"Kamu memang ingin bekerja di lapangan? Tidak takutkah kamu, dengan bekerja seperti itu resikonya semakin besar dan banyak gangguan?"
Aku mantap untuk menjadi seorang arsitek lapangan, dan si 'interviewer' menanyakan lagi,
"Jam kerja arsitek lapangan, bisa jadi tidak menentu. Bisa sedikit jika memang sedang tidak ada pekerja ( misalnya libur ), tetapi bisa juga bekerja sampai 24 jam. Jam berapapun jika tugas memanggil, kamu harus siap, walaupun tengah malam".
Aku tetap mantap sambil menganggukkan kepalaku. Aku ingat, si pewawancara itu adalah seorang ibu2 tua yang ternyata bisa aku jadikan 'ibuku' karena beliau memang sangat concern kepadaku. Sacara aku memang seorang wanita muda ( tahun 1994 aku baru sekitar 25 tahun ), tetapi mantab dengan keputusanku menjadi arsitek lapangan. Dan dulu, beliau sering menelponku untuk sekedar mengingatkan makan siangku atau istirahatku .....
Bekerja sebagai orang lapangan sangat berbeda dengan pekerja2 Â eksekutif biasa. Jam kerjanya tidak tentu, tidak jelas, walau imbalannya memang sebanding dengan pekerjaannya. Belum lagi bonusnya. Serta 'network'nya, menjadikan aku bisa banyak berteman dengan banyak kehidupan. Mulai dari pekerja lapangan ( tukang2 dan buruh kasar atau satpam2 proyek ), supplier2 berbagai macam barang dari lokal Jakarta sampai internasional, juga berhubungan dengan konsultan2 lokal sampai asing dan sering berdiskusi bersama untuk menyelesaikan pekerjaan kami. Kami sering memanfaatkan survey dan tugas ke banyak tempat termasuk ke negeri lain untuk mencari material atau melihat konsep2 bangunan baru, sebagai bahan pembelajaran bagi kami.
Bahasa Inggrisku terasah dan kehidupanku berubah. Dari tidak lebih seorang wanita muda 'fresh graduate', menjadi wanita matang sebagai arsitek muda yang menyongsong masa depan gemilang, walau hanya sebagai 'kuli proyek' dengan jam kerja yang tidak jelas ..... Dan iru terus berulang dimanapun kami bekerja sebagai pekerja proyek, sampai sekarang .....
Motto kami sebagai pekerja lapangan cum satu : apapun dilakukan untuk menyelesaikan proyek, walau harus tidak tidur berhari2. Jam kerja tidak menjadi masalah, sejalan dengan senioritas kami. Makin lama kami mengabdi, semakin mampulah kami bisa membagi waktu antara pekerjaan dan waktu kami untuk keluarga.
Seperti aku, walau aku tetapi ingin bekerja sebagai 'kuli proyek', aku lebih bisa membagi waktu antara pekerjaanku di proyek, pekerjaanku sebagai dosen dan sebagai ibu dari 2 orang anak ABG. Sama dengan pekerja2 lainnya, semakin lama bekerja, semakin tinggi pula posisinya. Hanya bedanya, kami tetap bekerja di lapangan walau jabatannya tinggi, tetapi pekerja2 lainnya berada di kantor2 mewah sebagai pengambil keputusan .....
Jam kerja bagi pekerja dimana2 sama saja, tetapi bagaimana kita bisa membuat pekerjaan kita menjadi kehidupan kita. Jika kita menyenangi dan mencintai pekerjaan kita, kehidupan kita akan selalu gembira dan bahagia. Dan jika kita tidak menyenangin dan tidak mencintai pekerjaan kita, kita akan terpuruk dan selalu menyesali diri dalam bekerja, sehingga kita akan sering berpindah2 pekerjaan sebagai 'kutu loncat'. Dan itu akan menjadi 'lembaran hitam' untuk perusahaan tentang kita .....
Nikmatilah pekerjaan kita dengan jam2 kerja kita, selagi bisa .....
Salamku .....