Banyak cat putih yang belum dipersihkan. Seharusnya, sebelum diresmikan dibersihkan terlebih dahulu, bukan?
Konsep sebuah pagar masif, adalah KERAPIAN, seperti konsep bangunan minimalis. Dengan tanpa detail, justru workmanship-nya yang difokuskan. Karena kita tidak bisa melihat ke mana-mana sehingga fokus kita berada tepat di railing masif itu. Jika railing itu berlubang-lubang, mata kita masih melihat 'apa yang ada di baliknya' sehingga fokus kita tidak tertumpu pada railing berlubang atau berjeruji.
Selebihnya, ketika kita melaju dengan kecepatan yang cukup baik, kita seakan-akan berada di Hongkong atau SenZhen, di daerah permukiman. Jalan layang di tengah-tengah gedung tinggi atau apartemen. Dengan jarak bebas hanya sekitar 10 meter (?). Mengingatkan bahwa ke depannya Jakarta akan memasuki kota yang tingkat kepadatannya seperti Hongkong atau negara-negara lainnya, dan perkantoran serta unit apartemen-apartemennya seperti 'kandang burung' kecil sekali.
Bagaimana dengan jalan biasanya di bawahnya?
Setelah ini aku belum melaju di bawahnya. Tapi aku sangat yakin bahwa jalan di bawahnya tetap saja macet! Dengan 3 mall besar (Ambasador, Kuningan City, dan Ciputra World) dan 1 ITC, itu akan menjadi titik sentral kemacetan. Apalagi banyak perkantoran di sekitarnya.
Bolak balik Tebet - Le Meredien membuat aku mengamati dengan jelas, ternyata ada lagi yang bukan dengan kasat mata, penamatan tentang jalan layang non-tol yang baru dibuka tersebut. Next, aku akan tuliskan, setelah hasil pengamatanku ini.
Yang jelas, bahwa sebuah jalan layang baru yang baru dibuka sepanjang jalan Dr. Satrio dan Casablanca ini, dalam keseluruhannya kurang sesuai dengan sebuah konsep dan desain perkotaan, secara kualitas kota metropolitas setingkat Jakarta. Dengan kualitas kontraktor dan pengawasan untuk angunan-angunan sekelas kota (apalagi ) Metropolitan Jakarta, sepertinya harus tetap sangat dipertimbangkan. Sangat lain jika kita mencari kontraktor untuk kota-kota pendukungnya. Karena Jakarta adalah ibu kota negara dan Jakarta pun sudah 'dilirik' oleh investor-investor dari banyak negara untuk menanamkan uangnya di sini.
Walau pada kenyataannya, kepuasan nyata di sebagian warga Jakarta, semuanya tetap harus mempertahankan kualitasnya. Karena dalam 40 tahun lebih kehidupanku dan 20 tahun lebih dalam bekerja sebagai arsitek, aku melihat bahwa Indonesia sudah 'mampu' untuk membangun sekelas dengan negara-negara besar, tetapi yang disayangkan adalah pengawasannya. Baik sejak awal dalam pengawasan pembangunannya, apalagi maintenance atau pemeliharaannya. Sehingga, dalam banyak kesempatan, masyarakat berkata bahwa,
"Kita ini sudah mampu membangun sekelas kota dunia, tetapi kita kurang dalam pengawasan dan TIDAK BISA memeliharanya".
Jika dari awal pengawasannya sudah buruk, bagaimana dengan kelanjutannya dan bagaimana juga dengan pemeliharaannya?