By Christie Damayanti
[caption id="" align="aligncenter" width="610" caption="kompas.megapolitan.com"][/caption]
Sebuah bangunan, itu harus memakai dasar2 untuk bisa dibangun. Paling tidak untuk membangun ( apapun itu, baik fisik maupun sosial masyarakat ), harus mempunyai dasar aturan ( peraturan ) dan konsep2, sesuai dengang tata sosial masyarakatnya. Tidak boleh tidak. Karena jika misalnya kita mau membangun sebuah rumah di bantaran sungai, pasti dilarang! Karena tidak sesuai dengan aturan. Atau juga konsepnya apa? Mengapa membangun rumah di bantaran sungai?
*Masalahnya adalah warga kota yang memang tidak mempunyai uang untuk membeli rumah, pastilah mereka tinggal di ( misalnya ) bantara sungai, walau dilarang.
Tetapi yang jelas, sebuah bangunan ( terutama fisik ) memang ada aturanya dan mempunyai konsep yang sesuai dengan sosial masyarakat dan arsitekturalnya. Apalagi bangunan di kota Jakarta.
Di Jakarta ini, paling tidak menurut, banyak bangunan2 yang tidak mempunyai aturan ( peraturan di langgar ) dan tidak mempunyai konsep. Terutama bngunan2 menengah, tidak terlalu besar, termasuk rumah2 yang bukan berada di real estate. Karena yang aku tahu dan yang berhubungan dengan pekerjaanku sebagai arsitek, beberapa pemilik proyek pribadiku sengaja membangun tanpa ijin. Jika demikian adanya, aku langsung mengundurkan diri sebagai konsultannya. Biarkan mereka mencari konsultar arsitektur sendiri, yang mau membangun tanpa ijin. Dan pasti mereka minta biaya konsultasi dan desain yang cukup mahal!
Lihat tulisanku 'Arsitektur' untukku : Bagian dari Keselarasan Hidup dan Idealime
Ok. Aku tidak mau bercerita tentang proyek2 pribadiku. Yang mau aku ceritakan adalah sebuah jalan layang di Kalibata, yang menuruku brnar2 tidak mempunyai konsep.
Jalan layang di bangun pasti mempunyai tujuan yang jelas, karena jika tidak, itu akan hanya sekedar 'buang2 uang saja'. Karena tidak murah untuk membangun jalan layang.
Di Kalibata ada sebuah jalan layang yang dibangun dengan tujuan untuk bisa melancarkan lalu lintas. Karena perempatan di bawah jalan layang tersebut memang agak sedikit crowded, kumuh dengan PKL2nya serta jika hujan pasti banjir atau sekedar banjir kiriman dari Bogor. Jadi jalan layang disana memang sudah di programkan untuk dibangun, dan memang sesuai dengan tujuannya.
Jalan itu sudah ada dari sejak beberapa tahun lalu. Secara fisik, jalan layang sudah ada, pengendara nyaman bermobil disana. Malasahnya adalah, DETAIL fungsi, arsitektural serta peraturannya masih samar.
Mengapa aku mengatakan 'masih samar?'
Aku cukup bingung ketika pertama kali aku lewat jalan layang tersebut beberapa tahun lalu, arsitekturalnya tidak karuan. Bukan aku saja,yang merasa bingung, melainkan keluargaku juga bingung.
[caption id="" align="aligncenter" width="483" caption="metro.news.viva.co.id"]
Jalan layang Kalibata yang sempit, sekarang jalur tengahnya sering dititp dengan beton, sehingga semakin sempitlah disana, apalagi jika ada pejalan kaki keatas .....
*Eh, kenapa pejalan kaki ke atas ya? Padahal tidak disediakan pedestrian sama sekali. Lalu???
Bukan dilihat dari keindahannya ( jalan layang tidak untuk ber-indah2 ), tetapi fungsinya. Jalan layang itu memang cukup sempit, hanya 2 jalur berbalikan. Ditengah2nya dipasangi beton2 untuk pengendara tidak bisa saling mendahului. Seperti biasa, tidak mempunyai pedestrian karena memang tidak untuk pejalan kaki. Pejalan kaki lewat bawah, kecuali mungkin memang banjir. Lagi pula jika dalam keadaan normal, 'ngapain pejalan kaki capek naik jalan layang?
Pejalan kaki naik ke jalan layang? Untuk apa? Enakkan berjalan kaki dibawah dan tidak cape .....
Eh, tetapi ternyata di atas jalan layang, di kedua sisinya terdapat 'sayap' yang cukup lebar dan sepanjang titik tertinggi itu menjadi seperti untuk bersantai. Tetapi pun, tetap diberi beton2 sepertinya supaya mobil tidak boleh berhenti. Iya, jika tidak 'emergency' memang mobil tidak boleh berhenti disana, tetapi mengapa harus sepanjang titik tertinggi ( mungkin sekitar 20 meter atau 30 meter ) harus ada tempat yang akhirnya di tutup dengan beton?
Ternyata di titik tertinggi di jalan layang itu, mempunyai sayap pelataran. Untuk apa? Aku tidak tahu! Mungkin untuk nonton banjir?? Atau untuk nonton pemukiman padat???
Coba bayangkan : sebenarnya tempat itu untuk apa ya? Jika untuk 'emergency', mengapa dijejeri beton2? Bahkan di titik2 tertentu ada sampah2 yang tidak prnah dibuang .....
Apa sih konsepnya?
Konsepnya? Aku tidak tahu! Yang jelas, dengan sayap2 di sisi kanan kiri ttik tertingi jalan layang tersebut, mejadikan jalan itu seperti ini :
1.      Berantakan, karena beton2nya tidak dijejer dengan baik, bahkan terkesan seenaknya saja
2.      Kotor karena sepertinya ada yang membuang sampah di pelataran tersebut
3.      Pejalan kaki, justru sengaja ke atas untuk bersenda gurau dengan teman2nya, tiap pagi atau sore. Mereka duduk2 di atas beeton sambil makan camilan.
4.      Dengan para pejalan kaki keatas, dengan tidak adanya pedestrian, membuat kemacetan karna mereka biasanya berjalan bergerombol di badan jalan
5.      Beberapa motor sengaja keatas dan berhenti diatas sambil santai
6.      Seperti biasa, jika serombongan warga Jakaarta bersantai di suatu titik, akan ada corat-coret serta buang sampah sembarangan
7.      Sepertinya mereka melihat 'view' sungai Ciliwung dan perumahan padat penduduk
8.      Kecelakaan bisa saja terjadi! Paling tidak, terserempet! Supirku beberapa kali menyerempet pejalan kaki, karena memang jalan layang itu sempit
[caption id="" align="aligncenter" width="440" caption="indonesiarayanews.com"]
Ternyata ....... di titik tertinggi jalan layang ini ada sayap pelataran, untuk 'bersantai', sambil melihat 'pemandangan' banjir atau perumahan padat penduduk ...... ckckck ....
Motorpun banyak parkir dan anak2 muda itu dengan seenaknya saja membuang sampah dan mencorat-coret dinding riling jalan layang tersebut .....
[caption id="" align="aligncenter" width="452" caption="metro.news.viva.co.id"]
Nonton banjir .....
Jika aku sehat dan jalanku normal,sepertinya aku akan keatas berjalan kaki, untuk memantau kegiatan mereka. Sebenarnya, apa sih mau mereka?
Untukku, sebenarnya yang salah adalah yang mendesain jembatan layang tersebut. Apa yang membuat si desainer memberi pelataran di titik tertinggi. Untuk apa? Dan jika memang pelataran tersebut untuk 'bersantai2', mengapa tidak mendesain trotoar bagi pjalan kaki naik atau turun? Dan mengapa pelataran tersebut ditutup ( juga ) dengan beton?
***
Jalan layang di Kalibata ada 2. Ini yang kedua jika kita bermobildari Taman Makam Pahlawan. Jalan layang yang pertama, lebih bagus. Lebar jalan sesuai dengan konsepnya, dan berada di depan Rusunami serta 2 buah mall, dan mungkin inilah yang membuat si desainer mendesain cukup cantik, untuk bisa dilihat di mall atau dari rusunami.
[caption id="" align="aligncenter" width="451" caption="jakartabiennale.net"]
Tetapi ternyata juga, jalan layang Kalibata pertama yang berada di depan mal dan rusunami ini pun, tidak digunakan sebagaimana mestinya!
Jika malam minggu, anak2 muda yang 'kurang kerjaan' nonton balapan motor di bawahnya! Dan banyak juga yang memakai jalan layang ini asik masyuk berpacaran disana. Jangan2 memang ada 'transaksi2 bisnis hitam' ..... ah, entahlah .....
Tetapi jalan layang kedua ini, menurutku cukup 'menyedihkan'. Seperti dibangun asal2an dan tidak cukup terawat dengan baik. Apa yang membuat pemda membedakan kedua jalan layang tersebut? Entahlah .....
Ah, ini memang tulisan iseng2, mungkin tidak ada yang peduli. Tetapi konsep jalan layang itu mengusikku, sebagai arsitek. Sungguh tidak arsitektural, dimana sebuah jalan layang yang berada di ibukota Jakarta, dan berdekatan dengan jalan layang yang lain, yang lebih cantik .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H