Oleh Christian Timor, No. 54
Â
Aku punya satu pertanyaan untukmu, tapi sebelumnya simak dulu kisah ini sebelum jawab kau beri.
Entah di tahun yang keberapa - aku lupa angka pastinya - kulihat engkau bersenyum manis dengan beberapa teman dalam sebuah percakapan. Kau bertingkah dengan celoteh sederhanamu, menjabarkan anugerah yang Tuhan titipkan dalam markas besar hatimu.
Dan di antara kesembrautan celoteh yang berjalan itu akhirnya jatuhlah sesuatu pada hal aku cuma sekali bermunajat; bolehkan waktu berbesar hati menyediakan ruang biar kucubit hidungnmu? Atau ini mungkin saja hadiah dari alam atas ketidak-sadaran paras kalbumu saat menjatuhkan benih-benih pesona ketika waktu mempertemukan cakap kita.
Lalu jadilah aku bingung mencari cara meredam kejanggalan-kejanggalan yang seolah memamahbiak dengan seenaknya dalam gendongan perasaan. Kejanggalan jatuhnya sayangku dalam ketidak-warasaan hati dan logika.
Bukan saja itu yang terjadi, pada semua malam yang datang tersuguhkan juga bergelas-gelas puisi tentang namamu untuk kualirkan.
Tapi ada juga kejengkelan dan itu adalah kekecutanmu yang kau hidangkan seenak udelmu pada saat malam purnama di atas atap rumah.
Namun kebaikannya ialah aku mulai paham bahwa kau adalah makluk setengah amburadul lagi setengah sweety yang butuh ketenangan untuk di pahami, tapi begitu menggoda bila di ajak menyusuri jalan-jalan yang berselimutkan daun kering.
Dan itu yang membuatku ingin bertanya: boleh aku meminangnya?
Â
Â
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akunFiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H