Elysees
The New Eiffel Tower : Mari Kita ‘Melayang’ ……
Indahnya Dunia dari ‘Kepakan Sayap Nya’ …..
‘Kemenangan’ Sebuah Teknologi di Eiffel Tower
Eiffel Tower dan [Toilet] Kaum Disabled
Eiffel Tower yang ‘Cukup’ Bersahabat …..
‘Romantisme’ Kota Paris [dan Jakarta] …..
‘The Pompidou Centre’ : Bangunan Unik karya Kenzo Piano, Arsitek Favoriteku
Le Fumoir Café yang “Istimewa”
Untuk Sekian Kalinya, Tuhan Menolongku …..
Hujan Deras, Kedinginan, Tidak Ada Taxi, Uang ‘Cash’ Menipis
‘Le Louvre Museum’ : Kolaborasi Klasik dan [Super] Modern
Sekilas Pandangan Mata Kota Paris
Paris yang Mendung dalam Romantisme …..
Romantisme tentang Paris, Tumbuh dan Berkembang Lewat ‘Jardin Notre-Dame’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H