Tingkat disparitas keadaan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia secara awan terlihat sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai macam keadaan cukup mengenaskan.Â
Beberapa hal tersebut bukan lahir dari sebuah asumsi belaka, namun yang penulis lihat dan cermati dengan saksama. Contoh pertama, ketika suatu dini hari penulis bersama dengan seorang teman mendatangi sebuah pasar terkenal di kota Manado dengan tujuan untuk membeli kebutuhan makan seperti ikan, sayur-mayur dsb.Â
Seingat penulis itu berlangsung sekitar pukul 02.30 WITA, dikarenakan keadaan luar pasar terdapat antrean mobil pick-up yang hendak masuk ke pasar melalui portal yang nanti dibuka pada pukul 03.00 WITA.
Pada saat penuli dan teman masuk ke dalam area pasar, terlihat keadaan lumayan ramai dikarenakan para pedagang lain sudah mulai mempersiapkan apa yang nantinya akan dijual pada pagi harinya.Â
Saat itu sempat terlintas sebuah pertanyaan yang mengganjal di benda putih yang lunak yang terdapat di dalam rongga tengkorak yang menjadi pusat saraf a.k.a otak, kapan waktu tidur para pedagang di pasar yah? Kalo jam segini mereka sudah mempersiapkan bahan-bahan untuk dijual, paginya jualan, siangnya pulang buat mencari bahan-bahan lagi untuk dijual dan malamnya pergi lagi ke pasar.Â
Dengan siklus tersebut, pertanyaan itulah yang belum terjawab, sehingga memunculkan pertanyaan yang besar sebagai orang yang tidak mengalami langsung kejadian tersebut yaitu kok bisa? Kalo pun tidur, berapa lama jam tidur mereka? Di samping, waktu normal dan ideal untuk tidur minimal 7/8 jam/hari. Ternyata begitu keras perjuangan hidup mereka.
Kemudian dengan pengantar yang dimulai dengan kisah hidup mereka yang kehidupan sosial-ekonomi terbilang menengah ke bawah, lalu bagaimana dengan mereka yang keadaan sosial-ekonomi nya terbilang menengah keatas? Apakah perjuangannya serupa? Suka dan dukanya sama? Tentunya jika terkait dengan perjuangan hidup pasti sama.
Masyarakat menengah ke bawah, orientasi pola pikirnya adalah apa yang akan di makan hari ini dan besok apa? Hal serupa pula yang dipikirkan oleh mereka yang terbilang menengah ke atas?Â
Lantas jika pola pikir mereka sama, kenapa disparitas keadaan sosial-ekonomi masih menghiasi masyarakat Indonesia? Memang benar bahwa dalam hal naluri manusia untuk mempertahankan hidup pasti sama, namun yang membedakan adalah masyarakat di bawah selain memikirkan untuk hidup, hal apalagi yang sekiranya dapat kita lakukan untuk menjadi seperti mereka yang menengah ke atas.Â
Sedangkan untuk mereka yang menengah ke atas memikirkan keadaan insting manusia namun tidak pernah terbesit untuk memikirkan mereka yang berada di bawah mereka apalagi berpikir untuk menjadi seperti mereka bahkan niatan untuk membantu pun kecil.
Atas dasar hal inilah yang mengakibatkan masyarakat pinggir kota akan tetap berada di pinggir dan masyarakat kota akan lebih sejahtera. Karena tidak ada rasa untuk saling memiliki, sehingga penulis sempat bertanya bahwa bagaimana jika kita saling memikirkan antara satu dengan yang lainya seperti perasaan ini yang terus memikirka dia dan semoga dia pun sama hehe. Pasti akan berhasil dan mampu menciptakan rasa untuk saling memiliki dan mengangkat derajat anak bangsa.
Tulisan ini penulis buat ketika sedang berlilitkan seat belt kursi pesawat, ditengah turbulensi dengan ketinggian 35.000 ft pada pukul 02.50 WIB melintasi daerah Kalimantan dengan penerbangan dari Jakarta menuju Manado. Dengan keadaan terbatas sekalipun penulis menyempatkan untuk menuangkan critical thingking atas dasar keresahan siklus tersebut terus berputar pada orientasi yang demikian dan tidak pernah putus.
Adakah yang mampu menjadi solusi atau dapat memberikan solusi mengatasi keadaan yang dimaksud?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H