Mohon tunggu...
Boni Fatius Nugroho K
Boni Fatius Nugroho K Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Atma Jaya Yogyakarta

Your Future Director

Selanjutnya

Tutup

Film

Melihat Ketidaksetaraan Gender dan Feminisme pada Film "Kartini" (2017)

6 November 2021   15:10 Diperbarui: 6 November 2021   15:17 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film Kartini

Film berjudul "Kartini" merupakan film yang rilis di Indonesia pada tahun 2017 silam. Hanung Bramantyo dipercaya untuk menyutradarai langsung film yang berasal dari kisah fenomenal ini.  Sekilas film ini menceritakan mengenai kisah hidup perempuan Jawa yang bernama Kartini dalam masa mudanya yang penuh dengan hal-hal duka karena perempuan Jawa pada waktu itu tidak memiliki kebebasan yang sama seperti laki-laki. 

Kebebasan yang dimaksud menyangkut banyak hal seperti kebebasan dalam berpikir, kebebasan dalam pendidikan, bahkan hingga kebebasan dalam memilih pasangan hidup. Perjodohan adalah hal yang paling sering dialami oleh para perempuan Jawa pada waktu itu, tidak memandang usia mereka yang masih muda ketika perjodohan tersebut terjadi. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya perihal politik pemerintahan Jawa pada waktu itu dimana hubungan antar bupati satu daerah dengan daerah yang lain, selain hubungan politik biasa juga dapat menjalar pada perjanjian perjodohan. 

Sebagai sutradara dalam film ini, Hanung Bramantyo sukses menggandeng aktor dan aktris besar Indonesia seperti Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Ayushita, Reza Rahadian, Denny Sumargo, hingga Dwi Sasono, dan masih banyakl lagi aktor serta aktris besar lainnya pada film ini. Film ini dapat menjadi pelopor semangat para kaum perempuan di masa sekarang. Kartini sendiri menjadi sosok perempuan Jawa yang paling ingin memperjuangkan hak-hak perempuan di zaman itu. 

Melalui berbagai tulisannya, ia membuka pemikiran banyak orang mengenai anggapan banyak orang pada perempuan, yang notabene pada masa itu perempuan dianggap kedudukannya lebih rendah daripada laki-laki. Selain menunjukkan beberapa hal mengenai perbedaan kedudukan gender antara laki-laki dan perempuan, dalam film ini juga menunjukan adanya feminisme yang terjadi.

Ketidaksetaraan Gender dan Feminisme

Seperti yang telah dibahas pada paragraf di atas, film berjudul Kartini yang rilis pada tahun 2017 ini membawa cerita mengenai adanya ketidaksetaraan gender dan feminisme di masa lampau. Para perempuan Jawa yang seakan tidak memiliki kebebasan seperti hal nya yang dimiliki oleh kaum laki-laki pada masa itu. Dalam film Kartini ada beberapa adegan yang memang menunjukkan adanya ketidaksetaraan gender dan feminisme, walaupun hal tersebut disampaikan kepada para penonton melalui pesan tersirat dalam film oleh sang sutradara, Hanung Bramantyo. 

Dalam film terlihat bahwa Kartini dan para saudara perempuannya sejak kecil dibiasakan dikurung di dalam kamar sampai pada waktu dirinya akan dipingit oleh anak bupati daerah lain, selain itu mereka (peara perempuan Jawa) pada waktu itu juga tidak diperbolehkan untuk mendapat hak dalam pendidikan yaitu untuk bersekolah seperti hal nya para kaum laki-laki. Kemudian terlihat juga dalam film banyaknya adegan perjodohan yang dilakukan oleh masyarakat pada waktu itu, termasuk juga dalam keluarga  

Kartini sendiri. Tokoh Kardinah, saudara perempuan Kartini juga mengalami perjodohan dengan Haryono, begitu pula Kartini pada akhirnya juga mengalami hal yang sama dengan Kardinah. Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Joyodiningrat yang berasal dari Rembang. Pada masa itu perempuan seakan dibatasi hak nya mengenai pemilihan pasangan hidup yang benar-benar selaras dengan apa yang mereka idamkan.

Akan tetapi disamping situasi yang begitu kurang menguntungkan bagi para perempuan Jawa pada waktu itu, khususnya Kartini, ia masih dapat melawan dengan cara menulis. Kartini sangat senang menulis surat bagi kawannya yang berada di Belanda, dan dalam surat itu berisi semua keluh kesah dan harapan dirinya bagi para kaum perempuan di Indonesia. Surat-surat tersebut yang akhirnya disatukan dan dijadikan sebuah buku yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang". 

Melalui tindakan Kartini yang tetap berjuang untuk menulis hingga dirinya sempat hampir untuk bersekolah di negeri Belanda berkat tulisan-tulisannya yang dinilai sangat menarik dan berbuah dampak bagi banyak orang, dirinya dinilai telah melakukan feminisme dimana ia berani melawan adanya ketidaksetaraan gender pada masa hidupnya. Berkat tulisan-tulisannya, dapat membuka mata banyak orang untuk sadar bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun