By Christie Damayanti
Pizza mix mozzarella, pesananku ala Café Vesuvio, Paris …. Yummyyyyyy ……
Kami sudah kelaparan, ketika kami keluar dari taxi yang menurunkan kami di ujung jalan Champs Ellyssee, depan Arc de Triomphe. Ditambahkan lagi, bau masakan di cafe2 yang berada di sepanjang jalan ini. Bermacam2 jenis cafe ada disana, dan sekitar 20 meter dari kami turun tadi, ada sebuah cafe pizza, langgananku, selama aku 2 bulanan tinggal di Paris untuk sebuah tugas pekerjaan beberapa tahun lalu.
Cafe Vesuvio Pizza. Terletak di Champs Ellysee, Paris, sekitar 50 meter dari Arc de Triomphe
Tampak depannya tidak berubah, sejak terakhir aku kesana tahun 2006. Merupakan restoran ala dan dari Italia, yang sudah berada di banyak kota di Eropa, termasuk di Paris ( Di Paris sendiri ada lebih dari 5 café Vesuvio ini, termasuk di Champs Ellyssee ). Di dominasi warna merah, cafe ini cukup mencolok dibandingkam cafe2 disekitarnya. Suasananya pun tidak terlalu formil, walau tatanan interiornya sangat klasik. Khas Perancis, dengan juga latar belakang musik klasik Paris .....
Sepanjang jalan Champs Ellyssee ini sepertinya mempunyai aturan tatakota yang menarik. Dengan pedestrian yang besar, sampai belasan meter di sisi kanan dan kirinya, membuat jalan ini nyaman untuk sekedar berjalan2, bermain vahkan hanya untuk makan soang diluar cafe atau restoran, karena banyak sekali bench2 ( tempat duduk taman ) yang bisa digunakan untuk setiap pejalan kaki yang ada disana.
Lalu, cafe2 dan restoran2 itu selalu menambahkan tampak muka bangunan mereka ( seperti teras ) sampa 2 atau 3 meter. Bahkan, di bebetapa cafe, merela mempunyai "island" untuk konsumen, dan didesain sepwrti interior yang utama. Cantik. Menarik dan khas Paris, dengan kanopi berbahan tenda, yang sekarang sedang 'in' di kalangan cafe2 di Jakarta.
Café Vesuvio dengan ‘island’nya ( Café Pasta Pizza ), di tahun 2006 dan tahun 2014, tidak berubah …..
Yang aku tahu, ketika beberapa kali aku masuk ke beberapa cafe dan restorang disana, justru konsumen lebih memilih duduk di teras atau 'island' nya, dibanding dengan duduk di bangunan utama. Itu karena mereka lebih suka berada di udara terbuka walau dingin (apalagi jika matagari bersinar cerah, untuk 'menggosongkan' kulit mereka) dan juga lebih suka melihat pemandangan di sekitarnya.
Kami pun masuk kedalam. Ingin duduk di teras atau di 'island', sudah terlalu penuh dan waktu itu angin berhembus cukup keras dan suhu udara masih dibawah 12 derajat Celcius. Masih cukup dingin untuk kami, apalagi hujan shower masih terus turun.
Anak2 sedikit bingung untuk memesan pizza. Mengapa? Karena pizza di Eropa tidak seperti pizza di Indonesia. Ukurannya sangat besar dan 1 pizza adalah 1 porsi untuk 1 orang dewasa, diantar tanpa dipotong2. Bisa sih, jika minta dipotong2, tetapi aku katakan kepada anak2ku,
"Kalian coba aja deh, 1 porsi pizza untuk 1 orang. Jangan pesan 1 pizza saja, pasti kalian nyesel. Pizza ini enak sekali!"
Ya, aku memang salah satu penggemar pizza. Jika rasa pizza di Jakarta sudah disesuaikan dengan lidah Indonesia, aku lebih suka rasa pizza asli dari Italia. Di Perancis, rasa pizza nya memang juga berbeda dengan rasa pizza asli dari Italia, tetapi dengan bumbu2 yang tidak adq di Indonesia, membuat rasa pizza di cafe inipun berbeda dengan pizza yang sering aku beli di Jakarta. Dan keju yang aku bebar2 suka, sangat berbeda. Walau sama2 keju mozzarela, rasanya cukup berbeda .....
Anak2ku dengan pizza2 nya …..
Kami memesan 3 rasa pizza untuk kami bertiga. Dengan 1 botol air moneral bersoda untukku dan 1 botol Coca Cola dan 1 botol Sprite untuk anak2ku, sungguh makan siang ini menjadi sempurna! Dengan ditemani 2 anakku tercinta, di kota 'romantis' Paris dan dengan harga yang tidak terlalu mahal, adalah “harga” yang luar biasa dan tidak akan terbayarkan! Ini adalah salah satu mimpiku terakhir aku di Paris, sendirian, tanpa orang2 yang mencintaiku dan yang aku cintai ......
Harga 1 porsi pizza cukup tebal berdiameter sekitar 40 cm lebih, antara 10 Euro sampai 14 Euro, tergantung toppingnya. Dan …. hmmm ..... jika dikonpensasikan dengan pizza di Jakarta dengan ukuran family seharga sekitar 100 ribu dengan topping terbaik dan tambahan pinggiran terenak menurutku, rasanya dari segi harga, tidak terpaut terlalu jauh. Tetapi pengalaman mencicipi pizza berdiameter 40 cm dengqn topping dan rasa yang tidak ada di Jakarta, membuat aku dan anak2ku excited, dan cacing2 di perut kami semakin ramai berbunyi, hihihi .....
Aku memesan pizza dengan topping full keju mozzarella dengan beberapa bahan makanan seperti tahu, daging, sosis dan sebagainya, yang dipanggang. Pesanan Dennis hanya keju mozzarella tanpa bahan yang lain. Michelle memesan pizza keju biasa ditambah telur ceplok setengah matang diatasnya. Hmmmmm …… bau keju yang dipanggang benar2 membuat kami tidak tahan untuk memakannya. Begitu kami mendapatkan pizza pesanan kami di meja, langsug kami melahpnya, setelah berdoa, untuk kesehatan kami.
Pizza2 pesanan anak2ku ….. bisa dibayangkan kelezatannya ??? Besar dan tebal, penuh dengan keju …… Yummyyyyy ……
Bon appétit …….
Kami memang sengaja berlama2 makan siang disana. Sambil menikmati suasana bahagia, serta meresapi rasa pizza kami, kami juga sekalian menunggu waktu jam 3 siang untuk bertemu dengan temanku, Lusi. Tante Lusi, anak2ku memanggilnya, di seberang café Vesuvio ini ( seberang jalan ).
Telur ceplok setengah matangnya, masih mengalirkan kuning telurnya …. Wew, enaknya ……
Rasa pizza kami memang benar2 luar biasa! Sepertinya tidak berubah dengagn yang terakhir aku makan disini. Enak, yummy! Panas2 sampai hangat, keju mozzarella ku masih berbentuk cairan dan rasanya di lidah, duuhhh ….. tidak bisa aku katakan! Kalau dihitung kadar kolesterolnya, pasti sudah melampaui batas tubuhku! Tetapi untuk wisata keEropa kali ini, aku sudah mempersiapkan ‘senjata’ sejak dari Jakarta, periksa dokter pribadiku dengan segepok obat2an dan vitamin2 yang mungkin aku butuhkan, sebagai insan pasca stroke.
Kekenyangan, pastinya! Bahkan aku tidak habis 100%, tetapi tidak dengan anak2ku. Sambil meminta petugas café untuk membungkus pizzaku, kami tetapi duduk kekenyangan, apalagi masih ada waktu sekitar 20 menit untuk bertemu Lusi. Dan akhirnya, kami keluar dari Café Vesuvio, dengan dada lapang kebahagiaan, perut kenyang karena pizza dan pikiran excited untuk kegiatan2 yang baru …..
***
Makan siang, atau makan apapun, merupakan mediaku untuk bertemu dengan anak2ku, termasuk di Jakarta. Karena semuanya sibuk dengan kegiatan masing2, makan malam adalah media bertemu dengan mereka dan mamaku setiap hari.
Juga jika sedang berwisata. Jam2 makan adalah media untuk berbicara sambil tertawa2 serta menyusun kegiatan2 berikutnya. Dan makan akan membuat perit kita kenyang, sekaligus jika ada perselisihan antar kita, akan menjadi ‘hilang’ tak berbekas setelah kenyang. Karna pada dasarnya, kita semua adalah saling mengasihi, dan hanya ada sebuah kesalah-pahaman, yang dapat diselamur jika berada di sebuah tempat untuk makan bersama ……
Café Vesuvio, tunggu kami akan datang kesna lagi ….. lagi ….. dan lagi ……
Sebelumnya :
The New Eiffel Tower : Mari Kita ‘Melayang’ ……
Antara ‘Kepedulian’ dan ‘Ketidakpedulian’ di Paris
Indahnya Dunia dari ‘Kepakan Sayap Nya’ …..
‘Kemenangan’ Sebuah Teknologi di Eiffel Tower
Eiffel Tower dan [Toilet] Kaum Disabled
Eiffel Tower yang ‘Cukup’ Bersahabat …..
‘Romantisme’ Kota Paris [dan Jakarta] …..
‘The Pompidou Centre’ : Bangunan Unik karya Kenzo Piano, Arsitek Favoriteku
Le Fumoir Café yang “Istimewa”
Untuk Sekian Kalinya, Tuhan Menolongku …..
Hujan Deras, Kedinginan, Tidak Ada Taxi, Uang ‘Cash’ Menipis
‘Le Louvre Museum’ : Kolaborasi Klasik dan [Super] Modern
Sekilas Pandangan Mata Kota Paris
Paris yang Mendung dalam Romantisme …..
Romantisme tentang Paris, Tumbuh dan Berkembang Lewat ‘Jardin Notre-Dame’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H