By Christie Damayanti
[caption id="" align="aligncenter" width="559" caption="www.skycapers.com"][/caption]
Sebelumnya :
Cerita Dibalik 'Pedestrian Baru' Sepanjang jalan Gatot Subroto
Sebenarnya, niat ga' sih membuat pedestrian dengan keramik khusus untuk penyandang tuna netra? Sepertinya tidak!
Catatan :
Disabled itu termasuk orang2 yang berkebutuhan khusus ( yang bari lahir atau karena sakit atau kecelakaan ), termasuk orang tua dan insan pasca stroke.
[caption id="" align="aligncenter" width="507" caption="www.workzonesafety.org"]
Pedestrian baru beberapa bulan lau memang sudah tersedia. Berawal dari sepanjang Gatot Subroto yang katanya nantinya akan menjadi 'project pilot' untuk pedestrian2 yang lain sampai di pelosok Jakarta.
Niatnya memang baik. Konsepnya sangat ok, mulai membangun Jakarta sebagai 'kota ramah disabled'. Dan waktu itu aku sangat apresiatif bagi Pemda DKI untuk segera mulai peduli dengan warganya. Tetapi apa yang terjadi?
Memang jika kita melihat pedestrian di sepanjang Jalan Gatot Subroto, atau disepanjang Jalan Sudirman sampai Monas, itu memang benar2 'pedestrian impian'. Kita bisa berjalan santai dengan permukaan yang cantik ( warna warni ), ada keramik khusus untuk penyandang tuna netra, dan ada 'bench' untuk kita duduk dan istrirahat.
Walau secara fisik, pengerjaannya tidak ( atau belum? ) sesuai dengan kualitas Jakarta sebagai ibukota negara, dan secara kuantita tidak sesuai dengan konsep lebar jalan untuk disabled dengan kursi roda, paling tidak sudah cukuplah pedestrian itu dikatakan sebagai 'pedestrian imipian' di Jakarta.
Ya, sebagai pedestrian di Jakarta, sepertinya belum ada titik yang nyaman untuk berjalan. Termasuk di jalan2 protokol pun, tidak cukup nyaman untuk berjalan sebagai pejalan kaki. Selain pedestrian kekecilan ( hanya kurang dari 1 meter ), mungkin banyak pot tanaman yang mengganggu. Atau juga ada yang untuk warung serta sepeda motor parkir.
Sebenarnya, pedestrian yang ideal bagi sebuah kota besar, apalagi kota metropolitan dan ibukota negara, selain 'ramah disabled', badan pedestrian berkisar antara 1,5 meter sampai 2 meter. Konsepnya adalah, 2 orang sehat selebar 60 cm untuk bisa berpapasan ( jadi sekitar 1,20 meter ) + 1 orang lagi ( jika mungkin = 1,8 meter ). Atau di tambah sebuah kursi roda sekitar 80 cm ( 2 orang + 1 kursi roda = 1,2 meter + 0,8 meter = 2 meter ).
Bahkan sebuah pedestrian, standard internasional tidak lebih dari 6 mm sampai 1,3 cm, untuk kursi roda supaya tidak membuat disabled dengan kursi roda terjatuh dan mengalami kesulitan.
[caption id="" align="aligncenter" width="256" caption="www.un.org.gif"]
Walaupun juga, masih banyak sekali warga Jakarta yang dengan seenaknya saja menaikkan motornya ke pedestrian karena macet, sehingga di ujung2 pedestrian tersebut, di pasangi pipa2 besar dengan tujuan supaya tidak ada motor yang memasuki pedestrian tersebut.
Akibatnya, kursi roda pun tidak bisa masuk! Padahal niat awalnya adalah ingin membuat Jakarta mulai menjadi 'kota ramah disabled!'
Ckckckck ..... mungkin tetap saja keinginan kita tidak tercapai ......
***
Ketika di banyak titik mulai terbangun 'pedestrian impian' di Gatot Subroto, ternyata semakin tidak memungkinkan kota Jakarta sebagai kota yang ramah disabled! Mengapa?
Contoh di sepanjang jalan S.Parman dari Semanggi sampai Grogol, 'pedestrian2 impian' itu semakin tidak menjadi impian .....
Setiap hari aku melewai jalan ini, untuk ke kantorku di Grogol.Jika macet, aku pasti mengamati lingkungan dari mobilku, tetapi jika lancar berjalan aku lebih memilih menulis di note BB ku. Banyaj kejadian2 di sekeliling mobilku, aku rekam lewat kamera. Mungkin tidak langsung aku tuliskan, karena tema2 tulisan2ku 'mengantri' setiap hari.
Hari ini aku ingin menuliskan tentang pedestrian, ketika aku sedang ber-BBM dengan temanku sebagai penyandang tuna netra. Sambil ber-BBM, aku melihat2 pedestrian di jalan S.Parman, dan aku ingin membantu untuk temanku, salah satunya tentang 'kota yang ramah bagi disabled'.
Beberapa foto dibawah ini, mungkin bisa 'berbicara', walau aku tidak menuliskannya .....
Apa yang salah disini?
Jalur untuk penyandang tuna netra adalah yang berwarna kuning, dengan permukaan keramik untuk mereka yang memakai tongkat, sesuai dengan yang mereka pelajari. Permukaan keramik dengan sandi-sandi tertentu bagi penyandang tuna netra.
Tetapi, coba lihat! Jarak antara keramik kuning SANGAT DEKAT dengan tiang telpom dandengan tiang baliho. Bayangkan, ketika penyandang tuna netra mengetok2 kan tongkatnya dengan sandi2 tertentu diatas keramik kuning, si penyandang tuna netra tersebut BISA SAJA terantuk tiang2 itu karena TERLALU DEKAT!
[caption id="" align="aligncenter" width="388" caption="www.fhwa.dot.gov"]
Sebuah pedestrian yang nyaman adalah antara 1,5 meter - 2 meter, dengan pengumpulan asesoris perkotaan ( lampu, tempat sampah, pot2 bunga atau asesoris seni ) berada di depan dan ditengah2 merupakan pejalan kaki.
Untuk disabled akan nyaman dengan permukaan2 ssesuai dengan sandi2 yang mereka pelajari, serta kkursi roda nyaman berada di tengah2 pedestrian.
Mengapa keramik kuning TIDAK DI TENGAH?' Jika terlalu jauh, akan terganggu dengan tiang atau semak2! Apakah tidak ada yang memikirkan tentang ini?
Bisakah dibayangkan, ketika kaum disabled harus berjalan diantara tonggak2 itu ( lihat foto diatas ), menurut anda, mereka bisa?
Kesaksianku, sebagai Insan Pasca Stroke ( IPS ) dengan lumpuh ½ tubuh kanan. Walau aku bisa berjalan, tetapi aku harus berpegangan tangan dengan seseorang karena tubuhku tidak seimbang. Jika bisa berjalan pun, kaki kananku tidak bisa dikontrol, sehingga untuk melewati onggak2 pipa sekecil itu (sekitar 20 cm ), akan SANGAT MENYULITKAN AKU! Bagaimana dengan kaum tuna netra? Bagaimana dengan orang tua? Dan bagaimana dengan kursi roda?
Semuanya terfokus dengan KE-EGOIS-AN warga kota yang selalu membawa motonya keatas pedestrian, baik macet ataupun tidak, yang ( katanya ) untuk lebih cepat!
[caption id="" align="aligncenter" width="385" caption="www.cselandscapearchitect.com"]
Jangankan tiang2 pipa untuk menutup jalan motor di pedestrian Jakarta, standard pedestrian internasional justru terbuka bagi warga dan disabed!
Sebenarnya, maunya apa sih? Fungsinya apa dengan keramik kuning? Jika memang berniat untuk disabed, tidak begini caranya! Bisa dibayangkan, bagaimana teman2 kita penyandang tuna netr harus berjalan di pedestrian yang berantakan seperti ini! Mereka akan tersandung, dan keramik kuning tidak ada fungsnya! Ckckckck ......
Lalu, yang ini maunya bagaimana? Jika memang pedestrian harus tepotong untuk jalan masuk bangunan, ya janganlah seperti ini caranya!
Jangankan penyandang tuna netra, orang normal pun pasti sering tersandung! Jika harus terpotong, paling tidak tidak ada ANTARA nya! Harus 'smooth' dengan peringatan2 tertentu, khususnya untk disabled! Kacau sekali untuk sebuah pedestrian ibukota Jakarta ...... duh, memalukan!
[caption id="" align="aligncenter" width="467" caption="ntl.bts.gov"]
[caption id="" align="aligncenter" width="475" caption="www.tranffictech.com"]
Perhatikan standard internasional :
Jika pedestrian harus dipotong oleh pintu masuk bangunan atau lampu merah, konsepnya adalah ramp dan untuk disabled tuna netra harus sesuai dengan foto seperti ini!
***
Kembali dengan pedestrian di jalan S.Parman :
Apakah tidak ada yang mendesain dengan baik untuk pedestrian2 ini? Dengan skala perbandingan tertentu, para desainer ( arsitek, urban planner ) bisa merancang keramik2 cantik, sesuai dengan konsep ini.
Posisi keramik kuning dengan permukaan untuk penyadang tuna netra, harus sesuai dengan standard2 internasional, misalnya :
1.      Dimensi yang sesuai dengan  aturan
2.      Jarak2 bebas dari tiang, atau apapun yang dapat mengganggu disabled
3.      Dalam badan pedestrian harus 'smooth' dan tidak boleh ada sandungan2
4.      Dan sebagainya .....
Lalu apa bedanya, pedestrian sebelum 'project pilot' dengan pedestrian baru sekarang? Semuanya masih tidak ada bedanya! Ketika pedestrian baru sepanjang jalan Gatot Subroto sapai jalan Sudirman - Thamrin sampai Monas, membuat kita bermimpi memiliki pedestrian2 cantik di tempat2 lain di Jakarta, tetapi hasilnya SAMA SAJA!
Ada beberapa pemikiranku :
1.      Pemda atau siapapun yang mendesain, TETAP TIDAK PEDULI dengan kosep2 yang diinginkan oleh kaum disabled.
2.      Aku yakin, TIDAK ADA YANG MEMBUAT GAMBAR DESAIN NYA! Karena jika ada gambarnya, tukang2 atau kontraktornya akan membyat sesuai dengan yang di gambar.
3. Jika memang ada gambarnya, Pemda atau siapapun yang memutuskan, TIDAK MELIHAT GAMBARNYA TERLEBIH DAHULU.
4. 'Project Pilot' SAMA SEKALI TIDAK BERHASIL!
5.      Atau KONTRAKTORNYA yang tidak sesuai ( kalau boleh aku katakan : jelek sekali! ) dengan kontraktor setara sebuah ibukota negara!
6.      Ada 'udang dibalik bakwan?'
7.      Dan sebagainya ..... dan sebagainya .....
Sebagai arsitek yang sudah malang melintang lebih dari 20 tahun merancang bangunan2 besar dan fokus lapangan, aku merasakan         uang dihambur2kan untuk sebuah pekerjaan yang sia-sia! Hasilnya sangat tidak lebih baik dari yang drencanakan, bahkan semakin kesini, aku yakin semain buruklan cerita pedestrian baru.
Pak Jokowi, bagaimana ini?
Hanya sekedar pedestrian, salah satu bagian dari perkotaan yang paling kecil saja, terabaikan. Walau aku yakin, konsepnya cukup baik. Bagaimana mereka2 ( yang benar2 tidak peduli dengan kota dan negara kita, siapapun itu ) mau membangun kota dan negara kita?
Semuanya harus dari yang kecil2 dahulu saja, jika kita mau mendapat tanggung jawab yang lebih besar lagi. Jika kita mau peduli dengan yang ringan2 saja, seperti pedestrian ini, maka kita akan bisa membangun dunia ......
#maupilihsiapauntukmembangunnegaradandunia?bingung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H