Mohon tunggu...
Christian Oswald Mangatur
Christian Oswald Mangatur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Electrical Engineering Student At Udayana University and Renewable Energy Enthusiast

Belajar menulis seputar energi baru terbarukan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Percepat Transisi Energi, Dengan Interkoneksi atau Desentralisasi?

27 Februari 2022   23:43 Diperbarui: 28 Februari 2022   00:04 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Transisi energi merupakan sebuah keniscayaan. Saat ini produksi minyak hanya sebesar 700 ribu barel per hari yang tak sebanding dengan konsumsinya, yakni sebesar 1,5 juta barel per hari. Isu perubahan iklim pun turut menjadi dasar untuk beralih dari penggunaan energi fosil yang tidak ramah lingkungan menjadi energi yang lebih bersih dan sustainable. Sejak diterbitkannya Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang tertuang dalam PP Nomor 79 Tahun 2014, Indonesia sudah mulai menunjukkan kesadaran akan pentingnya isu transisi energi untuk mewujudkan ketahanan energi nasional.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki potensi Energi Baru Terbarukan sekitar 600 GW yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar 10 GW. Sebagai negara yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk menyediakan listrik yang berasal dari sumber Energi Baru Terbarukan (EBT).

Fabby Tumiwa selaku Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa interkoneksi menjadi kunci untuk memanfaatkan 100% potensi energi terbarukan di Indonesia. Sedangkan Nicke Widyawati selaku Direktur Utama PT Pertamina (PERSERO) dalam acara Peluncuran Transisi Energi G20 mengatakan bahwa pendekatan interkoneksi tidak relevan untuk mengakselerasi transisi energi di Indonesia karena harganya akan sangat mahal dan tidak andal. Nicke juga mengatakan selain mendorong industri untuk bertransisi, kita juga harus membangun desentralisasi. Lalu pendekatan apa yang paling tepat untuk mengakselerasi transisi energi di Indonesia?

Dalam upaya transisi energi, pemerintah telah merencanakan berbagai upaya untuk meningkatkan bauran EBT, salah satunya melalui rencana Interkoneksi. Interkoneksi dalam ketenagalistrikan dapat dikatakan sebagai penghubungan jaringan-jaringan transmisi baik dalam suatu pulau maupun dengan pulau-pulau lainnya. Dalam peta jalan Indonesia menuju Net Zero Emission pada tahun 2060, pemerintah menargetkan interkoneksi antar pulau mulai COD (Commercial On Date) pada tahun 2031.

Bukan tanpa alasan, interkoneksi menjadi solusi atas potensi EBT yang tidak merata dan cenderung jauh dari pusat-pusat beban. Sumber EBT juga tidak dapat dikirimkan dari suatu tempat ke tempat lainnya, sehingga yang dapat dikirimkan hanyalah dalam bentuk listrik melalui jaringan interkoneksi. Dengan adanya interkoneksi, potensi EBT yang begitu besar pada suatu daerah dapat dimanfaatkan untuk memenuhi daerah dengan kebutuhan listrik yang tinggi seperti pulau Jawa. Daerah yang memiliki potensi EBT yang besar tersebut akan menjadi pusat pembangkit skala besar untuk membantu supply listrik pada daerah lain sekaligus meningkatkan bauran EBT.

Kebalikan dari interkoneksi sebagai upaya penghubungan suatu daerah dengan daerah-daerah lain, desentralisasi berfokus untuk menciptakan daerah yang mandiri terkait akses energi dengan mengedepankan pemanfaatan potensi sumber energi terbarukan yang dimiliki. Desentralisasi diperlukan sebagai solusi pemenuhan energi, hal tersebut disebabkan karena adanya tantangan geografis yang menjadi kendala tidak meratanya akses terhadap jaringan listrik dari PLN. Sebagai upaya pengembangan EBT, desentralisasi dapat membantu meningkatkan bauran EBT dengan memanfaatkan potensi EBT yang tersebar.

Dalam pendekatan desentralisasi, pemenuhan kebutuhan energi dilakukan dengan memperbanyak pembangkit-pembangkit listrik skala kecil berdasarkan sumber energi terbarukan yang tersedia pada daerah tersebut. Beberapa contoh implementasi desentralisasi adalah pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap pada rumah-rumah ataupun pemanfaatan aliran sungai untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Konsep desentralisasi juga membawa perubahan dari sisi konsumen, dimana konsumen tidak hanya mengkonsumsi listrik saja namun turut serta merasakan menjadi produsen listrik.

Melihat kedua pendekatan tersebut, Interkoneksi cenderung menjadi upaya yang lebih tepat dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Hal tersebut disebabkan potensi EBT yang tersebar di seluruh Indonesia namun tidak sebanding dengan beban pada daerah tersebut. Dengan adanya interkoneksi tersebut seluruh potensi energi terbarukan dapat dimanfaatkan sepenuhnya tanpa perlu mempertimbangkan kemungkinan oversupply. Produksi listrik yang berlebih dapat dialihkan untuk memenuhi kebutuhan di daerah lain yang membutuhkan.

Tidak bisa dipungkiri untuk membangun interkoneksi diperlukan biaya investasi yang tidak sedikit. Namun hal tersebut dapat dilakukan perlahan dengan memulai interkoneksi dalam pulau yang memiliki kebutuhan beban yang tinggi dan akhirnya dilanjutkan dengan interkoneksi antar pulau lainnya. Walaupun biaya investasinya yang mahal, interkoneksi berpotensi memberikan sejumlah manfaat seperti membuat sistem ketenagalistrikan menjadi lebih andal, mengurangi biaya investasi yang diperlukan untuk membangun pembangkit, dan keamanan pasokan yang terjamin.

Namun dengan pendekatan interkoneksi akan sangat sulit untuk mencapai 100% rasio elektrifikasi karena terdapat beberapa daerah yang memiliki kendala geografis. Oleh karena itu, pendekatan desentralisasi juga diperlukan untuk melistriki daerah-daerah tersebut sekaligus meningkatkan pemanfaatan EBT setempat. Walaupun pendekatan interkoneksi lebih efisien untuk dilakukan, desentralisasi juga perlu ditingkatkan juga sebagai upaya akselerasi transisi energi di Indonesia.

Baik interkoneksi maupun desentralisasi, keduanya merupakan upaya yang sangat tepat untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Namun dalam setiap upaya yang dilakukan, pemerintah harus memastikan bahwa upaya yang dilakukan membawa kesejahteraan bagi masyarakat dan tidak menyengsarakan. Sebagai masyarakat, kita juga harus terus mendukung upaya pemerintah untuk mewujudkan transisi menuju energi bersih dan sustainable.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun