Kondisi struktur dan infrastruktur sosial komonitas Girli sangat mengenaskan, terlebih londisi perekonomian mereka yang merupakan penyebab dari sekian ironi masyarakit miskin kota. Dengan bangunan yang terbuat dari kardus dan triplek, rumah Girli amat rentan terhadap banjir yang bisa mengancam tiap musim hujan datang. Tapi apa boleh buat, tanpa pilihan mereka tetap menjadikan kawasan kumuh tersebut sebagai tempat hunian setelah mereka lelah bekerja seharian. Kondisi moral akibat keterdesakan ekonomi juga tak kalah mengenaskan. Beberapa warga kampung Girli Code itu berprofesi mulai dari penjual koran, pengamen, atau penarik becak. Bahkan menjadi perampok dan pelacur merupakan pilihan yang mereka jalani demi menyambung hidup. Di bawah dekade 80-an kondisi masyarakat Kali Code sama sekali bukan daya tarik. Jangankan bisa dibanggakan, bertahan dari penggusuran saja merupakan prestasi yang menggembirakan bagi mereka.
[caption id="attachment_91583" align="aligncenter" width="334" caption="Perkampungan Kali Code : B&W drawing, area plan showing project site and surrounding context. Source : Aga Khan Award for Architecture"]
Kondisi sosial itulah yang kemudian mengundang perhatian seorang pastor, arsitek, dan penulis. Dia adalah YB Mangunwijaya, seorang arsitektur jebolan Aachen, Jerman. Sebagai arsitek secara suka rela dia membangun pemukiman pinggir kali agar layak untuk ditempati dan tidak mudah menjadi korban banjir. Maka dibangunlah pemukiman sederhana tapi artistik dan kokoh di tepi sungai Code di bawah jembatan Gondolayu. Hasil dari karya Romo Mangun itu ternyata memukau publik. Bahwa bangunan rumah yang sederhana dan hanya terbuat dari kayu dan bambu, ternyata membawa keindahan tersendiri.
[caption id="attachment_91587" align="aligncenter" width="640" caption="Kampung kali Code-B&W drawing, construction details-Resource : Copyright : Aga Khan Award for Architecture"]
Tidak bisa tidak, kampung Code merupakan contoh keberhasilan proyek alternatif pembangunan tempat hunian wong cilik. Kampung sederhana ini tertata apik dengan berbagai fasilitas yang juga terbilang unik seperti tempat bermain, aula untuk pertemun warga,WC umum, rumah susun yang sehat, dan balai warga. Usaha itu akhirnya berhasil mengantar lelaki kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, menerima penghargaaan The Aga Khan Award (1992). Tak hanya itu, Kali Code juga meraih The Ruth and Ralp Erukine Fellowship (1995), sebagai bukti keberpihakan Romo Mangun kepada wong cilik.
[caption id="attachment_91590" align="aligncenter" width="363" caption="Kapung Code - Painted exterior of a house - Copyright : Aga Khan Award for Architecture"]
Tahun 1984 Kampung Code dihuni 35 keluarga. Penghuni kampung ini terus bertambah, dan tahun 2007 dihuni 54 keluarga yang meliputi 186 jiwa. Yang pasti, martabat kampung hunian ini telah diangkat dari pemukiman yang lekat dengan stigma kumuh, kotor, terpencil, dan mengganggu, menjadi kampung berperadaban, bermartabat, dan bernilai, terbukti dengan penghargaan yang diterimanya. Dan yang lebih penting dari semua itu, masyarakat perkampungan Code tidak lagi menghadapi ancaman penggusuran ataupun penertiban dari pihak Pemkot.
Local Jenius dan Local Wisdom
Bagaimana semua itu dicapai? Karena fakta ketiadaan sumber daya yang disadari betul oleh pelopor dan penggagas proyek perkampungan Code, instrumen, nilai, strategi dan perencanaan apa yang diadopsi untuk mensolusikan permasalah pelik seputar tempat hunian yang memang merupakan kebutuhan dasar manusia?
Jawabannya terletak pada keberhasilan mensintesakan dua faktor pendukung kebudayaan. Yakni faktor human capital, dan faktor nilai-nilai lokal yang biasanya tidak selalu beriringan. Human capital termanifestasi dalam figur local jenius, sementara khazanah nilai-nilai lokal terlembagakan dalam kesadaran teologis mengembangkan sikap bijak terhadap lingkungan yang sering disebut juga local wisdom.
Kedua kombinasi ini berpadu dalam diri Romo Mangun yang memang dikenal sebagai pribadi multi-eksistensi dengan ragam keahlian. Romo Mangun telah mengabdikan hidupnya dalam banyak bidang kehidupan tanpa kehilangan fokus, intensitas, profesionlitas dan terlebih kepeduliannya kepada masyarakat bawah. Dalam bidang sastra, budaya, pendidikan, termasuk arsitektur, semuanya mencerminkan identitasnya sebagai jenius lokal yang mumpuni. Meski telah kenyang dengan penghargaan dalam bidang-bidang yang dia geluti, bukan menjadi alasan baginya menjaga jarak dengan masyarakat arus bawah. Namun Justru itulah yang dijadikan modal bagi kontribusi langsungnya bagi kemanusiaan.
Begitu pun kampung Code yang menandai salah satu kiprahnya tersebut. Meski bukan magnum-opusnya dalam bidang arsitektur, tapi apa yang dilakukannya untuk warga dipinnggir Kali Code merupakan penghargaan yang besar terhadap kemanusiaan. Terbukti, ketika menghadapi ancaman penggusuran serius dari Pemkot Jogja di awal-awal berdirinya perkampungan Code, Romo Mangun dan warga Kali Code melakukan perlawanan dengan cara mogok makan. Cara itu akhirnya terbukti meluluhkan rencana pemerintah mengadakan penggusuran.
Dengan demikian, kampung Code telah menjadi sebuah miniatur dari peradaban yang berbasis kepada arti penting local wisdom, yang diperlopori oleh seorang local jenius yang gigih. Hal ini dimungkinkan karena Romo Mangun tidak hanya mengubah desain arsitektur fisik perkampungan itu hingga kemudian terlihat lebih tertata, akan tetapi dia juga mendorong terciptanya perubahan sosial (sosial engineering) dengan cara mensolusikan dan memberdayakan perekonomian mereka. Dengan kata lain, sebagai arsitek, dia tidak hanya piawai menata interior dan eksterior sebuah bangunan, akan tetapi mental, moral, dan kepercayaan diri masyarakat Kali Code juga menjadi proyek garapan Romo Mangun. Melalui perkampungan kai Code, Romo Mangun telah mewariskan kepada sekelompok masyarakat pola hidup dan desain ruang yang baru, kaya akan nilai seni arsitektur, yang bersumber dari kekuatan budaya dan kearifan lokal. Selain itu, lewat kampung itu pula Romo telah memberikan solusi bagi pemerintah dan warga Jogja, khususnya, dan bagi masyarakat berbudaya secara umum. (keras)
Adakah Aristektur-Arstitekur muda atau konsultan-konsultan saat ini dapat mengikuti jejaknya, Apakah hanya beroriensai menggusur dan membangun mall ?
[caption id="attachment_91593" align="aligncenter" width="259" caption="Pengerukan pasir Sekitar kali code dengan alat berat pun terus dilakukan di sejumlah titik di Kali Code (foto: am.azzet)"]
*) Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. (lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, 6 Mei 1929 – meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada umur 69 tahun), dikenal sebagai rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik (bahasa Jawa untuk "rakyat kecil"). Dia juga dikenal dengan panggilan populernya, Rama Mangun (atau dibaca "Romo Mangun" dalam bahasa Jawa). Romo Mangun adalah anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah. Karya Arsitektur
- Pemukiman warga tepi Kali Code, Yogyakarta
- Kompleks Religi Sendangsono, Yogyakarta
- Gedung Keuskupan Agung Semarang
- Gedung Bentara Budaya, Jakarta
- Gereja Katolik Jetis, Yogyakarta
- Gereja Katolik Cilincing, Jakarta
- Markas Kowihan II
- Biara Trappist Gedono, Salatiga, Semarang
- Gereja Maria Assumpta, Klaten
- Gereja Maria Sapta Duka, Mendut
Penghargaan
- Penghargaan Kincir Emas untuk penulisan cerpen dari Radio Nederland
- Aga Khan Award for Architecture untuk permukiman warga pinggiran Kali Code, Yogyakarta
- Penghargaan arsitektur dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk tempat peziarahan Sendangsono.
- Pernghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996
Sumber Tulisan : Liputan dan Sebagian dari berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H