Feodalisme adalah sebuah paham yang menganut sebauah konsensus sosial dan politik yang memberikan kekuasaan kepada sebuah kelompok masyarakat golongan atas atau dengan bahasa yang lebih dimengerti yaitu golongan bangsawan atau penguasa. Paham ini sering dianut oleh sekelompok orang yang merasa berkuasa atau memiliki kendali terhadap sebuah wilayah/tempat.
Kampus merupakan institusi atau instansi yang merupakan tempat penggodokan intelektual dan moral seorang mahasiswa yang nantinya bukan hanya sekedar melahirkan seorang sarjanawan melainkan seorang yang benar-benar “manusia”.
Secara simultan berlakulah sebuah makna falsafah terkenal yang dikemukakan oleh tokoh nasional dari Sulawesi Utara yakni Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau yang lebih akrab dikenal dengan sapaan Sam Ratulangi, tersebut “Si Tou Timou Tumou Tou” semboyan ini berasal dari bahasa daerah minahasa yang secara bebas diartikan bahwa “Manusia baru dapat dikatakan sebagai manusia jika sudah dapat memanusiakan manusia yang lain”. Falsafah tersebut lahir, tumbuh dan berkembang dan menjadi semboyan di salah satu perguruan tinggi terkenal di Sulawesi Utara yakni Universitas Sam Ratulangi.
Di samping menggunakan nama tokoh nasional tersebut, para civitas akademikanya juga harus mampu menghidupi semboyan tersebut dalam implementasi tri dharma perguruan tinggi yang dicita-citakan atau yang seyogyanya. Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, Pengabdian kepada masyarakat merupakan indikator implementasi Tri Dharma perguruan tinggi itu, artinya bahwa pelaksanaan tiga indikator tersebut menandakan bahwa sebuah perguruan tinggi telah tercapai tujuan atau landasan filosofisnya. Bukan hanya Universitas Sam Ratulangi, tetapi juga semua perguruan tinggi yang ada. Agar betul-betul mampu menciptakan manusia bukan hanya sebatas sarjanawan (gelar).
Akademisi memiliki senjata yang paling ampuh, yaitu ilmu pengetahuan yang kemudian kerap kali diabadikan dalam bentuk tulisan/kajian/riset. Namun, terkadang terpeliharanya sifat feodal di setiap sudut-sudut perguruan tinggi mengakibatkan tumpul bahkan matinya senjata akademisi. Padahal, dengan menulis kita menggoreskan nama kita dalam masyarakat dan sejarah, kata Pramoedya Ananta Toer. Kampus harusnya menjadi tempat untuk mencari kebenaran melalui kebebasan dalam demokrasi. Apa jadinya jika kampus masih memelihara kultur feodal yang meyakini bahwa kekuasaan lahir secara mutlak.
Feodal ini membunuh akademisi melalui direnggutnya kebebasan berekspresi yang kemudian disebut dengan demokrasi. Alibi yang dibangun kemudian ‘untuk menjaga nama baik kampus’ hal ini menandakan bahwa ketajaman argumentasi pun ikut tumpul. Sehingga benar dan jelas apa yang kerap disampaikan oleh Rocky Gerung bahwa ijazah bukan menandakan bahwa kita bisa berpikir tetapi sebatas menandakan kita pernah sekolah. Seyogyanya, jika tujuan filosofi kampus untuk melahirkan manusia secara simultan pun kebebasan dalam mengasah argumentasi dan nalar kritis perlu diberi ruang.
Contoh lain adalah ketika dosen sebagai pengajar merasa memiliki power yang sangat besar di dalam ruang kelas yang masih menggunakan metoda pembelajaran konservatif sehingga alur proses perkuliahan terjadi secara otoriter dan satu arah. Akibatnya kebebasan berpikir yang harus dimiliki oleh mahasiswa menjadi terkurung bak burung dalam sangkar, mahasiswa jadi takut untuk menyampaikan argumentasi kritis dalam ruang kelas. Dan beberapa sistem lainnya yang dibentuk oleh dosen sebagai pengajar untuk membunuh akademisi.
Tidak juga terbatas pada kasus tersebut, seperti contohnya ketika proses pembelajaran di kelas merupakan bentuk kausalitas antara hak dan kewajiban. Mahasiswa memiliki hak untuk mendapatkan ilmu dalam kelas dari dosen dan dosen memiliki kewajiban untuk memberikan ilmu kepada mahasiswanya. Permasalahannya adalah ketika hak dari mahasiswa tidak didapatkan akibat dosen yang malas masuk kelas dengan berbagai banyak alibi pembenaran kesalahannya, casu quo “jam kelas diganti dengan pembuatan tugas jika dosen tidak masuk”. Yang menjadi prihatin adalah dari peristiwa tersebut, mahasiswa yang mendapat kerugian dan merasakan ketidakadilan akademik. Maksudnya adalah, ketika dosen tidak masuk Mahasiswa tidak mendapat ilmunya (hak) dan dosen sebagai bentuk kewajibannya tidak ada pemberian sanksi akibat tidak menjalankan kewajibannya yang dimaksudkan adalah gaji yang diterima dosen tidak ada pemotongan sama sekali sehingga gaji yang merupakan akibat dari menjalankan kewajibannya tersebut tetap diterima full. Mohon maaf dalam bahasa kasar saya utarakan ketika dosen tidak masuk kelas yaitu “makan gaji buta”.
Ini menyangkut hak dan kewajiban. Mahasiswa dituntut untuk memberikan kewajiban berupa uang tunggal kuliah (UKT), lalu hak yang seharusnya didapati dari pemberian kewajiban itu tidak didapati, casu quo pelayanan akademik yang memadai. Mahasiswa punya hak untuk mendapatkan itu dan secara simultan dosen punya kewajiban untuk memberikan pelayanan akademik kepada mahasiswa. Mahasiswa yang tidak masuk kelas atau terlambat, konsekuensinya adalah absen kosong tanpa mempertimbangkan alasan apapun dan tidak mendapatkan ilmu dari dosen. Namun, jika dosen tidak masuk kelas tanpa alasan apapun, gajinya tidak dipotong dan tidak mendapatkan konsekuensi apapun. Tidak seimbang dalam terpenuhinya hak serta pemberian kewajiban. Inilah yang kemudian mengapa permasalahan lain adalah, misinterpretasi terhadap profesi dosen. Sejatinya dosen harus menjadi profesi pengabdian bukan sekedar mata pencarian karena dengan paradigma dosen sebagai mata pencarian, cukup dengan menerima gaji saja untuk kebutuhan sehari-hari terpenuhi tanpa mengajar urusan sudah selesai. Tetapi, jika menjadikan dosen sebagai ladang pengabdian, maka ilmu bak air yang selalu mencari titik terendah. Semakin dihambat, semakin merambat. Sehingga, terpenuhilah tujuan filosofi perguruan tinggi harusnya melahirkan manusia bukan sebatas sarjana.
Yang lebih memilukan hati adalah ketika perlakuan tindakan feodalisme tersebut kemudian diilhami oleh mahasiswa lain. Contohnya mahasiswa merasa senang ketika tidak ada jam kuliah (dosen tidak masuk kelas), atau ketika terdapat ketimpangan dalam pemberian nilai maka mahasiswa casu quo ketua kelas tidak mau membantu mahasiswa yang mendapat perlakuan diskriminasi itu dengan alasan agar nilai dari ketua kelas akan aman karena kalau ketua kelas atau mahasiswa lain yang menadapat nilai bagus akan turut mempertanyakan tindakan diskriminasi itu kepada dosen maka dosen tersebut akan turut memberikan nilai yang rendah kepada mahasiswa. Inilah tindakan permufakatan jahat antara mahasiswa dan dosen dalam menjaga perlakuan feodalisme kampus tetap terjaga.
Lalu apa yang dapat mahasiswa lakukan ketika peristiwa terebut terjadi? Merujuk pada apa yang disampaikan oleh Aristoteles “Justitia est constan et pepertua voluntas ius suum cuique tribuere” yang artinya “Keadilan adalah kehendak tetap yang diberikan kepada setiap orang menurut bagiannya”. Mahasiswa tidak perlu takut untuk menuntut karena selama berjalan dalam kebenaran. Jadi mahasiswa dapat melakukan penuntutan secara perdata karena disini terdapat pelanggaran terhadap hak mahasiswa.
Kampus harus mampu melahirkan Manusia bukan Sarjana, Magister, Doktor!
Salam Perjuangan! Salam Keadilan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H