Mohon tunggu...
christiankerryputra
christiankerryputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa semester 1 Universitas Airlangga dengan prodi Ilmu Hukum.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

PPN 12 Persen Batal Naik? Untung atau Buntung?

10 Januari 2025   06:29 Diperbarui: 10 Januari 2025   06:29 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menuai perhatian besar dari Masyarakat maupun pengamat ekonomi. Namun, baru-baru ini muncul kabar dari Presiden Terpilih Pak Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa kenaikan PPn 12% hanya berlaku bagi barang mewah saja sedangkan untuk kategori barang non mewah dan jasa atau barang tak berwujud, sistem pengenaan PPN yang dibayar konsumen tetap 11 persen. Maka dari itu apakah penetapan kebijakan kenaikan PPN sebesar 12% untuk barang mewah menguntungkan bagi Masyarakat? atau justru malah membuat buntung keuangan Masyarakat? Mari kita masuk kedalam pembahasan inti.

Apa sebenarnya alasan dibalik kenaikan PPN dari 11% Menjadi 12%? Kenaikan PPN menjadi 12% sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 2021. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan penerimaan negara demi menopang berbagai program pembangunan. PPN, yang dikenakan pada konsumsi barang dan jasa, merupakan salah satu tulang punggung penerimaan pajak Indonesia. Pada 2023, kontribusi PPN terhadap total penerimaan pajak mencapai sekitar 41%, menurut data Kementerian Keuangan. Namun, di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi, kenaikan PPN dianggap berisiko membebani daya beli masyarakat yang baru mulai pulih. Inilah alasan mengapa wacana penundaan muncul.

Penerapan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% khusus untuk barang mewah memiliki beberapa dampak terhadap masyarakat. Dari sisi penerimaan negara, kebijakan ini dapat meningkatkan pendapatan yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan program kesejahteraan sosial. Selain itu, kenaikan PPN pada barang mewah juga berpotensi mengurangi konsumsi barang-barang tersebut, karena konsumen cenderung menunda atau mengurangi pembelian akibat harga yang lebih tinggi. Meskipun demikian, dampaknya terhadap inflasi umum diperkirakan minimal, karena barang mewah bukan merupakan kebutuhan pokok bagi mayoritas masyarakat. Di sisi lain, kebijakan ini dapat dianggap sebagai langkah progresif yang menargetkan kelompok berpenghasilan tinggi, sehingga berpotensi mengurangi kesenjangan ekonomi. Dengan demikian, penerapan PPN 12% pada barang mewah diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara tanpa memberikan tekanan besar pada masyarakat berpenghasilan rendah, sekaligus mendorong distribusi pendapatan yang lebih adil.

Oleh: Christian Kerry - NIM 131241243 - PDB 98- Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun