Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampung Melayu = Kumuh dan Banjir (?)

7 April 2014   22:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By Christie Damayanti


[caption id="" align="aligncenter" width="556" caption="www.lintasme.com"][/caption]

Pemukiman bantaran sungai-pun sudah menjadi bangunan semi-permanen, dengan memakai material keras, bukan hanya material ayu atau tripleks dan 'gedeg' ...

***

Mendengar kata 'Kampung Melayu' pikiran kita pasti langsung menuju kata 'BANJIR'. Benar, tidak?

Kampung Melayu adalah kawasan di Jakarta Timur, berdekatan dengan tempat tinggalku di Tebet. Dan karean Kampung Melayu merupakan tetangga dengan Tebet, setiap saat aku selalu berada di kawasan itu untuk berbagai hal.

Yang pasti, jembatan layang Kampung Melayu adalah tempat berputarnya mobilku dari arah jalan Casablanca untuk menuju ke komplek perumahanku. Atau juha Kampung Melayu adalah tempat lintasan sekolah anak2ku yang berada di Jatinegara dan di Cipinang. Sehingga minimal tiap pagi dan sore kami selalu melintasi Kampung Melayu untuk berkegiatan ...

Kawasan Kampung Melayu memang berbeda dengan kawasan2 di Jakarta. Kata orang, kawasan ini memang mendapat julukan 'kawasan slump', karena sebagian besar kawasan ini merupakan daerah pemukiman padat (sekali), dimana sebenarnya Kampung Melayu dilalui oleh Sungai Ciliwung dan DAS (daerah aliran sungai  nya merupakan pemukiman bantaran sungai.

Sebenarnya DAS tidak diperuntukkan sebagai dareah pemukiman tetapi karena penduduk kota Jakarta yang sngat padat, membuat warga kota lebih memilih tinggal di bantaran sungai ketimbang 'pulang kampung' untuk membangun desanya.

Ketika aku masih kecil, aku sudah tinggal di rumah orang tuaku yang sekarang ini di Tebet. Mlai tahun 1972 dan tahun 1974 aku bersekolah di sebuah TK di Salemba, lagi2 selalu melewat Kampung Melayu.

Waktu itu jalanan disana sangat2 kecil. Hanya masuk untuk 2 mobil tetapi itu sangat pas, karena di sebelah kanan dan kirinya (yang sekarang berubah menjadi ruko2) adalah Pasar Kampung Melayu. Jalanannya becek sekali. Dan jujur, aku malas lewat sana karena terlihat sangat kotor dan sumpek! Sehingga jika waktunya tidak terlalu kepepet, kami pasti memutar lewat Cawang atau Bukit Duri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun