Mohon tunggu...
Ahmad Harris
Ahmad Harris Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Usaha tidak akan pernah menghianati hasil

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Revisi UU KPK Ancam Jebolnya Tanggul Penegakan Hukum

3 Maret 2016   10:33 Diperbarui: 3 Maret 2016   11:00 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembentukan dewan pengawas akan sangat merugikan bagi KPK. Berdasarkan revisi UU KPK, Dewan Pengawas ditunjuk oleh Presiden. Pengangkatan atau pembentukan dewan pengawas dikhawatirkan akan mengintervensi kinerja dan menghilangkan independensi KPK.

 Bahkan, yang paling ditakutkan adalah dewan pengawas KPK diduga akan menjadi lembaga dengan kewenangan lebih besar dari KPK. Kewenangan Dewan Pengawas ini bisa disalahgunakan oleh Presiden dalam menjatuhkan lawan politik. Hal ini mungkin terjadi karena pemilihan anggota dewan pengawas dilakukan oleh Presiden. Tentu masyarakat tidak menginginkan satupun lembaga penegak hukum di Indonesia menjadi alat kekuasaan pemerintahan.

Pencabutan kewenangan KPK dalam memilih penyidik dan penyelidiknya sendiri juga dinilai tidak efektif. Hal ini akan menyebabkan penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari anggota Kepolisian dan Kejaksaan. Zainal Arifin Mukhtar, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa  meminjam petugas dari polisi atau kejaksaan sangat tidak efektif. Menurutnya, kedua lembaga tersebut sering mutung jika anggota mereka direkrut oleh KPK.

Pemberian wewenang SP3 juga dinilai tidak relevan dengan kebutuhan KPK karena dalam UU No. 30 tahun 2002 disebutkan bahwa KPK membutuhkan dua alat bukti kuat untuk menjerat tersangka. Seandainya tidak terdapat dua bukti kuat maka kasus tidak dapat dilanjutkan. Pemberian wewenang SP3 pada KPK dinilai sebagai upaya untuk mendiskreditkan KPK agar jika kasus pejabat pemerintahan mulai mencuat ke permukaan, dapat dilakukan upaya agar penyidikan tersebut dapat dihentikan. Sehingga kewenangan ini sangat rawan di salah gunakan oleh komisioner KPK.

Poin revisi terakhir adalah pembatasan penyadapan. Dalam revisi UU KPK, penyadapan hanya boleh dilakukan dengan seizin dewan pengawas. Pembatasan penyadapan tersebut mengintervensi independensi KPK yang terdapat pada pasal 3 UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Wewenang Penyadapan KPK dinilai rawan terhadap intervensi dewan pengawas.

 Berdasarkan poin tersebut dapat disimpulkan bahwa revisi UU KPK sangat tidak efektif dan hanya akan mengintervensi kinerja KPK. Revisi UU KPK dinilai tidak mengakomodasi kebutuhan KPK dalam penegakan hukum melainkan melemahkan posisi KPK dalam pengawasan serta upaya penegakan hukum. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang dianggap melindungi koruptor melalui revisi UU tersebut.

Bahkan revisi UU KPK ini akan dianggap sebagai suatu bentuk kepalsuan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, seharusnya pemerintahan Jokowi mengambil sikap tegas untuk menolak revisi UU KPK yang menciderai reformasi Indonesia.  Perlu diambil tindakan cepat dan tepat agar revisi UU KPK ini tidak lagi mengusik keberadaan KPK. Melalui KPK diharapkan reformasi Indonesia tidak akan terganggu oleh tikus berdasi yang meraup keuntungannya sendiri.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun