By Christie Damayanti
[caption id="attachment_228874" align="aligncenter" width="507" caption="tuesday.blogspot.com"][/caption]
Air hujan, harus diserap oleh tanah, sehingga kembali menjadi air hujan. Ketika tanah sebagian besar tertutup beton, air hujan akan mengalir ke tempat2 yang rendah. Salah satunya, air dari Selatan Jakarta ( Bogor dan Puncak ) akan mengalir ke Jakarta karena tanah2 di Bogor dan Puncak sudah sebagian besar tertutup beton ......
Sebenarnya, sadar tidak sih, bahwa Jakarta dan kota2 kecil sebagai pendukungnya di sekitar Jakarta minim penyerapan? Coba pikir2 lagi deh ..... mungkin kita melihat,
"Aahhhh ..... masih banyak penghijauan koq, siapa bilang tidak ada penyerapan?"
Boleh2 saja kita bicara seperti itu. Tetapi alam sudah mempunyai siklusnya. Jika banjir ( berarti air terlalu banyak, tidak bisa terserap ke dalam tanah, atau sungai2 dan gorong2 terlalu penuh dengan sampah ), BERARTI ADA YANG SALAH! Apapun itu, alam sudah berusaha untuk air menyelinap di setiap penyerapan, tetapi ketika banjir datang, memangnya alam yang salah? Memangnya, air yang salah karena tidak mau 'menyelinap' masuk ke dalam bumi?
Tunggu! Sebelum kita melihat secara keseluruhan tentang penyerapan Jakarta, ingat2 dulu, apakah hidup kita peduli dengan penyerapan? Artinya begini :
Rumah kita, apakah mempunyai tanah terbuka, walau sedikit. Untuk mengingatkan saja, ketika kita membeli rumah atau membangun rumah ( yang memakai desainer khusus, seperti arsitek ), PASTI ada tanah terbuka, sebagai  PENYERAPAN, juga merupakan ATURAN PEMERINTAH. Salah satu sisi ( kanan atau kiri ) harus ada taman terbuka, yang TIDAK BOLEH DI 'BETON'.
Aku sudah makan sama garam sebagai arsitek, 20 tahun ini. Biasanya, si pemilik rumah akan menutup taman ini dan menjadika KAMAR TAMBAHAN, atau ruangan lain. Jika aku tegur, mereka berkata,
"Aaaahhhh .... tanah kan mahal, tidak seharusnya kita buang2 yang sudah kita beli, dan juga kita butuh ruangan lagi koq ...."
Aku hanya menggeleng2kan kepalaku. Coba deh lihat, di daerah Kelapa Gading. Banyak rumah2 yang aku bangun dengan desain yang terbaik sebagai arsitek. Mula2 mereka suka, tetapi lama kelamaan, mereka meminta aku lagi untuk mendesain ruangan baru di atas taman mereka! Dan biasanya aku tudak mau, sehingga mereka memilih mencari tukang dan membangun sendiri TANPA PEDULI DENGAN SALURAN2 SERTA BAGAIMANA DENGAN PENYERAPANNYA .....
Makanya, Kelapa Gading mungkin 90% merupakan beton, dan hanya 10% merupakan penyerapan, sehingga tidak heran kan, banjir di Kelapa Gading merupakan yang selalu ada walau hujan hanya beberapa menit saja.
Ini kalau membangun rumah memakai jas arsitek, pun mereka akan terus tidak mengindahkan tentang taman dan mereka membangun ruangan baru. Lalu, bagaimana dengan mereka yang membangunnya tidak menggunakan jasa arsitek? Tambah lebih buruk lagi, karena tidak memikirkan tanah terbukan sebagai penyerapan serta saluran2nya .....
Itu hanya 1 daerah saja, padahal ada ratusan daerah di Jakarta. Bisa dibayangkan kan, berapa besar tanah terbuka di daerah perumahan2 seperti itu.
Lain lagi dengan konsep hunia Jakarta. Sejak aku kuliah, memakai RUTR 2005 dan sekarang RUTR 2030, konsep hunian di Jakarta adalah ke Timur dan Barat. Poros Timur-Barat ini, terlihat dengan 1 ruas jalan dari Kembangan Jakarta Barat ( Walikota Jakarta Barat ) ke Pulo Gebang Jakarta Timur ( Walikota Jakarta Timur ), melewati Tomang - Cideng - Prof Satrio - Casablanca - Klender. Jalan tersebut sudah terbentuk sejak sekitar akhir tahun 1990-an, dan sekarang un terus dikembangkan.
[caption id="attachment_228875" align="aligncenter" width="497" caption="tinkhunian.multiplay"]
Sedikit ilustrasi bahwa hunian Timur-Barat memang lebih 'trend' dari pda hunian ke Selatan Jakarta.
[caption id="attachment_228876" align="aligncenter" width="450" caption="petajakarta.bolgspot"]
Hunian Jakarta dalam poros Timur-Barat, walau kenyataannya sekarang banyak pembangunan ke arah selatan, seperti ke Parung, Sentul atau Cibinong bahkan Bogor.
Konsep Timur-Barat ini bukan tidak ada alasannya. Jakarta yang memang berada di tepi Laut Jawa di bagian Utara, dan Bogor-Puncak di bagian Selatan, hanya bisa 'memperlebar' hunian Jakarta ke Timur dan Barat saja. Di Timur, kota2 pendukung seperti Cikarang, Karawang dan Bekasi dan di Barat seperti Serang, Tangerang sangat bisa sebagai kota pendukung untuk hunian.
Tetapi di Utara Jakarta adalah Laut Jawa, wlau tidak menutup kemungkinan membuat reklamasi sebagai hunian baru, seperti di banyak negara2 yang membutuhkan hunian banyak. Dan bagian Selatan, adalah daerah PENYERAPAN, ditambah ke-13 sungai yang datang dari selatan dan merupakan daerah pegunungan.
Pertama, bicara tentang reklamasi utara Jakarta. Sudah banyak aku tuliskan, seperti Reklamasi oh Reklamasi ......, - Bagaimana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2010-2030 Tentang Reklamasi? - Berlomba dan 'Mendewakan' Proyek Atas Nama Penyelamatan Jakarta? Aaah ....., dan Pertahanan Pantai Jakarta : Benarkah GSW adalah Solusinya ?
Untuk reklamasi sendiri, bukan tidak bisa dan bukan tidak diijinkan oleh pemda, tetapi lebih kepada kepedulian tentang Hutan Mangrove atau Hutan Bakau yang seharusnya dipelihara dan reboisasi, tetapi Hutan Mangrove sekarang semakin rusak, sehinga reklamasi menjadikan bibir pantai Pulau Jawa semakin tererosi dan menjadikan arus laut bergeser ke tempat2 lain dan 'menenggelamkan pulau2 tersebut ..... Jadi, pelebaran hunian Jakarta seharusnya tidak kearah Utara.
Kedua, ke arah selatan Jakarta. Konsep hunian ke arah selatan Jakarta pun dipikirkan untuk penyerapan. Kota2 pendukung Jakarta seperti Bogor dan Puncak, sebenarnya untuk penyerapan. Di kota2 tersebut, bahkan di Puncak, KDB Â ( Koefisien Dasar Bangunan ) tanah jika mau dibangun rumah, harus hanya 10% saja, sehingga 90% adalah tanah terbuka! Ternyata banyak orang2 aya membeli tanah di Bogor dan Puncak untuk membangun villa dan villa2 tersebut KDB nya lebih dasri 50%, bahkan sampai 80%! Sehingga ketika jaman beberapa tahun lalu, villa di Puncak di segel karena dibangun di atas tanah dengan semua beton ......
Ini juga yang menyebabkan, ketika pertengahan tahun 1990-an tidak ada akses atau sedikit akses jalan tol ke daerah selatan Jakarta ( seperti Pondok Labu atau Pangkalam Jati ), karena pemda ingin membuat warga Jakarta tidak betah berlama2 di jalan biasa tanpa akses tol. Tetapi sekarang sangat berubah. Justru jalan tol selatan Jakarta berlomba2 untuk dibangun dan perumahan2 selatan Jakarta juga berlomba di rencanakan, seperti di daerha Sentul, Cibinong, bahkan Bogo sampai Gadog .....
Sekarang, siapa yang harus disalahkan? Mau 'Jakarta Bebas Banjir', tetapi tidak peduli dengan penyerapan? Dari diri sendiri kita saja deh ..... apakah masih peduli tentang buang sampah pada tempat nya? Apakah kita masih berusaha 'membeton' tanah2 terbuka di halaman rumah kita? Apakah belum berusaha membuat got2, gorong2 dan sungai2 bebas sumbatan?
Banyak yang harus dipikirkan untuk 'Jakarta Bebas Banjir' seperti di beberpa tulisanku Banjir di Jakarta, Penyebab Serta (Sedikit) Saran Mengatasinya - Pengendalian Banjir? Tidak Cukup Hanya Membuat Drainage Saja - Mengapa Baru Sekarang dalam Pencegahan Banjir di Jakarta?. Begitu juga tentang tulisan ini Jakarta Bebas Banjir? Berusahalah untuk Mengelola 'Ruang Terbuka Hijau!'. Bahwa RTH adalah upaya besar untuk membuat siklus banjir Jakarta teredam.
Termasuk juga tentang penyerapan. Dan penyerapan merupakan sebuah siklus alam bagi aliran air, yang sedianya harus terus diupayakan agar banjir di Jakarta, setidaknya akan berkurang .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H