Hubungan kami dengan para santri serupa dua aliran sungai yang akhirnya bertemu di satu muara. Meski datang dari arah berbeda, kami bermuara pada tujuan yang sama: menciptakan dunia yang penuh cinta kasih dan pengertian.
Menutup Cerita, Membuka Cakrawala
Saat bus kami perlahan meninggalkan Pondok Pesantren Terpadu Bismillah, tempat itu terasa seperti sebuah oase yang menyegarkan jiwa. Ia tak hanya menjadi saksi perjalanan kami, tetapi juga menjadi ladang tempat kami menanam benih pemahaman. Seperti matahari pagi yang selalu menyapa dengan hangat meski kita tak selalu memandangnya, pondok ini memberikan pelajaran tanpa pamrih, mengajarkan bahwa kebersahajaan memiliki keindahan yang mendalam.
Pondok pesantren itu ibarat pohon beringin besar, akarnya menghujam kuat ke tanah tradisi, tetapi cabangnya merentang lebar, menyentuh segala yang ada di sekitarnya. Setiap detik yang kami habiskan di sana, dari lantunan doa hingga tawa santri, adalah cabang-cabang kecil yang menjangkau hati kami. Kokok ayam di pagi hari seperti alarm yang membangunkan kami dari kebutaan terhadap keberagaman, dan senyum para santri adalah cermin betapa kasih sayang bisa melampaui batas keyakinan.
Kami kembali ke Jakarta dengan semangat baru, seperti petani yang pulang membawa bibit terbaik dari ladang. Semoga benih yang ditanam di hati ini tumbuh menjadi pohon besar yang rindangnya mampu menaungi siapa saja, menjadi saksi bahwa harmoni bukan mimpi, melainkan sebuah pilihan.
"Maka biarlah kami terus berlayar,
di laut perbedaan yang menyatukan.
Di bawah langit yang menyimpan doa semua umat,
kami membawa harmoni sebagai hadiah,
untuk dunia yang lebih baik."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H