Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

'Pasar Minggu': Di Mana Pohon-pohon Buahnya? Ke Mana Cerita Kehidupan Alamnya?

7 Oktober 2013   12:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:53 2170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By Christie Damayanti

[caption id="attachment_293051" align="aligncenter" width="568" caption="www.clasensation.com"][/caption]

Kenangan pedagang2 buah di Pasar Minggu .....

Ketika aku masih kecil, Pasar Minggu merupakan gambaran tentang tempat yang nyaman, rindang, tempat banyak pohon, bahkan aku ingat sekali bahwa Pasar Minggu merupakan tempat untuk berkenan, membeli buah2an dan mencari kelinci2 Lucu untuk bermain. Benar- kah demikian?

Benar! Tetapi, dulu! Ya, sering papa ku mengajak aku ke Kebon Binatang Ragunan. Tempat itu begitu rindang, bahkan sampai sekarang ( lihat tulisan ku Kebon Binatang Ragunan : Wisata Pendidikan sambil Bermain, Konsep Ruang Terbuka Hijau yang Idealis ). Tempat itu sangat rindang, segar dan nyaman. Biasanya, kita kesana melihat2 binatang2 yang sangat aku sukai, membawa makanan untuk makan siang sambil berpiknik Jika sudah cape. Dan setelah itu sambil menuju pulang, kita membeli buah2an segar. Ada pisang, pepaya, jeruk dan aku suka sekali manggis. Menyenangkan sekali ......

Menuju pulang pun, senang sekali aku melihat2 jalanan dari mobil, dengan pepohonan2 yang besar dan rindang. TIDAK terlihat kaki Lima, dan TIDAK Ada kemacetan. Sambil bernyanyi2 dengan adik2ku lewat kaset ( dulu belum Ada CD ), senang sekali mencari kelinci2 lucu. Dan Jika sudah sampai rumah, aku merasakan kebahagiaan serta kesegaran jiwaku. Padahal, aku masih cukup kecil untuk memahami sebuah hati antara senang serta bahagia dengan hati yang 'susah'.

Itu Pasar Minggu yang dulu, sekitar awal tahun 1970-an sampai sekitar awal 1980-an. Setelah itu, Pasar Minggu mulai tergerus jaman dan berusaha 'menyamai' kehidupan metropolitan seperti daerah2 yang lain di Jakarta. Bukan hanya semua kehidupan urban di Jakarta saja yang di ikuti oleh Pasar Minggu saja, melainkan Pasar Minggu menjadi 'proyek percontohan' PKL di sekitar terminal bus dan pasarnya Pasar Minggu ..... Aaahhhhhh ....

Sesaat sebelum sekarang, sungguh Pasar Minggu merupakan tempat yang sangat2 tidak nyaman untuk di datangi. Mungkin hanya Kebon Binatang nya saja yang tetap merupakan tempat yang rindang dan pantas untuk didatangi. Tetapi, pun jalan kesana sangat macet dan crowded! Dari sebelum Departemen Pertanian sampai KB Tagunan, bukan hanya macetnya saja, tetapi angkot2 berhenti seenaknya saja, Malang melintang di pintu masuk ke KB Ragunan, dan memakan waktu sampai 1 jam, dengan jarak tempuh beberapa kilometer saja! Menyebalkan sekali!

Belum lagi jika kita melewati pasarnya Pasar Minggu di jalan Pasar Minggu Raya! Macet total, jika kita menuju Depok karena PKL2 yang memenuhi jalan serta angkutan massal yang serabutan! Angkot dan Metro Mini seenaknya saja berhenti untuk menaikan dan menurunkan penumpang. Bajaj? Apa lagi! Dan bukan hanya supir2 nya saja yang seenaknya, penumpangnya pun lebih seenaknya saja! Mentang2 sama2 seenaknya saja ......

Eh, ternyata pemda memang masih beranggapan untuk Pasar Minggu sebagai daerah yang sejuk dan nyaman untuk kita, termasuk hewan. Jadi ketika sekelompok kijang totol di beri ruang untuk hidup di sebelah Taman Makam Pahlawan Kalibata, menurutku sunggu tidak pada tempatnya! Tanahnya sudah gundul karena rumput2nya telah habis dimakan mereka, pepohonannya pun sudah menguning, sehingga mereka bergantung kepada wortel2 kurus yang dibeli oleh beberapa warga disana untuk mereka ( lihat tulisanku Si Kijang Totol : "Tempatmu Bukan Disini, sayang ...." ).

*** Kenyataan2 ini membuat warga kota Jakarta, khususnya aku, merasa tidak ada tempat yang nyaman untuk kita bisa santai sejenak di akhir Minggu. Bahkan Gereja ku pun yang terletak di Kompleks Pertanian di seberang pasarnya Pasar Minggu, terkena imbas nya dengan warga Gereja nya yang selalu terlambat jika ada kegiatan di Gereja, baik pagi, siang, sore ataupun malam. Untuk ke Gereja di Minggu pagi pun, kami sering terlambat, sehingga kami harus lebih pagi untuk kesana, karena PKL2 yang semakin menyeruak ke badan jalan ( terutama pasar tumpah dari pasar utama ).

Itu sudah sejak aku perhatikan sekitar tahun 1980-an dan semakin ke sini semakin parah. Dan aku mulai membicarakan tentang ini dan berdiskusi dengan papa almarhum, sampai pak Jokowi datang untuk mulai membenahi Jakarta, termasuk PKL di Pasar Minggu, yang sekarang ini sudah jauh lebih baik!

Pasar Minggu adalah wilayah di selatan Jakarta, yang dahulu sangat rindang dengan pepohonan besar serta hunian ber-KDB rendah. Dulu, ada seorang saudaraku bertempat tinggal di Jalan Ragunan searah dengan KB Ragunan. Tanahnya cukup besar, mungkin sekitar 1000 m2. Tetapi rumahnya hanya sekitar 100 m2 bertingkat. Sisa tanahnya ditanami banyak pohon buah, terutama rambutan. Juga apotek hidup serta memelihara kelinci2 lucu dan ayam kate. Sebagian lagi, untuk perkebunan anggrek karena Bude ku itu sangat cinta anggrek. Jika aku bermain ke rumahnya, nyaman sekali dan betah serta malas pulang. Dan begitu juga dengan tetangga2nya, tanah besar dengan rumah kecil dan kebon untuk berbagai kegiatan terbuka, menyenangkan sekali  ....

Tetapi sejak anak2nya dewasa dan menikah serta Pakde dan Bude ku sudah berumur, rumah dan kebonnya dijual, untuk pindah rumah yang lebih kecil karena sudah teralu susah untuk memeliharanya. Beberapa tahun kemudian, aku sempatkan kesana dan aku menemukan rumah dan tanah itu sudah berubah menjadi ruko2 untuk bisnis di depannya, serta di belakangnya untuk pergudangan dengan banyak material2 entah apa dan mobil2 rongsokan banyak terdapat disana ..... Menyedihkan sekali ......

Dan aku sangat tahu bahwa bukan hanya bekas rumah Pakde dan Bude ku saja yang begitu, tetapi ( mungkin ) semua pemilik lama akan merasa sedih jika tahu sekarang tempat itu menjadi seperti sekarang ini. Juga ketika aku kuliah arsitektur, salah satu tugasku adalah mendesain pemukiman ( untuk mata kuliah studio pemukiman ) ber-KDB rendah dengan arsitektur 'pertanian', tetapi ketika aku survey di sekitar selatan jalan Warung Buncit, ternyata tanah lapang untuk perumahan ber-KDB rendah itu sudah tidak ada dan beralih menjadi perumahan padat yang tidak sesuai dengan aturan Pemda Jakarta ......

Pak Jokowi memang berhasil mengatur PKL di sekitar pasarnya Pasar Minggu, tetapi mungkinkah pak Jokowi bisa menertibkan pembangunan fisik wilayah Pasar Minggu, terutama  dari jalan Warung Buncit ke arah KB Ragunan? Kemacetan dari arah ujung Warung Buncit sekitar Mamang Prapatan ke KB Ragunan benar2 sangat membuat perguliran kegiatan menjadi terhambat. Karena memang sebagian Warung Buncit masuk daerah Mampang Prapatan, sebagian lagi yang di selatan masuk daerah Pasar minggu.

Juga daerah2 Pasar minggu pelosok, jalan2 antar daerah2 lain seperti ke Kemang. Sebagian besar sudah berubah. Tanah kebon yang luas yang dulunya selalu ada poho2 buah, tetapi sekarang sebagian besar berganti dengan ruko, restauran atau tempat2 bisnis lainnya. Dan pohon2 buah yang dulu menjadi 'trade mark' dari Pasar Minggu, sekarang digantikan poho2 buah dalam penangkaran di Dinas Pertamanan bahkan Kementrian Pertanian, yang membagikan atau menjualnya dengan murah untuk kita bisa membelinya dan menanamnya di tempat2 atau rumah2 kita sendiri .....

***

Ketika Pasar Minggu menjadi ruang umum tempat rekreasi alam untuk warga Jakarta, tetapi sekarang tidak bisa lagi karena sudah sesuai dengan konsep 'berlibur' dalam alam terbuka di akhir minggu, membuat warga kota semakin susah dan bingung untuk melepaskan penatnya. Dan mereka mulai bergeser untuk rekreasi modern, ke dalam mall atau rekreasi 'dunia maya' lewat gadget2 mereka. Menurutku, rekreasi modern pada warga Jakarta sekarang ini, salah satu pemicunya adalah tidak ada lagi tempat untuk berwisata dalam alam bebas karena Jakarta sudah dipenuhi oleh kehidupan modern, yang sama sekali tidak untuk mendidik generasi muda. 'Rekreasi' dalam mall akan memicu konsumerisme dan 'rekreasi' gadget akan memicu 'ketagihan' karena mereka belum mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan .....

Profil | Tulisan Lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun