Dokumen pribadi
Sebelumnya :
“Sahabat Christie” dalam Komunitas http://charity.christiesuharto.com
Kami berjalan ke ruangan-ruangan kelas. Diawali ke ruang makan dan dapur. Tempat makan bersama dan dapur tempat belajar memasak, dalam mata pelajaran tata boga.
Ruang makan itu cukup besar. Bisa menampung puluhan orang, walau sepertinya tidak seluruh penghuni panti ini bisa makan bersama di satu saat. Tetapi dengan meja-meja panjang dan kursi lipat itu, membuat suasana ruang makan menjadi cukup akrab. Sekalian ruang ini untuk mereka, kaum tunagrahita belajar menyiapkan makanan, memasak, serta membersihkan makanan dan ruang makan.
Beberapa dari ‘mereka’ sedang membereskan kursi-kursi, dan menyiapkan piring-piring makan. Beberapa orang membereskan kursi-kursi untuk makan. Aku menyapa mereka, tetapi sepertinya mereka mengabaikan. Mungkin karena mereka termasuk yang introvert dan malu, apalagi aku adalah ‘orang asing’ bagi mereka.
“Tidak apa-apa”, kata hatiku.
Aku tetap menyapa mereka, menepuk pundak mereka dan tetap tersenyum. Kadang mereka hanya sekedar membalas senyumanku, atau juga ada yang hanya melengos.
Aku bersama tim DNIKS serta beberapa pengurus dan beberapa guru berjalan lagi. Aku menuju sekelompok anak-anak perempuan sedang menghitung uang serta mencatat. Aku menghampiri mereka dan bertanya,
“Wahhhhh… dapat banyak uang ya? Jualan apa?”
Anak perempuan itu menjawab,
“Jualan jus buah. Teman-teman pesan. Tante mau pesan juga?”
Aku tersenyam. Kata seorang guru, mereka sudah dewasa, lebih dari umur sekolah. Lebih dari 20 tahun. Tetapi mereka baru belajar untuk awal perjuangan untuk masa depan mereka. Mereka diajarkan membuat jus buah. Ada alpukat dan jambu. Dan pemesanan dari teman-teman mereka lebih menyukai alpukat. Mereka menjual Rp 5000,-/gelas.
Aku memesan jus alpukat. Mereka jingkrak-jingkrak mendengar pesananku, dan aku trenyuh sambil tersenyum.
Bayangkan... Cuma sekadar jus alpukat seharga Rp 5000,- mereka jingkrak-jingkrak dan memelukku. Ya… Selvi juga yang ‘memimpin’ penjualan jus ini, dan dialah yang memelukku. Apakah kita ‘tega’ untuk tidak membantu mereka dengan cara pemberdayaan?
Kuncinya adalan tetaplah tersenyum…
Tetaplah memandang mereka dengan kasih…
Tetaplah ‘menyentuh’ mereka lewat hati yang peduli...
Dan mereka akan membalasnya lewat sinar matanya yang penuh bahagia…
***
Kami terus berjalan menuju dapur. Disana ada beberapa anak yang sedang membuat jus dengan guru mereka. Ada juga yang sedang membuat kue cubit, yang juga didampingi oleh gru mereka yang lain. Suasana disana, seperti suasana di dapur pada umumnya. Asap, panas dan berisik, karena mereka melakukan pekerjaan itu sambil bercanda dan tertawa. Lagi-lagi, Selvi-lah yang menjadi ‘bintangnya’ …..
Selvi menggoda teman-temannya. Dia mengatakan kita akan dijamu oleh jus buatan mereka. Lalu mereka tertawa-tawa. Tawa mereka bukan tawa yang jaim. Tawa mereka adalah tawa lepas, dari hari mereka. Tetapi justru tawa mereka menyejukkan hatiku. Justru aku semakin trenyuh. Ketika aku membayangkan, bagaimana hidup mereka jika kita tidak membantu mereka? Siapa yang akan membantu mereka? Secara mereka di umur antara 20 sampai 50 tahun, tidak bisa mengasilkan ‘hidup’, tanpa bantuan…
Aku menghampiri mereka yang sedang membuat kue-kue untuk dimakan. Baunya tercium enak. Aku tersenyum dan menyapa mereka,
“Haaiiiii… Masak apa kalian? Tante lapar nih… Nanti boleh tante coba untuk makan?” kataku.
Ternyata anak2 yang sedang memasak itu, termasuk yang introvert dan membuat sapaanku tidak terjawab, kecuali hanya senyuman. Tetapi aku tidak putus asa. Aku tetap bertanya-tanya, apa yang mereka lakukan. Memasak apa, kue apa, susah ga membuatnya, dan pertanyaan-pertanyaan yang sebearnya ‘basa basi’ bagi orang-orang normal, tetapi tidak buat mereka.
Yang aku tahu jika seseorang menutup dirinya sendiri, termasuk yang menderita ‘tuna’, kita harus berusaha ‘membuka’ dirinya untuk bisa berinteraksi. Seperti aku dulu, ketika aku terserang stroke. Ketika itu, dokterku berusaha untuk berinteraksi dengan ku, dimana saat itu pikiranku baru sadar tentang penyakit yang aku derita.
Aku tahu waktu itu, bahwa dokter berusaha untuk bisa ‘melihat’ keadaanku lewat perasaan / hari. Puji Tuhan, aku masih diberikan pemikitan yang normal, sehingga aku berusaha untuk tersenyum dan ‘berbicara’ dengan hati (karena waktu itu aku tidak bisa berbicara).
Dan di Asih Budi, aku akan bersuaha untuk bisa berinteraksi dengan mereka dengan baik…
Cukup lama kami berada di dapur. Aku sungguh ingin bisa membantu mereka. Jadi, ketika ‘inspirasiku’ terus mengikuti aku, Selvi, dan dia memelukku, spontan aku menciumnya dan dia terliat sangat senang. Puji Tuhan…
Inspirasi itu ada dimana-mana. Inspirasi itu datang dari mana saja. Inspirasi itu justru datang dari orang-orang yang tidak terpikir kita tahu. ‘Mereka’ itulah yang menyalakan api inspirasi dalam hatiku. Dan ‘mereka’ adalah inspirasi-inspirasi yang terpendam …. Dan ‘mereka’ adalah mutiara-mutiara kasih, yang bisa kita bantu lewat segala hal …..
Bersambung …..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H