Kenyataannya, kesadaran pengembang di Jakata untuk menyerahkan kewajibannya berupa fasum dan fasos masih sangat rendah. Tulisan di atas, barulah soal waduk. Menurut beberapa sumber, sejak tahun 2008, lebih dari 150 pengembang belum meyerahkan lahan fasum dan fasos dalam bentuk pembangunan jalan dan taman, tetapi pengembang2 tersebut sudah memegang Izin Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah ( SIPPT ) ..... Bagaimana ini bisa terjadi ? Karena, yang jelas SIPPT akan dapat diberikan oleh pengembang ( proyeknya diatas 5.000 meter persegi ) jika sudah menyerahkan fasilitas umum dan fasilitas sosial kepada pemda .....
Yang aku ikuti, bahwa para pengembang sering diminta untuk berdiskusi dengan pemda tentang fasum dan fasos ini tetapi memang pengembang2 itu sangat kurang responnya. Banyak dari mereka hanya menyerahkan gambar lahan saja, tanpa dibuat / dibangun dengan semestinya .....
Bagaimana tata ruang Jakarta tidak amburadul? Coba baca tulisan diatas, bahwa banyak fasum dan fasos yang harus di bangun oleh pengembang berupa jalan ( lingkungan ) dan taman. Sekarang, apa yang terjadi? Bahwa ternyata, jalan lingkungan dan taman memang sangat sedikit. Jalan2 lingkungan yang biasanya merupakan aksesmasuk atau jalan2 tembus antara perumahan milik pengembang dan kota Jakarta, ternyata masih sekedarnya. Belum lagi taman2nya. Terlihat, bukan? Bahwa taman di Jakarta sangat kurang, padahal taman kota merupakan paru2 kota yang bisa untuk menyerap polusi dari kendaraan2 dan pabrik kota .....
Taman lingkungan yang harus diserahkan kepada pemda sebagai kewajiban pengembang setelsh ijin diterima untuk melakukan suatu usaha atau kegiatan. Jika pengembang besar, biasanya lebih baik, bahkan taman2 lingkungan ini memberikan efek promosi untuk penjualannya. Tetapi jika pengembang kecil, agak susah karena memang butuh biaya untuk membuat taman2 lingkungan ini dan tidak bisa dijual .....
Bandingkan dengan pengembang besar dan pengembang kecil. Pengembang besar selalu membuat jalan untuk kenyamanan dan fasilitas pembeli dan juga untuk promosi bahwa rumah2 yang dijual sudah ada jalan besarnya. Tetapi pengembang kecil, biasanya hanya rumah sja tanpa memikirkan jalannya ... hanya sekedarnya saja, bahkan jalan itu sering rusah dengan material yang jelek .....
Semua yang seharusnya di serahkan bagi para pengembang ( perijinan, hak dan kewajibannya ), ternyata membuat para pengembangkan justru 'membabi buta'. Warga Jakarta terjepit diantara '2 raksasa besar', yaitu pemda dan pengembang. Bagaimana kehidupan warga? Apa yang bisa dilakukannya? Bisakah warga Jakarta hidup dengan tenang di 'rumahnya' sendiri?
Sebenarnya, pemda Jakarta sudah menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan verifikasi data dan penagihan kepada para pengembangan itu, karena untuk fasus dan fasos memang sangat merugikan warga Jakarta. Seharusnyalah, pemda memang tidak sekedar menggertak para pengembang itu, tetap mengambil langkah konkrit dalam men-sejahterakan warga Jakarta.
Sumebr gambar : dari Google.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H