Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Boleh kan, Jika TPU Menjadi Program Rencana 30% RTH Jakarta?

13 Maret 2014   18:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By Christie Damayanti


foto.news.vva.co.id

Sebelumnya :

Menuju 30% RTH [Dari Sekarang 11% Saja], Mungkinkah?

Jakarta harus mempunyai 30% ruang terbuka hijau ( RTH ) secara ideal, merupakan tantangan yang tak terhingga. Jelas sekali, untuk membuka tempat terbuka tidak gampang dan mahal sekali. Apalagi harga tanah memang selalu naik drastis seitap tahun. Walaupun tanah-tanah pemerintah yang sekarang banyak didiami oleh kaum urban marjinal, tidak gampang pemerintah untuk mengambil tanah itu. Jangan-jangan, pemerintah justru mendapat kecaman dari banyak orang, karena katanya 'tidak peduli kepada kaum papa' ...

Masalahnya bukan seperti itu. Tetapi cerita usang ini sampai ribuan bab, tidak mendapatkan titik temu. Seperi benang kusut. Berhubungan dengan arus urbanisasi, kaum pinggiran, lowongan pekerjaan, 'skill' atau keterampilan bahkan sampai berhubungan dengan tidak adanya tempat tinggal bagi mereka yang memang tidak mempunyai apapun. Selalu 'mentok' sampai sekarang.

Sekarang, pemda harus pintar-pintar mencari peluang, guna membangun area RTH 30% bagi Jakarta. Jika memang pemda belum bisa atau sangat terbatas dengan dana, fasilitas dan SDM yang bisa membangun RTH 30%, kita harus memikirkan sedemikian untuk membangun daerah 'bekas' mejadi RTH. Bekas apapun untuk sebuah daerh terbuka hijau. Tempat2 mungil dan terpencil di Jakarta, diolah dan dibangun untuk sebuah ruang terbuka hijau.

Salah satu cerita tentang RTH di banyak artikel-artikelku tentang Jakarta, aku ingin beberapa pokok catatan tentang ini. Coba di simak artikelku :

Cerita di TPU Menteng Pulo

Tanah Pemakaman Tidak Harus Menyeramkan

Pak Jokowi, Mengapa TPU Tidak Diprogramkan Menjadi RTH yang Memadahi?

Tanah pemakaman itu bisa menjadi RTH yang cukup memadahi JIKA pemda mau kratif. Mahal? Tidak! Seperti yang aku tuliskan di link diatas.

Tanah pemakaman itu sudah ada. Di beberapa titik di Jakarta. Salah satunya yang beberapa terbesar, seperti TPU Menteng Pulo, TPU Tanah Kusir atau TPU Petamburan, atau juga TPU Karet Bivak. Ini adalah pemakaman umum yang sudah ada sejak lama. Ditambah lagi dengan TPU-TPU baru, yang kesemuanya seharusnya bisa dikreatifkan untuk sebuah ruang terbuka hijau yang cukup baik, apalagi TPU ini bisa berfungsi sebagai paru-paru kota Jakarta.

Untuk TPU yang baru seperti TPU  Kampung Kandang atau TPU modern seperti San Diego Hills, itu sudah baik, bahkan menjadikan TPU sebagai 'rumah masa depan', untukku tidak terlalu menyenangkan. Bayangkan, untuk membeli tanah untuk makam sendiri bisa sampai puluhan juta! Alhasil, tanam pemakaman menjadi area 'bersenang-senang', seperti di salah satu link diatas.

TPU lama ini, sudah mempunyai  beberapa bagian yang bisa langsung dijadikan RTH :

1.       Mempunyai tanah cukup luas, sebagai tempat penyerapan air

2.       Mempunyai pepohonan yang cukup banyak untuk paru-paru kota

3.       Sebagai tempat untuk hidup tanaman dan hewan-hewan kecil dalam sebuah ekosistem

4.       Sebagai tepat penghijauan dan sudut pandang strategis bagi wawrga kota

5.       Dan sebagainya

Pemda hanya tinggal menatanya saja, untuk menjadi kan TPU sebagai RTH Jakarta, menuju 30% RTH. Tidak mahal, dan tidak rumit. Mungkin aku tidak tahu tentang detail keadaan TPU di Jakarta. Tetapi ketika papa di panggil Tuhan Maret 2013 kemarin, dan kami selalu menengok makam papa setiap hari Minggu setelah ibadah Gereja, membuat aku banyak berpikir tentang pengolahan TPU sebagai bagian program pemda dalam rencana membangun 30% RTH Jakarta.

Sedikit konsep untuk membangun TPU lebih untuk insfra-struktur hijau ( green insfra-structure ) :

1. Mengelola tanah TPU dan membenahi warga yang sudah ada disana.

Aku tidak tahu, apakah dahulu dalam menggali makam dan menentukan tempat untuk memakamkan seseorang, ada peraturannya atau tidak? Sepertinya belum ada karena aku melihat di sekeliling makam papa, jarak antara makam satu dan yang lainnya berjarak tidak tentu. Ada yang cukup untuk berjalan ( sekitar 40 cm sampai 60 cm ), tetapi ada juga yang hanya berjarak 1 jengkal saja ( 20 cm ).

Mungkin untuk selanjutnya, penentuan lokasi tanah pemakaman dapat diatur sesuai desain dan sesuai masterplan TPU yang bersangkutan.


Jarak antar kavling hanya sejengkal saja ( sekitar 20 cm), susah untuk berjalan menuju lokasi di belakangnya. Mereka akan menginjak makam, dan untukkku sebenarnya sangat tidak etis .....

2. Mengelola pemanfaatan lahan yang kosong, disamping titik makam.

Antara titik lokasi nisan, rumput2 di semai. Bukan rumput2 mahal. Tetapi rumput gajahpun tidak masalah. Untuk membuat lahan2 yang kosong menjadi hijau dan baik untuk penyerapan. Apalagi, rerumputan pun dapat enyerap gas CO2, pada siang hari dan Jakarta sedikit menjadi sejuk. Bayangkan area TPU yang ratusan hektar, dengan rumput2 hijaunya ...

Di titik2 tertentu, pemda dapat menanam pepohonan tertentu untuk menjadikan TPU itu lebih hijau. Bahkan tidak ada yang salah, jika pemda menanam pohon2 besar, tetapi harus diingat tentang akar2 pohon itu tidak sampai merusak makam2 disekelilingnya. Karena akar tanaman bisa menjadi 'musuh' bagi kita ...


Rumput2 di lahan kosong antar makam serta rumput2 di nisa, sebaiknya dikelola dengan baik karena bukan hanya bisa untuk penghijauan, tetapi sebagai 'penyejuk mata'

Bukan hanya pepohonan tertentu saja, tetapi juga bisa menanam perdu-perdu di sepanjang jalan. Selain bisa sebagai 'point of interest', atau juga bisa untuk titik adem bagi mata.

Jangan lupa, antara kavling lebih baik tidak di beton, karena bisa berfungsi sebagai penyerapan air hujan.


Sebuah kavling keluarga tetapi antar kavling di beton, sehingga penyerapan air berkurang.


Kaving papa dan kakakku. Antara kaving, kami memakai con-blok, dimana con-blok ini hanya diletakkan di atas tanah dan tetap bisa untuk penyerapan air ...

Di sepanjang jalan menuju titik lokasi, sebaiknya tidak diberikan ijin untuk tempat berjualan, KECUALI di titik2 tertentu. Misalnya, di ujung awal masuk TPU untuk bejualan bunga-bunga tebar, jualan minuman, tentu saja harus juga sesuai dengan desain lapak yang sesuai. Bukan seperti pedagang kaki lima.


Sebuah makam di antara warung-warung yang menjual makanan dan minuman serta menjual bunga-bunga tebar. Kasihan jika ahli waris melihat makan ini ...

3. Mengeola infra-strutur drainage supaya TPU tidak banjir.

Konsep pengelolaan drainage pun harus sesuai dengan desain. Di tiap beberapa meter  harus mempunyai  lokasi untuk membersihkan dari daun-daun kering atau tanah-tanah, karena setiap saat memang akan ada kegiaan menggali tanah untuk memakamkan seseorang, dan menimbun tanah. Sehingga boleh jadi, tanah atau rumput serta daun-daun ikut masuk ke gorong-gorong atau selokan untuk air, sehingga air akan mengembang ...

4. Mengelola manajemen TPU

Jika semuanya sudah bisa dilakukan, tinggal memanage TPU. Aku tidak tahu tentang manajemen TPU. Tetapi aku hanya ingin mengatakan bahwa TPU ini adalah tempat semua warga Jakarta. Di negara lain, banyak TPU justru sebagai tempat berjalan-jalan. Untuk sekedar menhirup udara segar.

Sebuah TPU adalah tempat bagi warga yang sudah dipanggil Tuhan. Banyak orang kesana untuk berdoa, menyambangi atau sekedar ikut berbagi disana. Seharusnya, TPU bebas dari polusi suara atau polusi pemandangan. Maksudnya, untuk polusi suara, janganlah terlalu berisik, tanpa debu dan jangan TPU  sebagai 'jalan potong' atau 'jalan tikus' seperti di TPU Menteng Pulo, tempat papaku berada.

Selain itu, janganlah para gembala melepaskan kambing-kambing dan domba-dombanya untuk berkeliaran disana, tanpa pengawasan. Bahkan, banyak kambing atau domba-domba 'tinggal' di beberapa makam beserta keluarganya! Kelihatannya tidak etis ketika sekelompok kambing atau domba tidur dan beristirahat di sebuah makam. Harusnya, kambing dan domba tidak boleh masuk ke makam ...



Sekelompok kambing yang selalu berbarengan ( mungkin sebuah keluarga ) berjalan, makan rumput dan tanaman serta 'tinggal' di pemakaman TPU Menteng Pulo ini .....


Kambing yang seenaknya saja bahkan naik ke sebuah nisan hanya untuk makan daun-daunan yang dia inginkan. Siapa yang punya? Dimana gembalanya?

Ini sekelumit pemikiranku tentang TPU yang bisa dikelola sebagai RTH menuju 30% RTH Jakarta. Kreatifitas pemda benar-benar dibutuhkan, menyusul rencana RTH 30%, dan terkendala oleh dana, waktu serta SDM dan orang-orang yang mengelolanya.


RTRW 2010 - Jakarta

Jika dilihat dari foto diatas ( RTRW 2010 ), terlihat agak 'jomplang'. Jakarta 'gemuk' ditengah tetapi RTH nya sebagian besar berada di selatan Jakarta. Padahal justru RTH yang dibutuhkan Jakarta untuk penyerapan air serta untuk paru2 kota.

Bagaimana Jakarta bisa sehat dengan RTH yang sebagian besar di selatan Jakarta?

Melihat Jakarta sekarang ini, memang tidak sehat dengan RTH yang ada. Apalagi RTH ini dibutuhkan untuk salah satunya penyerapan air. Bagaimana Jakarta tidak banjir?

Jadi, pemda memang tidak melulu salah dalam menata kebijakkan. Bahkan aku melihat sebagai urban planner, konsep-konsep Jakarta itu sudah baik, dan sudah sesuai dengan kebutuhan semuan warga Jakarta (ini kebutuhan, bukan keinginan). Tetapi yang sudah dikonsepkan pun meleset dengan banyak hal dan alasan. Karena warga Jakarta sendiri tidak mau peduli dengan lingkungannya.

Menuju RTH 30%, memang pemda harus pandai-pandai berkreatifitas. Jika belum ada dana dan kesempatan untuk asung masuk ke pokok permasalahan, mengapa pemda tidak berkreatif sendiri dulu?

Jadikan TPU sebagai program rencana menuju RTH 30%, sekarang ......


Profil | Tulisan Lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun