Pena adalah sebuah elemen penting dalam menuangkan segala ide gagasan dalam bentuk tulisan
Akademisi atau akademikus secara bebas diartikan kepada seseorang yang memiliki pendidikan tinggi atau seseorang yang menyandang gelar formal sebagai orang yang berintelektual.
Formalnya cara seseorang untuk mendapatkan predikat akademisi atau akademikus, yaitu melalui proses pendidikan tinggi dan menyandang gelar melalui tulisan tugas akhir. Dalam hal ini tentunya, fakta itu netral namun yang membedakannya adalah perspektif, Prof. Eddy. Pandangan ini berdasarkan perspektif pengalaman saya selama berkuliah.
Mahasiswa sebelum menyandang gelar sarjana, terlepas dari seberapa lama menghabiskan waktu di kampus, mungkin 3.5 tahun, mungkin 4 tahun atau mungkin 7 tahun (hampir DO) bahkan ada sudah habis waktunya namun mendapat dispensasi dari kampus, mengingat tersisah mata kuliah tugas akhir. Mahasiswa a quo harus membuat tugas akhir atau dengan bahasa yang akrab didengar Skripsi.
Dalam Skripsi tersebut, memiliki sistematika penulisan yang tentunya setiap universitas berbeda-beda namun tidak dengan Bab inti. Saya coba menyoroti pada bagian kata pengantar seorang penulis, seringkali pada bagian ini adalah waktunya bagi penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang sudah membantu dalam penyelesaian tulisan tersebut. Dan pasti, selalu diakhiri dengan sebuah bahasa yang template “tulisan ini masih memiliki kekurangan, oleh karena itu saran, kritik yang membangun dalam melengkapi keterbatasan memori penulis dalam tulisan ini dipersilahkan.”
Pertanyaan saya, sudah berapa banyak lulusan sarjana atau S1 yang sudah “menyempurnakan” ketidaksempurnaan Skripsi mereka? Apakah 10? Apakah 20? Atau 100? (skala satu angkatan di fakultas besar yang pada umumnya berkisar 700an). Saya dapat berasumsi bahwa 10 pun tidak. Kenapa? Karena tindakan dari penulis dalam menyebarluaskan tulisannya tidak ada dan secara simultan dengan tingkat kemalasan penulis lain dalam melakukan riset pada tulisan tersebut.
Kemudian, bangsa yang besar dengan memiliki lebih dari 280 juta jiwa, tergolong sedikit perbandingannya akademisi melakukan riset atau penelitian terkait fenomena nasional ketimbang para akademisi luar negeri yang melakukan penelitian di Indonesia.
Disamping itu, saya juga turut prihatin dengan kebiasaan-kebiasaan buruk seorang akademikus dalam melakukan penelitian. Kasus-kasus plagiarisme, pencantuman karya yang tanpa izin, pencurian ide tanpa menyertakan footnote/bodynote/runningnote yang kerap terjadi di bangsa ini. Bahkan, tugas akhir yang semestinya dikerjakan oleh calon akademisi itu sendiri malah dikerjakan oleh orang lain dengan menggunakan jasa joki skripsi.
Hal ini menyebabkan kualitas penelitian yang dihasilkan tidak memiliki dampak yang positif, tidak selaras dengan batapa indahnya rangkaian kalimat yang tercantum dalam manfaat dan tujuan penelitian. Output yang dihasilkan sama sekali tidak mampu diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat sebagai sasaran dari penelitian tersebut. Sehingga skripsi yang dihasilkan hanya sebatas pada penyelesaian studi untuk menyandang gelar sarjana.
Seorang peneliti atau akademisi tentunya memiliki tanggung jawab mengambil andil dalam Pembangungan Bangsa. Dapat dikatakan sebagai agen of change dalam penerapan bidang keilmuan. Namun, apa jadinya jika Pena seorang akademisi Kehabisan Tinta?
Narasi ini dibangun dengan paradigma yang terbentuk sebelum dikeluarkan Permendikbud Ristek 53 tahun 2023. Hal ini merupakan gerakan perubahan terhadap pemicu output yang dihasilkan seorang akademisi yang berguna bagi bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H