Mohon tunggu...
Christie Stephanie
Christie Stephanie Mohon Tunggu... -

Siswi kelas 9A SMP Tunas Harapan Nusantara. Remaja labil yang berpikiran pendek dan menganggap menulis adalah bagian hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan

18 September 2013   22:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:42 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Moving on doesn't mean you forget about things. It just means you have to accept what's happened and continue living." ~ Erza Scarlet (Fairy Tail)

"The time known as "LIFE", cannot be rewound." ~ Ultear Milkovich (Fairy Tail)

"Pengampunan tak akan mengubah apa yang telah terjadi dimasa lalu, namun akan sangat berarti untuk hari ini, dan hari-hari yang akan datang."

Sudah 2 jam lamanya Amel hanya duduk terdiam dan merenungi segala peristiwa yang terjadi hari ini. Angannya tengah melayang tinggi entah menuju ke dunia mana. Hanya bibir mungilnya yang terkadang menggumamkan kata-kata tak jelas. Dosa apa dirinya. Hanya itu yang berkelebat dipikirannya saat ini.

Dia mulai tak tahu kemana dunia ini mengarah sekarang. Kata orang zaman dulu, jujur itu baik. Nah, kalau sekarang? Jujur malah membawa petaka tersendiri untuk Amel. Sungguh, dia tidak tahu yang salah adalah telinganya, kejujurannya, mulutnya, atau temannya itu.

Pasalnya, 2 jam lalu, secara tak sengaja, Amel mendengar percakapan salah satu temannya, Rina, yang menjelek-jelekkan sahabatnya yang lain, Tia. Dengan polos dan tanpa pikir panjang, Amel dengan jujur mengungkapkan apa yang didengarnya dari mulut Rina kepada Tia. Tanpa diduganya, masalah menjadi bertambah panjang dan rumit. Tia memperkarakan ini semua kepada Rina. Rina justru kembali menuduh Amel. Tia bingung harus percaya kepada siapa, Tia ada dipihak netral.

Amel tahu, itu bukan masalah terlalu serius, hingga menyangkut hidup dan mati, atau menyangkut pendidikannya di bangku SMA, bukan masalah itu. Ini masalah kepercayaan orang lain padanya. Apakah hanya dengan penjelasan, Tia akan percaya kepadanya seperti semula? Ia saja tak berani menjamin agar setidaknya Tia mau mendengar penjelasannya.

Amel merasa kepercayaan diri yang dimilikinya di hadapan teman-temannya benar-benar lenyap tak bersisa sekarang. Dia merasa malu kalau harus bertemu dengan Rina, Tia, atau teman-temannya yang lain.

Genap seminggu semenjak kejadian tersebut, Rina dan Tia mencegat Amel ketika Amel hendak mengambil barang-barang di dalam loker sepulang sekolah. Amel hanya terpaku tak mengerti.

"Mel," Rina hanya memanggilnya dengan suara pelan. Amel tetap tak merespon. Amel masih belum bersuara.

"Maaf ya, Mel, gue bohong soal yang waktu itu. Gue cuma takut ketahuan sama Tia, Mel," Rina memohon dengan wajah memelas. Amel masih tak mengerti.

"Iya, maaf, Mel. Rina bohong waktu itu.. Tapi serius deh, gak apa-apa kok, gue terima aja. Semua yang diomongin Rina kan cuma opini, semua orang bebas beropini dan berpendapat mengenai orang lain walaupun itu hanya terlihat dari analisa atau kesan pertama. Salah gue juga sih langsung main labrak dan main perkarain sama Rina," Tia menjelaskan panjang lebar. Dalam hati, diam-diam Amel hanya manghaturkan syukurnya pada Tuhan.

Amel mulai menarik kedua sudut bibirnya ke atas, membentuk sebuah senyuman tulus. "Gak apa-apa kok, gak masalah," Amel mengucapkannya dengan riang dan ringan.

"Lo yakin, Mel? Lo maafin gue?" Rina tak mampu mempercayai apa yang Amel putuskan dan Amel katakan. "Gue kan udah ngelakuin hal yang ngerugiin lu, Mel?"

Amel hanya tertawa mendegar penuturan Rina. Otomatis, kedua orang di hadapannya hanya dapat terdiam karena bingung. "Ayolah, gue emang gak bisa nyuruh kalian ngelupain hal yang udah terjadi itu, tapi ngejadiin itu pelajaran bukannya lebih baik?" Amel kembali menjelaskan panjang lebar, membuat Rina dan Tia hanya manggut-manggut mengerti. "Maaf dari gue emang ga bisa ngerubah apa yang udah terjadi 1 minggu lalu, tapi berpengaruh banget buat hari ini dan seterusnya, bukannya itu lebih penting?"

Diam-diam, Rina dan Tia terharu akan kata-kata Amel. Kata-kata Amel sangat benar. Maaf dari Amel tidak bisa merubah apa yang telah terjadi pada mereka, tapi bisa kembali menstabilkan hubungan pertemanan mereka untuk hari ini dan masa mendatang. "Makasih, ya, Mel!"

"Gak masalah!" Amel tersenyum riang. Dia setuju dengan apa yang dikatakan orang zaman dulu. Jujur itu baik. Walaupun berawal dari petaka, ujungnya pasti baik. Mereka pulang bersama, dipayungi oleh langit cerah sang siang yang tak berawan dan tak berangin, bertemankan mentari yang kini tersenyum tak kasat mata di singgasananya ketika melihat 3 gadis itu berjalan beriringan menuju rumah mereka masing-masing.

-The End-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun