Banyaknya jumlah penduduk di Indonesia mendorong permintaan energi yang semakin besar. Sayangnya, energi fosil yang kurang ramah lingkungan dan tidak terbarukan masih menjadi pemain utama dalam pemenuhan energi di Indonesia. Untuk mencegah dampak buruk yang berkelanjutan, urgensi terhadap energi bersih harus terus digaungkan.
Penggunaan energi fosil berkaitan dengan perubahan iklim. Melihat hal tersebut Indonesia melakukan ratifikasi Paris Agreement sebagai komitmen global untuk mencegah perubahan iklim.Â
Dalam perjanjian tersebut, Indonesia bersama negara-negara lainnya sepakat untuk menjaga kenaikan suhu bumi agar tidak melebihi 2 derajat celcius dan menjaganya tetap dibawah 1,5 derajat celcius. Meninggalkan ketergantungan terhadap fosil menjadi langkah untuk mencegah terjadinya perubahan iklim.
Bicara mengenai transisi energi, tentu tidak bisa lepas dari pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Sebagai sumber energi yang rendah karbon dan juga berkelanjutan, EBT menjadi alternatif yang mampu menggantikan energi fosil.Â
Pemerintah sendiri telah mengambil langkah awal untuk mengurangi penggunaan energi fosil melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang ditulis dalam PP No 79 Tahun 2014.Â
Dalam KEN, diharapkan pengembangan energi di Indonesia memiliki bauran energi yang optimal dengan menargetkan bauran EBT minimal sebesar 23% pada tahun 2025.
Berdasarkan laporan Capaian Kinerja Subsektor EBTKE pada tahun 2021, bauran EBT baru mencapai 11,5%. Kenaikan yang hanya mencapai 0,3% dari tahun 2020 menunjukkan adanya kelambatan dalam transisi energi saat ini.Â
Tak hanya karena pembangunan pembangkit listrik energi fosil yang juga meningkat, investasi di subsektor EBTKE yang masih rendah pun juga menjadi penyebabnya. Pada tahun 2021 investasi pada subsektor EBTKE hanya mencapai 1,51 Miliar USD dari target sebesar 2,04 Miliar USD.
Tidak bisa dipungkiri, biaya investasi dan teknologi menjadi salah satu pemegang suksesnya transisi energi di Indonesia. Beralih dari energi fosil yang penggunaannya masif menjadi sumber energi yang lebih bersih memerlukan biaya yang tidak sedikit. Minat investasi EBT yang masih rendah salah satunya karena belum adanya peraturan yang menjamin investasi di bidang EBT.
Forum G20 pada tahun 2022 menjadi angin segar bagi Indonesia. Hadirnya suatu forum kerjasama multilateral yang menghimpun 19 negara dan satu organisasi regional, menjadi suatu peluang terciptanya kerjasama yang menguntungkan. Pada G20 kali ini, Indonesia menjadi negara berkembang pertama yang memegang tugas presidensi.