Mohon tunggu...
Christian Dion
Christian Dion Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Mahasiswa fakultas hukum yang menyuarakan isu-isu sosial, politik, dan kemanusiaan. Gloria Dei Vivens Homo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asmara Kemanusiaan dan Idealisme Anak Muda Masa Kini

18 September 2024   06:08 Diperbarui: 18 September 2024   06:08 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asmara bersama KONTRAS dalam pengusutan kasus kematian Munir (asmaranababan.org

Gloria Dei Vivens Homo (Ireneus 130-202)

Kemuliaan Tuhan adalah manusia yang bersungguh-sungguh melakukan pekerjaan-Nya. Kisah asmara tidak lepas pada romantika adagium-adagium yang indah. Begitulah kiranya Ireneus dari Lyon seorang teolog memaparkan pemikirannya akan Tuhan dan manusia itu sendiri. 

Pada hakikatnya manusia mampu memahami panggilannya ketika ia lahir ke dunia. Manusia lahir sebagai zoon politicon sebagaimana diutarakan oleh Aristoteles (384-322 SM). Zoon politicon berarti manusia adalah makhluk sosial sekaligus makhluk politis yang tidak lepas pada kepentingan yang ia miliki (Magnis-Suseno, 2016, 11-14). 

Setiap kepentingan manusia merupakan sisi dari individualisme manusia sendiri yang selalu berlindung agar kepentingannya tidak diberangus dan ditaklukan oleh orang lain. Sayangnya sisi individualisme manusia ini justru mengarah pada ungkapan Hobbes (1588-1679) yaitu "Homo Homini Lupus" yang berarti manusia adalah serigala bagi orang lain (Hardiman, 2019, 71). Ternyata terjadilah apa yang diungkapkan Hobbes di masa kini. Manusia semakin lupa akan hakikatnya sebagai makhluk sosial, tetapi cenderung berperan sebagai individu yang saling menguasai dan menindas. Dalam hal ini idealisme telah luntur di mata manusia.

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan ternyata juga tidak lepas pada sifat individualisme dan haus kuasa yang menghantui orang-orang yang duduk di ranah kekuasaan. Rezim otoritarianisme dan represif Orde Baru benar-benar membahwa bangsa Indonesia kepada kondisi yang diungkapkan Hobbes. Maka menjadi sebuah pertanyaan, adakah manusia yang benar-benar paham akan panggilannya untuk benar-benar menjadi manusia di tengah rezim represif dan jauh dari kata kemanusiaan ini? Jawabannya ada. 

Sosok Asmara Victor Michael Nababan (1946-2007) yang kala itu merupakan bagian dari Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi salah satu tokoh cerita romantika asmara kemanusiaan itu. Asmara itu indah, tetapi tak selamanya romantika itu berujung pada kebahagiaan. P

ria kelahiran Siborongborong Sumatera Utara ini sudah mengenal romantika kemanusiaan ini sejak ia duduk di bangku kuliah. Asmara hadir sebagai aktivis di tengah ketidakpastian rezim di tahun 1965. Ketika Soekarno resmi digulingkan tahun 1966 Asmara hadir sebagai orang yang berada di jalan tengah. Meskipun kakaknya Panda Nababan  di tahun 1966 sempat dijebloskan di bui karena dianggap sebagai Soekarnois.

Asmara Di Tengah Ketidakpastian 

Di tengah ketidakpastian rezim dimana lama berganti baru memiliki polanya sendiri dalam berkuasa. Orde Baru hadir sebagai masa baru dengan semangat baru dalam pemerintahan, tetapi apa buktinya? Ternyata Orde Baru telah mengingkari janjinya sebagai harapan bangsa. Kasus-kasus korupsi merajalela tatkala di tahun 1970 terjadi lonjakan harga minyak internasional akibat perang Timur Tengah. Di tengah bonanza minyak ini, negara mendapatkan pajak yang besar dari minyak sehingga Pertamina sebagai otoritas perminyakan nasional pun mulai melakukan ekspansi bisnis di bidang perhotelan, resort, dan lapangan golf. Hal ini jelas semakin menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam negeri. 

Asmara Nababan yang kala itu masih duduk di bangku Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama dengan Arief Budiman, Marsillam Simanjuntak, dan Sjahrir mendirikan Komite Anti Korupsi (KAK) sebagai tandingan dari Komisi Empat yang didirikan oleh Soeharto tanggal 31 Januari 1970 dengan Wilopo sebagai ketua (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 28-30). KAK dibentuk dengan alasan lambannya kinerja Komisi Empat dalam menangani kasus korupsi yang ada di Indonesia. Asmara Nababan dalam hal ini berperan sebagai penggiatnya bersama Akbar Tanjung, Thoby Mutis, dan kawan-kawannya. 

Selain itu Asmara Nababan juga terkenal karena kampanye "Golput" yang ia suarakan dalam pemilu tahun 1971. Sistem Golkarisasi yang tidak demokratis ini membuat Asmara Nababan bersama dengan Arief Budiman, Imam Waluyo, Julius Usman, Jusuf AR, Marsillam Simanjuntak, dan Jopie Lasut memprotes hal ini dengan menyatakan Golput terhadap pemilu yang diselenggarakan pada 28 Mei 1971. Alasan golput pada dasarnya merupakan bagian dari pemboikotan Pemilu yang tidak fair play. Dalam hal ini Ali Moertopo pun menunjukkan ketidaksenangannya terhadap golput. Ia mengatakan bahwa golput itu seperti kentut: baunya terasa, tetapi tak kelihatan barangnya. Perlawanan-perlawanan Asmara muda telah menunjukkan idealismenya yang kuat (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 33-34). 

Gerakan "Angkatan 66" yang dikenal sebagai motor penggerak turunnya Bung Karno dari kursi kepresidenan memang menghasilkan para aktivis yang handal, tetapi mereka justru berkhianat sendiri setelah mereka menyanggupi duduk di kursi pemerintahan. Mereka merasa bahwa kekuasaan adalah hal yang nyaman sehingga mereka lupa diri akan tujuan mereka untuk melakukan pembaharuan atas sistem yang telah rusak bahkan uzhur. 

Idealisme adalah hal yang mahal di tengah ketidakpastian rezim. Hanya orang-orang yang bertahan dengan semangat moral force adalah mereka yang setia pada prinsip kemanusiaan itu sendiri. Walaupun tidak dipungkiri masih banyak mereka yang tetap duduk di pemerintahan dan setia pada prinsip mereka. Walaupun diperlukan pengorbanan yang tidak mudah dan itulah arti bergerak dari dalam. Asmara memilih menjadi pribadi yang berada di luar ranah pemerintahan hingga akhir hayatnya.

Romantika Injakan Sepatu Berduri

Sosok Asmara Nababan yang berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan tetap saja berada dalam koridor utamanya. Segala hal menyangkut tindakan sewenang-wenang rezim Orde Baru sudah pasti ia lawan. Asmara adalah orang yang menolak secara terang-terangan ide pembuatan Taman Miniatur Indonesia Indah (TMII) yang digagas oleh Tien Soeharto atas ide Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta saat itu. 

Menurut Asmara sendiri pembangunan TMII dengan dana sebesar Rp. 10,5 milyar adalah hal yang tidak masuk akal. Sehingga didirikanlah Gerakan Akal Sehat (GAS) dimana ia bersama teman-temannya mengampanyekan penolakan terhadap proyek ini (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 38-39). Walaupun semua usaha ini hanya sia-sia belaka. Hal ini terus berjalan seiring dengan berjalannya waktu akibat meledaknya Malapetaka 15 Januari 1973 dimana musuh-musuh politik Orde Baru telah dilibas. 

Meskipun demikian Asmara bukanlah orang yang surut terhadap situasi demikian. Ia menganggap situasi-situasi kritis sebagai drama romantika sesungguhnya. Romantika sesungguhnya adalah perjuangan kemanusiaan itu sendiri bukan romantika di zona nyaman. Rezim represif di bawah injakan sepatu berduri ini adalah sebuah panggung romantis yang harus dijalankan dalam perjuangan. Maka tidak setiap kisah cinta menceritakan kisah-kisah indahnya dan tidak setiap ucapan romantis adalah hal indah untuk dijalankan. Layaknya janji yang akan di ingkari dalam kenyamanan.

Asmara sebagai seorang sarjana hukum sudah pasti peka akan permasalahan-permasalahan hukum yang kerap kali muncul di era Orde Baru. Asmara menjadi salah satu pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertujuan mengembalikan kembali kedaulatan rakyat akibat penindasan rezim yang bernama Kelompok Studi Penyadaran Hukum (KSPH). KSPH berdiri pada tanggal 23 Februari 1983.

Tujuan dari LSM yang Asmara dirikan bertujuan untuk memberikan penyadaran hukum dengan ruang lingkup pertanian dan advokasi terhadap hak-hak petani kala itu. Memang kasus yang ditangani oleh KSPH salah satunya berangkat dari kecamatan tempat dimana Asmara dilahirkan. Hal ini disebabkan pembangunan PLTA Inalum pada tahun 1978. PLTA Inalum dibangun di atas lahan persawahan yang sesungguhnya merupakan hak warga setempat, tetapi dalam hal ini pemerintah daerah hendak menimbun Sungai Asahan dengan pasir (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 58). 

Maka ada upaya relokasi yang hendak dilakukan pemerintah setempat untuk digunakan sebagai lahan pengganti untuk sawah. Sayangnya lahan tersebut tidak dapat dijadikan sawah. Dalam hal ini KSPH dengan Asmara sebagai sekretaris ikut terjun ke lapangan mengurus permasalahan ini. Ketika itu warga yang mengetahui hal tersebut melakukan protes dan unjuk rasa. 

Dalam hal ini KSPH kerap dituduh oleh Intel sebagai provokator sekaligus penghambat pembangunan. Dalam hal ini Asmara hadir sebagai seorang yang realistis. Ia tidak takut pada apapun bahkan dalam investigasi bersama KSPH ia sempat ditegur oleh seorang Bupati akibat memotret sebuah peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dalam menyelesaikan sebuah kasus (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 66). Jawaban Asmara sederhana bahwa apa yang ditakutkan dari foto bahwa foto menunjukkan sebuah realitas keadaan masyarakat kita.

Pada tanggal 7 Juni 1993, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 50 tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam hal ini Asmara berperan banyak dalam lembaga yang didirikan oleh pemerintah tersebut. Asmara adalah satu-satunya akademisi yang berbekal dalam pengalamannya di dunia LSM dalam komisi tersebut (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 71).

Komnas HAM pada dasarnya bekerja sangat efektif ketika Asmara ada di dalamnya. Ketika itu persoalan yang dibahas dalam Komnas HAM tidak lagi menyoal pada urusan narapidana politik Orde Baru saja, tetapi juga terkait dengan beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur. Selanjutnya hal lain yang diurus oleh Asmara tidak lain adalah mengenai peristiwa "Kuda Tuli" atau tragedi 27 Juli 1996 (Hidayat & Haryono, 2023, 106-107). 

Tragedi ini terjadi di depan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat.  Penyebab terjadinya peristiwa ini adalah intervensi politik pemerintah Orde Baru terhadap politik PDI yang kala itu mengadakan konggres di Medan yang memenangkan Soerjadi sebagai ketua umum, tetapi di sisi lain Musyawarah Nasional (Munas) mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai ketua PDI. 

Hal ini terjadi konflik antara PDI pro Megawati dengan PDI Soerjadi. Sangat amat jelas dalam peristiwa ini aparat ikut berperan memperkeruh situasi yang ada kala itu. Peristiwa ini membuat hubungan antara Komnas HAM dan pemerintah semakin memanas akibat jumlah korban yang dipaparkan (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 78). Dalam hal ini Komnas HAM dianggap keluar koridor oleh Soeharto.

Asmara bersama KONTRAS dalam pengusutan kasus kematian Munir (asmaranababan.org
Asmara bersama KONTRAS dalam pengusutan kasus kematian Munir (asmaranababan.org

Peristiwa lain yang mewarnai jalan asmara kemanusiaan Asmara Nababan tidak lain adalah gejolak Timor-Timur. Pada tahun 1999, Komnas HAM melalui Marzuki Darusman menawarkan diri untuk menyelesaikan kasus ini melalui pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM). Setelah itu pada tanggal 1 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres No. 96 tahun 2001 yang berisi tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan di Timor Timur. 

Suatu ketika Asmara Nababan diminta untuk memeriksa seorang jenderal yang terlibat pada permasalahan tersebut. Gaya pakaian Asmara yang sederhana dan alakadarnya membuahkan teguran keras dari seorang jenderal, tetapi apa yang dikatakan Asmara justru berbalik. Ia mengatakan, “Saudara mau saya periksa dengan mulut atau dengan sepatu? " (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 83). 

Kesederhanaan Asmara Nababan adalah contoh bagaimana ia mampu mengimplementasikan bahwa mencintai dalam sederhana dan berakar pada komitmen kemanusiaan. Memang seorang yang low profile seperti beliau kerap kali mendapatkan cibiran orang-orang yang lebih berkuasa darinya. Itulah arti realitas sesungguhnya. Pasca tragedi Orde Baru pun Asmara ikut terlibat dalam menyelesaikan kasus tindak pelanggaran HAM terhadap aktivis hukum dan kemanusiaan Munir Said Thalib (1965-2004). 

Asmara menyatakan bahwa kasus Munir merupakan suatu tindakan pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini ia bersama kawan-kawannya ikut terlibat dalam menyuarakan tindakan pelanggaran tersebut. Bahkan Suciwati Isteri dari almarhum Munir pun mengatakan bahwa Asmara Nababan adalah pribadi yang selalu siap memberikan jalan keluar atas suatu permasalahan (Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan, 2011, 11).

Romantika Asmara Di Masa Yang Akan Datang

Kisah asmara itu indah dalam diksi-diksi rayuan. Seorang akan luluh dalam diksi yang indah nan kosong itu. Lalu terbuailah dia dan dalam kerelaan ia menyesalinya karena berujung tragis. Dalam dunia dewasa ini pemikiran akan arti kemanusiaan itu telah kabru dan saat ini dunia sedang sibuk pada dirinya masing-masing. 

Penguasa tetap sibuk untuk bertahan pada romantika asmara yang indah. Sedangkan diluar sana rakyat harus bertahan juga pada romantika yang kelam. Sosok Asmara Nababan adalah sosok yang telah memberi bahwa darah, luka, dan penderitaan adalah sebuah romantika yang indah. 

Diksi-diksi kemanusiaan adalah sebuah hal yang menyakitkan, tetapi indah karena sebuah arti perjuangan. Saat ini semua sedang terbuai dalam bungkaman diksi-diksi asmara yang indah yang tak pernah bersuara atas kasus-kasus kelam yang tak kunjung selesai. Idealisme masa kini sudah bergeser menjadi sebuah idealisme individualistis belaka. Lihatlah anak muda masa kini, apakah mereka paham arti diksi kemanusiaan lewat peristiwa-peristiwa tragis yang ada di negeri ini? 

Jangan sampai anak muda kita saat ini terbuai pada diksi indah yang kosong dan merupakan jurang bagi kemanusiaan. Saat yang akan datang bukanlah saat-saat yang selalu baik dan selalu romantis bagaikan drama yang ditonton dalam kehidupan sehari-hari di dunia maya. Bisa saja suatu saat nanti tragedi kemanusiaan akan berulang lagi. Apabila terjadi, siapakah yang mau menjadi Asmara muda hari ini?

 Anak-anak muda kita adalah harapan bangsa, sudah seharusnya mereka menyadari bahwa semakin dewasa semakin berat pula beban dan tanggung jawab mereka melihat situasi di negeri ini. Maka apakah generasi muda kita akan selalu terjebak pada diksi-diksi rayuan konyol yang akan membuat arti kemanusiaan itu semakin pudar? Semoga di kemudian hari mereka semakin mampu menatap keperihatinan bangsanya. 

Anak muda kiranya mampu belajar dari masa lalu dan belajar dari pengalaman para tokoh agar di kemudian hari romantika kemanusiaan adalah arti dari bahasa cinta sesungguhnya yang tak lagi mampu diucapkan dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan. Bang As, ragamu sudah tiada dalam dunia ini. Kami percaya di atas sana kau masih melihat dan membimbing kami dalam doa dan pemikiran kami untuk menatap situasi kemanusiaan sebagai idealisme anak muda di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Asmara Nababan: oase bagi setiap kegelisahan. (2011). Perkumpulan Demos.

Hardiman, F. B. (2019). Pemikiran Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. PT Kanisius.

Hidayat, D. S., & Haryono, E. (2023). Politik dan ideologi PDI Perjuangan, 1987-1999: penemuan dan kemenangan. Kepustakaan Populer Gramedia.

Magnis-Suseno, F. (2016). Etika Politik(CU - Cover Baru). Gramedia Pustaka Utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun