Mohon tunggu...
Christhio G
Christhio G Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Isu Kepemilikan Rumah Sejak Krisis Finansial 1997 di Jepang

2 Agustus 2015   10:54 Diperbarui: 2 Agustus 2015   10:54 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Photo by bluebay | FreeDigitalPhotos.net]

Setelah kekalahan negara Jepang di perang dunia kedua, banyak perubahan yang terjadi di negeri matahari terbit. Salah satunya ialah negara Jepang menjadi negara yang pertama kali maju di luar negara barat. Sehingga banyak negara barat memuji dan meniru apa yang dilakukan negara Jepang pada saat sedang booming-nya. Tetapi ketenaran negara matahari terbit berhenti naik atau stagnan dikarenakan krisis finansial asia tahun 1997. Setelah berusaha bangkit dan pulih dari krisis ekonomi pada tahun 2002, Jepang terkena lagi dampak dari krisis ekonomi global pada tahun 2008, yaitu bangkrutnya Lehman Brothers. Tahun 1990-an dikenal juga dengan sebutan "Japan's lost decade", dan beberapa komentator menyebut tahun 2001-2010 sebagai "Japan's lost two decades".

Salah satu perubahan yang terjadi setelah perang dunia II ialah pemerintah Jepang memperkenalkan kebijakan perumahan di tahun 1950 yang dikenal dengan nama GHLC (Government Housing Loan Corporation Act) yang bertujuan untuk memberikan keringanan peminjaman jangka panjang dengan bunga rendah untuk pembelian rumah dengan bantuan subsidi pemerintah. Langkah ini dilakukan pemerintah untuk meningkatkan jumlah kepemilikan rumah setelah perang dan memperbaiki standar rumah di Jepang. Sekitar 2,6 juta rumah hancur karena bom dan api selama perang, dan ditambah dengan kekurangan rumah yang sudah ada sebelum perang, jadi ada sekitar 4,2 juta jumlah rumah yang kurang di Jepang setelah perang. Dengan adanya GHLC, Jepang memasuki masa dimana kepemilikan rumah sebelum perang dibawah 30% menjadi kebanyakan keluarga mempunyai rumah 10 tahun setelah kebijakan ini.

Namun, dikarenakan lesunya ekonomi di Jepang pemerintah menghapus kebijakan GHLC pada tahun 2007 dan pemerintah mengharapkan keluargalah yang membantu dalam pembelian rumah. Dengan demikian, kaum pemuda sekarang sulit untuk membeli rumah dikarenakan ekonomi Jepang yang lesu dan juga dihapusnya kebijakan GHLC yang dulunya menguntungkan orang tua mereka, tetapi mengakibatkan kaum muda untuk mandiri dalam ketatnya persaingan sekarang. Tentunya, orang tua yang mampu membantu anak mereka untuk membeli sebuah properti merupakan hal yang sangat meringankan beban kaum muda. Namun, tidak semua orang memiliki kemewahan tersebut.

Banyak juga orang muda mengharapkan untuk mewarisi rumah ortu mereka. Tetapi, mewarisi rumah orang tua tidaklah secepat yang mereka pikirkan dikarenakan bertambah panjangnya usia rata-rata orang Jepang. Jadi, pewaris cenderung untuk membeli rumah baru daripada menunggu warisan rumah. Ada lumayan banyak pewaris rumah yang tidak tinggal di rumah ortu mereka dikarenakan kurang menariknya lokasi dan kondisi rumah tersebut. Itu bisa diakalin dengan menyewakan kepada orang lain. Namun, itu tidak berlaku di kota kecil dan pedesaan karena rendahnya peminat rumah di daerah tersebut. Alhasil, banyak rumah menjadi kosong tanpa penghuni.

Menurut buku yang penulis baca, kebijakan pemerintah GHLC lebih menguntungkan keluarga daripada orang single. GHLC hanya diberikan pada orang single yang berumur 40 atau lebih sampai tahun 1988 dan dari umur 35 tahun atau lebih sebelum akhirnya batasan usia dihapus pada tahun 1993. Sebagai tambahan, GHLC tidak diberikan untuk orang yang ingin membeli atau membangun rumah kecil. Ini boleh dikatakan untuk menyaring rumah tangga yang hanya punya satu orang. Dengan kata lain, pemerintah memilih dan menentukan rumah tangga mana yang boleh menerima dana subsidi. Ketika seorang single berkeluarga, barulah kebijakan perumahan ini berjalan.

Kombinasi resesi ekonomi yang berkepanjangan dan penghapusan subsidi rumah di Jepang membuat banyak orang menunda pernikahan dan akibatnya menunda berkeluarga. Dengan kata lain, bertambahnya jumlah orang dewasa yang tinggal di rumah orang tuanya dan juga orang single, dan berkurangnya jumlah keluarga di Jepang. Ini salah satu faktor penyumbang rendahnya total fertility rate seperti yang saya telah bahas di artikel sebelumnya. Karena di Jepang, kepemilikan rumah sangat terkait dengan pembentukan keluarga, kebanyakan orang tidak membeli rumah sebelum menikah.

Terlebih lagi resesi ekonomi mengakibatkan banyaknya perusahaan di Jepang merekrut pekerja tidak tetap, yang pada akhirnya meningkatkan angka single di Jepang. Dikutip dari buku, menurut Yosuke Hirayama:

In response to the post-bubble recession, and within the context of a more competitive business environment, increasing numbers of corporations, struggling for their survival, carried out large-scale personnel restructuring and downsizing. ... The labour market has thus been reoriented around declining employment stability with associated rapid increases in short-term contracts, part-time workers and temporary employees.

Perlu diketahui bahwa pemerintah Jepang dari dulu memperkenalkan model 'male breadwinner family', atau keluarga dimana ayah bekerja di perusahaan dan istri bekerja sebagai ibu rumah tangga. Tetapi karena banyaknya orang muda yang bekerja tidak tetap, maka model 'male breadwinner family' tidak bisa terpenuhi dan pada akhirnya mereka menunda pernikahan. Dikutip dari buku lagi: "Menurut "Employment Status Survey" di tahun 2002, persentase pria unmarried umur 30-34 yang punya pekerjaan tetap ialah 41%, sedangkan untuk pria yang tidak punya pekerjaan tetap ialah 70%".

Berkat penghapusan GHLC, ini membuat banyak rumah tangga dengan penghasilan rendah, pekerja untuk perusahaan kecil dan juga mereka yang bekerja tidak tetap hampir tidak mungkin untuk mendapatkan pinjaman jangka panjang dari bank untuk membeli rumah. Dengan pertimbangan bertambahnya jumlah pemuda yang bekerja tidak tetap sehingga tidak mendapatkan benefit seperti orang yang bekerja di perusahaan tradisional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun