Korupsi sudah menjadi penyakit akut di bagian tubuh pemerintahan Indonesia. Mulai dari pejabat lembaga eksekutif hingga legislatif, tidak ada yang terlepas dari jeratan kasus korupsi. Untungnya, hal ini dapat diantisipasi oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan kewenangannya sehingga  mampu menjaring tikus – tikus kantor tersebut.
 Belakangan ini kewenangan KPK yang mampu menggusarkan para koruptor mulai diserang dari lini legislasi dengan revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi UU KPK diajukan oleh fraksi PDI-P dan didukung oleh beberapa partai seperti Nasdem dan Hanura. Perubahan serta revisi UU di Indonesia memang sudah menjadi kewenangan lembaga legislatif DPR. Hal ini mengundang pertanyaan, mengapa revisi UU KPK yang dinilai melemahkan ini justru diusung oleh wakil rakyat.
Berbagai alasan dikemukakan oleh fraksi PDI-P demi tercapainya revisi UU KPK. Bambang Wuryanto, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPR, mengungkapkan bahwa KPK dibentuk ketika kepolisian dan kejaksaan tidak berdaya dalam penanganan hukum terkait tindak pidana korupsi. Â Menurutnya, lembaga penegak hukum sudah berdaya sehingga fungsi KPK adalah untuk menguatkan lembaga tersebut.
Alasan yang diungkapkan oleh Sekretaris fraksi PDI-P DPR nyatanya tidak dapat diterima oleh masyarakat. Menurut Bivitri Susanti, Pengamat Hukum Tata Negara, revisi UU KPK tidak sesuai dengan kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Bivitri menyarankan agar revisi UU KPK tersebut dikaji ulang dengan melibatkan elemen masyarakat agar diperoleh hasil yang komprehensif.
Sampai saat ini, KPK dengan kewenangannya sudah sangat berjasa dalam mengungkap kasus besar di Indonesia.Keberhasilan KPK dalam menegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi menandakan bahwa wewenang KPK cukup ideal dan tidak membutuhkan revisi. Lantas apakah alasan fraksi PDI-P merevisi UU KPK yang dinilai melemahkan fungsi penegakan hukum KPK?
Ahmad Yani, Anggota Komisi III dari PPP mengatakan wewenang KPK bisa disalahgunakan dan berujung pada pelanggaran HAM. Menurutnya, penyadapan yang dilakukan oleh KPK termasuk salah satu pelanggaran HAM.
Ironis sekali melihat fenomena para wakil rakyat berusaha untuk merubah tatanan hukum kewenangan KPK yang cukup ideal dikarenakan kepentingan pihak tertentu. Masyarakat Indonesia sudah cukup cerdas dalam mengamati penegakan hukum tindak pidana korupsi sehingga alasan yang mendukung revisi UU KPK tidak cukup kuat untuk menggiring opini masyarakat agar setuju dengan revisi tersebut. Bahkan, pemikiran masyarakat berbalik dengan menanyakan kredibilitas pejabat pendukung revisi UU KPK. Berdasarkan survey ICW (Indonesian Corruption Watch), KPK berhasil membuktikan kinerjanya dalam menangkap koruptor tanpa pandang bulu. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan KPK dalam menjerat pelaku korupsi. Mulai dari pengusaha ternama hingga tiga menteri pun tidak luput dari jerat hukum KPK.
Berdasarkan survey ICW tersebut ditemukan bahwa DPR adalah lembaga penyumbang koruptor terbanyak jika dibandingkan dengan institusi lain. Banyaknya anggota DPR yang terlibat korupsi mulai menyebabkan masyarakat bertanya – tanya, apakah revisi UU KPK sengaja dibentuk untuk melindungi anggota DPR dari ancaman KPK?
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan alasan DPR untuk melakukan revisi terhadap UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah untuk mengamankan posisi para anggota DPR, yang sering kali terjaring dalam penyidikan KPK. Bahrain, Direktur Advokasi YLBHI, Â mengatakan bahwa anggota DPR merasa khawatir, karena dapat dipastikan banyak koruptor berasal dari para anggota dewan. Itulah sebabnya undang-undang KPK direvisi.
 Dalam UU No. 30 tahun 2002, KPK memang memiliki wewenang cukup besar. Namun, wewenang ini perlu dipertahankan jika hal tersebut dilakukan untuk penegakan hukum khususnya kasus korupsi. Revisi UU KPK sangat sarat dengan kepentingan politisi dalam melemahkan KPK. Revisi Poin – poin kewenangan yang diajukan oleh fraksi PDI-P dinilai akan mempersempit gerakan KPK dalam membongkar kasus korupsi.
Adapun hal – hal yang ingin direvisi dalam UU KPK tersebut diantaranya adalah pembentukan dewan pengawas KPK, pemberian wewenang SP3 terhadap KPK, pembatasan penyadapan melalui izin dewan pengawas dan aturan terkait penyidik dan penyelidik KPK yang harus berasal dari lembaga lain. Poin pertama hingga keempat memperlihatkan bagaimana politisasi kewenangan DPR untuk memperlemah KPK.
Pembentukan dewan pengawas akan sangat merugikan bagi KPK. Berdasarkan revisi UU KPK, Dewan Pengawas ditunjuk oleh Presiden. Pengangkatan atau pembentukan dewan pengawas dikhawatirkan akan mengintervensi kinerja dan menghilangkan independensi KPK.
 Bahkan, yang paling ditakutkan adalah dewan pengawas KPK diduga akan menjadi lembaga dengan kewenangan lebih besar dari KPK. Kewenangan Dewan Pengawas ini bisa disalahgunakan oleh Presiden dalam menjatuhkan lawan politik. Hal ini mungkin terjadi karena pemilihan anggota dewan pengawas dilakukan oleh Presiden. Tentu masyarakat tidak menginginkan satupun lembaga penegak hukum di Indonesia menjadi alat kekuasaan pemerintahan.
Pencabutan kewenangan KPK dalam memilih penyidik dan penyelidiknya sendiri juga dinilai tidak efektif. Hal ini akan menyebabkan penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari anggota Kepolisian dan Kejaksaan. Zainal Arifin Mukhtar, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa  meminjam petugas dari polisi atau kejaksaan sangat tidak efektif. Menurutnya, kedua lembaga tersebut sering mutung jika anggota mereka direkrut oleh KPK.
Pemberian wewenang SP3 juga dinilai tidak relevan dengan kebutuhan KPK karena dalam UU No. 30 tahun 2002 disebutkan bahwa KPK membutuhkan dua alat bukti kuat untuk menjerat tersangka. Seandainya tidak terdapat dua bukti kuat maka kasus tidak dapat dilanjutkan. Pemberian wewenang SP3 pada KPK dinilai sebagai upaya untuk mendiskreditkan KPK agar jika kasus pejabat pemerintahan mulai mencuat ke permukaan, dapat dilakukan upaya agar penyidikan tersebut dapat dihentikan. Sehingga kewenangan ini sangat rawan di salah gunakan oleh komisioner KPK.
Poin revisi terakhir adalah pembatasan penyadapan. Dalam revisi UU KPK, penyadapan hanya boleh dilakukan dengan seizin dewan pengawas. Pembatasan penyadapan tersebut mengintervensi independensi KPK yang terdapat pada pasal 3 UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Wewenang Penyadapan KPK dinilai rawan terhadap intervensi dewan pengawas.
 Berdasarkan poin tersebut dapat disimpulkan bahwa revisi UU KPK sangat tidak efektif dan hanya akan mengintervensi kinerja KPK. Revisi UU KPK dinilai tidak mengakomodasi kebutuhan KPK dalam penegakan hukum melainkan melemahkan posisi KPK dalam pengawasan serta upaya penegakan hukum. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang dianggap melindungi koruptor melalui revisi UU tersebut.
Bahkan revisi UU KPK ini akan dianggap sebagai suatu bentuk kepalsuan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, seharusnya pemerintahan Jokowi mengambil sikap tegas untuk menolak revisi UU KPK yang menciderai reformasi Indonesia. Â Perlu diambil tindakan cepat dan tepat agar revisi UU KPK ini tidak lagi mengusik keberadaan KPK. Melalui KPK diharapkan reformasi Indonesia tidak akan terganggu oleh tikus berdasi yang meraup keuntungannya sendiri.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI